Sekilas Aceh Bersama Indonesia: Merdeka, Perang, dan Damai

Konten Media Partner
17 Agustus 2019 14:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Peringatan HUT ke-74 RI di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan HUT ke-74 RI di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah dari Sekutu. Tanda berakhirnya Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dua bulan kemudian, beberapa perwira Belanda datang ke Aceh untuk mengadakan penyelidikan. Aceh dijumpai dalam keadaan kacau balau, Belanda berpendapat perlu diadakan pendudukan Sekutu untuk mencegah timbulnya pemberontakan. Belanda adalah salah satu negara Sekutu bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Desember 1945, Pendudukan Belanda tidak pernah terjadi sampai Jepang meninggalkan Aceh. Sekutu masih sibuk mengurus Jawa. Sedangkan Sumatera dan Aceh mengambil jalannya sendiri, mandiri mengurus pemerintahan dalam sebuah pemerintahan republik yang telah didirikan. Gubernur pertama di Aceh dan Sumatera adalah Mr. Teuku Muhammad Hasan. Belanda tidak pernah lagi menembus Aceh, hingga membuat daerah ini benar-benar nyata kemerdekaannya, saat itu.
ADVERTISEMENT
Tahun 1948, Mengawal kemerdekaan Indonesia, Aceh tercatat sebagai penyumbang dua pesawat yang menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia Airways. Pada tahun sama, kala Sekutu berhasil menguasai pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa, Aceh menjadi daerah penyelamat. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dengung kemerdekaan Indonesia masih dipancarkan ke seluruh dunia.
23 Januari 1951, Indonesia di bawah Kabinet Natsir membubarkan Divisi X TNI di Aceh, status Provinsi Aceh dicabut, dipaksa lebur dalam wilayah Sumatera Utara. Saat itu, Gubernur Aceh dijabat Tgk Daud Beureueh. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Kebencian rakyat Aceh kepada Soekarno, Presiden RI yang pertama, menyala. Daud Bereueh, sang pemimpin Aceh, masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang.
Tgk Daud Beureueh (tengah) saat turun gunung. Dok. acehmagazine/Istimewa
21 September 1953, Daud Beureueh memukul gong pemberontakan, setelah kongres ulama di Titeue, salah satu kecamatan di Pidie. Di sana, dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot, Pidie. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
ADVERTISEMENT
8 April 1957, Kesepakatan gencatan senjata diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh. Isinya, meletakkan senjata, dan kesepakatan lain antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat, dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959.
Tahun 1951, Titik balik pemberontakan. Di masa itulah, Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia. Hasan Saleh menuntut kepada Djuanda agar Aceh dijadikan negara bagian di bawah republik. Tuntutan berbau federalisme itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Meski begitu, Hasan Saleh setuju untuk mencari jalan damai.
ADVERTISEMENT
Daud Beureueh meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besar-besaran. Daud letih bergerilya, setelah satu per satu karibnya meninggalkannya di tengah jalan.
Tahun 1961, Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula, nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA).
Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer (Kodam) Aceh, Jasin berhasil mendekati Tgk Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata.
9 Mei 1962, Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus istimewa.
Penghormatan untuk Tgk Daud Beureueh setelah sepakat berdamai. Dok. acehmagazine/istimewa
***
ADVERTISEMENT
Istimewa tak membuat Aceh benar-benar lain. Rakyat belum sejahtera, meski sumber Migas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan pada tahun 1970 di ladang Arun, Aceh Utara. Gas dan minyak bumi hanya menguntungkan pusat, Aceh hanya menonton kekayaan alam itu dari luar pagar.
4 Desember 1976, Alasan keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh, 14 tahun setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro memimpin pemberontakan, memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Tiro, Pidie.
Seterusnya, kekacauan terjadi di Aceh, Hasan Tiro kemudian memimpim pemberontakan dari Swedia. Berbagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM, pemberontakan tak kunjung padam.
Tahun 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan Operasi Jaring Merah-nya. Berlangsung selama 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban.
ADVERTISEMENT
7 Agustus 1998, DOM dicabut, setelah Presiden Soeharto tidak lagi menjabat. Suara rakyat menuntut pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) makin gencar dilakukan. Setelah DOM dicabut, tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema.
