Setelah Titah Ulama Aceh, Serdadu Belanda Tewas di Seulimeum

Konten Media Partner
24 Februari 2021 9:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Camp militer Belanda di Seulimeum, Aceh, 1895. Dok. KITLV
zoom-in-whitePerbesar
Camp militer Belanda di Seulimeum, Aceh, 1895. Dok. KITLV
ADVERTISEMENT
Sebuah rapat umum digelar di Seulimeum (kini berada di Kabupaten Aceh Besar) pada Senin, 23 Februari 1942 atau 79 tahun lalu. Sejarah mencatat, persamuhan itu dihadiri sejumlah tokoh, ulama, dan masyarakat Seulimeum. Dalam pertemuan itu mereka mengobarkan semangat syahid dalam mengusir penjajah dengan menyerang konsentrasi-konsentrasi pasukan Belanda di Seulimeum.
ADVERTISEMENT
Di antara sejumlah tokoh yang membakar semangat masyarakat dalam pidatonya, yaitu Teungku A Wahab Seulimeum, tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA); Teuku Panglima Polim Muhammad Ali, Panglima Sagi XXII Mukim; dan T Dolah, Uleebalang Seulimeum.
Berselang beberapa jam setelah titah dalam rapat tersebut, seorang Controleur (kontrolir--pejabat Pemerintah Hindia Belanda) J.C. Tinggelman ditemukan tewas bersimbah darah di Seulimeum dan 5.000 Gulden dijarah dari Kantor Pos setempat.
Selasa besoknya, Kepala Urusan Kereta Api Aceh Graaf U. Bemforff Von Sperling juga ditemukan tewas di Keumireu (Sekarang berada di Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar). Ia dibunuh ketika mengecek kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan di jembatan lintasan kereta api.
Muhammad Ibrahim, dkk. dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991) menulis, penyerangan terhadap Belanda tersebut membuktikan bahwa perlawanan Aceh masih terus berlangsung di sana-sini. Meski perang Belanda di Aceh sejak 1873 disebut berakhir tahun 1912 dan para pejuang berangsur-angsur menyerah, tapi pergolakan di tengah masyarakat tidak pernah padam.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada perang kolonial lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda-Aceh ini, sehingga tiga jilid buku G.B. Hooyer yang membicarakan peperangan di Hindia Belanda, satu jilid tebal khusus digunakannya untuk membicarakan perang Belanda-Aceh ini. Ia menyatakan, perang melawan Aceh ini merupakan tempat belajar bagi tentara Belanda," tulis Muhammad Ibrahim.
Teungku A.K. Jakobi dalam Aceh Daerah Modal, Long March ke Medan Area (1992) menyebut, perlawanan rakyat Aceh di Seulimeum itu bagian dari Aceh Moord atau pembunuhan politik. Pembunuhan terhadap orang-orang Belanda dan kaki tangannya berlangsung di jalan raya, kereta api, atau bahkan di tempat keramaian. Peristiwa itu bisa saja dilakukan orang Aceh di mana saja yang mengamalkan "Jihad Fi Sabilillah".
"Pembunuhan politik ini mencapai klimaksnya pada tahun 1942 menjelang tentara Jepang masuk ke Indonesia," ujar Jakobi.
Tgk Daud Beureueh (tengah) saat turun gunung, berdamai menghentikan perlawanan DI/TII Aceh. Dok. Dok. acehmagazine/Istimewa

