Sepenggal Kisah Pembantaian 4.000 Warga Gayo Lues oleh Serdadu Marsose

Konten Media Partner
13 Juli 2019 12:53 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembantaian Marsose terhadap warga Gayo Lues, 1904. Dok. Tropen Museum/wikimedia commons
zoom-in-whitePerbesar
Pembantaian Marsose terhadap warga Gayo Lues, 1904. Dok. Tropen Museum/wikimedia commons

Resensi Buku

ADVERTISEMENT
Syahdan tahun 60-an, Juriyah binti Sultan sering kali memperlihatkan parut luka di bagian lengan kiri kepada cucunya, Yusra Habib, yang kala itu masih anak-anak. Yusra diminta menempelkan telunjuk pada lengan Juriyah untuk memastikan benda keras berupa selongsong peluru yang tertanam di balik kulitnya.
ADVERTISEMENT
Peluru itu milik Marsose, pasukan khusus kolonial Belanda yang diterjunkan dalam Perang Aceh masa lalu. Juriyah 'mendapatkannya' saat Marsose menggempur Kampung Penosan, Gayo Lues, Aceh dan membumihanguskan permukiman di sekitar, membunuh 4.000 warganya. Pejuang setempat pun tak berdaya.
Warga menyebutnya tragedi berdarah di Benteng Penosan, Gayo Lues, yang terjadi pada 11 Maret 1904. Juriyah saat itu masih 12 tahun, bersama ayahnya, Panglima Cik Sultan Penosan; dan para saudaranya ikut berjuang melawan Marsose. Panglima Cik Sultan meninggal dalam peristiwa itu, Juriyah mendapat luka peluru.
Saat mendengar kisah itu, Yusra yang masih berusia anak-anak tak memiliki emosi membuncah. Tapi seiring bertambah usia, dia semakin penasaran bercampur marah, bila mengingat nenek moyangnya dibantai Belanda pada masa perang.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu menjadi salah satu pemicu Yusra Habib Abdul Gani terus meneliti kisah di balik tragedi berdarah di Kampung Penosan (Gayo Lues) sampai ke Kuta Reh (Aceh Tenggara). Dia mengumpulkan bukti-bukti, sampai melahirkan sebuah buku tentangnya, Marechaussee di Gayo Lues 1904.
Sampul buku Marechaussee di Gayo Lues 1904. Foto: acehkini
Buku setebal 198 halaman itu diterbitkan Bandar Publishing di Aceh. Produksi akan dilakukan besar-besaran pada Agustus 2019 nanti, dipasarkan di toko-toko buku seluruh Indonesia. Acehkini mendapatkan kesempatan pertama untuk merensensi buku ini.
Buku Marechaussee di Gayo Lues 1904 berisikan tujuh bagian. Selain memotret peristiwa pembantaian terhadap 4.000 warga Gayo Lues--penulis buku menyebutnya genosida--juga membahas tentang sistem pemerintahan di Gayo Lues saat itu. Lainnya, soal budaya perjuangan yang memengaruhi seni, ditulis di bagian keenam: ‘Konsep Jihad dalam Tari Saman’.
ADVERTISEMENT
Yusra menyebut Tari Saman sebagai konsep jihad fisabilillah yang disimbolkan lewat irama dan gerak, dimainkan oleh 13, 15, 17 orang lebih dengan jumlah ganjil. Dipimpin oleh seorang syeh atau disebut juga ‘pengangkat’.
Gerak dalam Tari Saman punya filosofi menukar ke-aku-an menjadi ke-kami-an yang akhirnya mewujudkan rasa ke-kita-an, melarutkan diri masing-masing dalam gerak dan irama hidup sebagai pemimpin dan rakyat.
Buku Marechaussee di Gayo Lues 1904 ditulis dengan baik oleh Yusra Habib Abdul Gani, berdasarkan penelitian dan kesaksian beberapa korban pembantaian di Gayo Lues yang pernah ditemuinya. Buku ini setidaknya akan mengisi ruang sejarah di Aceh, tentang perjuangan kemerdekaan. []
Penulis: Adi Warsidi