Parade tentara GAM. Foto: Murizal Hamzah
Tahun 1999, Muncul tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu dimobilisisai oleh pada intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999.
8 November 1999, SIRA memobiliasasi rakyat Aceh menggelat aksi kolosal di Banda Aceh, menuntut referendum. Hampir satu juta rakyat Aceh (sebagian sumber menyebutnya 2 jutaan) dari berbagai kabupaten, memenuhi Banda Aceh. Aksi dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman.
ADVERTISEMENT
Tahun 2000, Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu.
Dalam masa-masa itu, dialog-dialog terus dilanjutkan antara GAM dan RI untuk mencari jalan aman. Kesepakatan yang mulai dirintis sejak Januari 2000, kemudian melahirkan Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani pada 12 Mei 2000. Keamanan di jeda ini, naik-turun.
6 Mei 2002, Himpunan Mahasiswa Anti-Militer (HANTAM) mengusung isu antimiliterisme membuat sebuah aksi spektakuler pada tahun 2002. Mereka menuntut Cease-fire antara RI dan GAM, mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, referendum, dan bendera PBB. Aksi berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi. Unjuk rasa ini memberikan makna khusus bahwa intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.
ADVERTISEMENT
9 Desember 2002, Situasi keamanan relatif baik setelah pihak GAM dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai (Cessation of Hostilities Agreement–CoHA), di Jenewa, Swiss. Kendati bentrok terus berlanjut, tetapi minimal kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama, yang terdiri dari tiga pihak, yakni Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah, pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC).
9 Februari 2003, Perjanjian CoHA memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal.
Tgk Hasan Tiro saat kembali ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Adi Warsidi
19 Mei 2003, Setelah CoHA dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM ditangkap dan dihukum penjara. Darurat Militer digelar di Bumi Serambi Makkah. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun Darurat Militer, TNI mengklaim telah berhasil menewaskan 2.439 GAM, 2.003 lainnya ditangkap, dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka.
ADVERTISEMENT
Dalam darurat itu, puluhan aktivis pembela rakyat yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh.
19 Mei 2004, Darurat Sipil ditetapkan di Aceh menggantikan status Darurat Militer. Kondisi hampir tidak jauh berbeda. Aceh seakan tertutup dari dunia luar, ratusan korban muncul, terbanyak di pihak sipil. Baik Pemerintah maupun TNI tidak pernah mengumumkan secara pasti berapa korban sipil yang muncul. Namun Dinas Penerangan Umum Mabes TNI mengakui, sejak darurat diberlakukan sampai September 2004, sekitar 662 warga sipil tewas, 140 luka berat dan 227 luka ringan.
***
26 Desember 2004, Aceh mencatat Sejarah baru. Bencana hebat gempa dan tsunami melanda, sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang, dan 174.000 orang menjadi pengungsi, yang hidup di tenda-tenda pengungsian.
ADVERTISEMENT
Bencana itu membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status Darurat Sipil tenggelam dengan sendirinya, berganti dengan Darurat Kemanusiaan. Ratusan NGO asing masuk, berlomba-lomba untuk memberikan bantuan.
Pemandangan usai tsunami Aceh. Foto: Adi Warsidi
Januari 2005, Dipicu bencana tsunami, Pemerintah Indonesia, dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat berunding kembali. Perindingan difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) di Helsinki, Finlandia. CMI sendiri diketuai oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
19 Mei 2005, Status Tertib Sipil ditetapkan menggantikan Darurat Sipil. Saat itu, Aceh sedang membangun pascatsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah.
15 Agustus 2005, Setelah dialog lima babak di Helsinki, perunding RI yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin; dan perunding GAM yang diketuai oleh Perdana Menteri-nya, Malik Mahmud; menandatangani Nota Kesepakatan Damai di Helsinki, belakangan dikenal sebagai MoU Helsinki. Tanggal tersebut diperingati saban tahun di Aceh.
Kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia. Dok. CMI
17 Agustus 2005, Peringatan HUT ke-60 RI, berlangsung salam suasana damai, tanpa ketakutan dan was-was dari warga Aceh.
ADVERTISEMENT
Berbagai perubahan terjadi di Aceh setelahnya. Pembangunan dipacu, rakyat perlahan menikmati suasana damai. Aceh menjadi daerah dengan Otonomi Khusus, dijamin Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. []
Penulis: Adi Warsidi