Keterlibatan Jepang

Sementara itu, penyerangan terhadap kontrolir Belanda di Seulimeum dan pejabat kereta api Aceh di Keumireu dilatarbelakangi pendukung Fujiwara Kikan (F-Kikan), orang-orang Aceh yang dilatih Jepang untuk mengusir Belanda.
ADVERTISEMENT
Menurut Agus Budi Wibowo, dkk. dalam Dinamika dan Peran PUSA dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh (2005), tiga orang Aceh yang meninggal dunia dalam penyerangan setelah rapat umum di Seulimeum tersebut, "Memakai ban lengan berlambang huruf “F”, lambang dari pemberontakan itu," tulisnya.
Dua bulan sebelum penyerangan itu atau pada 31 Desember 1941, PUSA mengirim utusan untuk menemui petinggi Jepang di Penang. Said Abu Bakar bersama tiga orang lainnya dari PUSA menemui Mayor Fujiwara yang mempunyai misi khusus membina kolene kelima F-Kikan atau Fujiwara Kikan di Taiping.
Setelah pertemuan itu, Fujiwara menugaskan Said Abu Bakar merekrut sejumlah perantau asal Sumatera terutama Aceh untuk bergabung dalam kolene kelima. Di sana, mereka diberikan pelatihan dan kursus kilat sebagai agen rahasia di bawah bimbingan Masabuchi Sahei.
ADVERTISEMENT
Pascapelatihan, Said Abu Bakar dan sejumlah orang lainnya pulang ke Sumatera dengan menyamar sebagai pengungsi. Mereka mendarat di Sungai Sembilan Asahan dan Bagan Siapi-api, kawasan Medan. Namun, setiba di darat, mereka ditangkap dan ditahan polisi. Dari dalam penjara, Said Abu Bakar mengirim surat ke Ali Hasjmy, aktivis muda PUSA. Surat lainnya juga dikirim ke T.H. Zainul Abidin, rekan perjuangan Said di Samalanga.
Teungku A Wahab Seulimeum kemudian mengutus Ahmad Abdullah untuk menemui Said Abu Bakar di Medan. Ia berangkat bersama Zainul Abidin. Sebelum berangkat, keduanya bertemu T. Ahmad Danu, Uleebalang Jeunieb. Di Medan, hanya Ahmad Abdullah yang diperkenankan bertemu Said Abu Bakar. "Kemudian menerima pesan dari Jepang yang dibawanya (Said Abu Bakar)," tulis Agus Budi Wibowo.
ADVERTISEMENT
Dari Medan, keduanya singgah di Jeunieb bertemu T. Ahmad Danu dan diperintahkan untuk menyampaikan pesan yang diterima dari Said Abu Bakar ke Teuku Nyak Arief, Uleebalang berpengaruh di Kutaraja; Teungku Daud Beureueh, Ketua PUSA, dan Teungku A Wahab Seulimeum.
"Pesan yang dibawa Ahmad Abdullah yang berisikan membentuk kolene kelima F Kikan itu, nampaknya mempengaruhi Teuku Nyak Arief maupun Teungku Daud Beureueh," catat Agus.
Seusai menerima pesan tersebut, pertemuan rahasia digelar di rumah Teuku Nyak Arief di kawasan Lamnyong. Persamuhan itu dihadiri Teuku Panglima Polim Muhammad Ali, Teungku Daud Beureueh, Teungku A Wahab Seulimeum, dan tokoh lainnya. Hasilnya, mereka menyepakati menggerakkan kolene kelima F-Kikan di Aceh dalam rangka menyambut kedatangan Jepang.
Design: Habil Razali/acehkini
Sebelum rapat umum dan penyerangan di Seulimeum, pendukung F-Kikan di Aceh melakukan sabotase terhadap Belanda pada 19 Februari 1942. Mereka memutuskan kawat telepon, telegraf, dan pembongkaran rel kereta api di Seulimeum.
ADVERTISEMENT
Penyerangan di Seulimeum itu disebut sebagai sebuah keberhasilan F-Kikan untuk membangkitkan pergerakan di seluruh Aceh. "Lemahnya wibawa Belanda dan keberhasilan sel F-Kikan di Seulimeum melakukan pemberontakkan menjadi inspirasi bagi sel-sel F-Kikan di seluruh Aceh untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda," tulis Agus Wibowo. []