Terbitkan IPPKH PLTA Tampur, Gubernur Aceh Digugat ke PTUN

Konten Media Partner
12 Maret 2019 20:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kawasan PLTA Tampur-1 di Gayo Lues, Aceh. Dok Walhi Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan PLTA Tampur-1 di Gayo Lues, Aceh. Dok Walhi Aceh
ADVERTISEMENT
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh atas pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur–1 di Desa Lesten, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Pemberian izin tersebut sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.
ADVERTISEMENT
“Pada 11 Maret 2019 kemarin, kami bekerja sama dengan Yayasan HAkA (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) menggandeng sembilan orang pengacara mendaftarkan gugatan tersebut ke PTUN Banda Aceh,” ujar M Nasir, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, dalam konferensi pers di kantornya, Banda Aceh, Selasa (12/3).
Izin diterbitkan oleh Gubernur Aceh periode sebelumnya, Zaini Abdullah di akhir masa jabatannya. Dalam hal ini, Walhi mengajukan gugatan ke Gubernur, dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan di Aceh. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, non-aktif karena sedang menghadapi proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakilnya, Nova Iriansyah saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh.
Gugatan Walhi Aceh terkait pemberian IPPKH untuk pembangunan PLTA Tampur-1 (433 MW) seluas lebih kurang 4.407 hektare kepada PT Kamirzu pada 9 Juni 2017 lalu. Area IPPKH tersebut berada dalam tiga wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang dan Aceh Timur. “Yang kita gugat Gubernur Aceh sebagai pihak yang menerbitkan izin, bukan perusahaannya. Menggugat ini atas nama menyelamatkan lingkungan hidup,” ucap Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebelum mendaftarkan gugatan tersebut, Walhi Aceh sudah melakukan sejumlah upaya atas penerbitan IPPKH tersebut. “Pada 7 Januari 2019 Walhi Aceh sudah melakukan upaya administratif dengan menyurati Gubernur Aceh menyampaikan keberatan terhadap IPPKH itu, namun tidak ditanggapi,” tambah Nasir.
Karena tidak mendapat jawaban itu, pada 13 Februari 2019 Walhi Aceh melakukan upaya banding administratif kepada pemerintah pusat. Upaya ini juga belum mendapat tanggapan. “Langkah berikutnya karena tidak mendapatkan keputusan atas upaya administratif itu, sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 pasal 4 ayat (1), kami kemudian menempuh mengajukan gugatan ke PTUN,” ujarnya.
Setidaknya ada 11 alasan bagi Walhi Aceh sehingga kemudian mendaftarkan gugatan ke PTUN. Di antaranya disebutkan Gubernur Aceh telah melampaui kewenangan karena memberikan IPPKH di atas 5 hektar. Izin tersebut juga dinilai cacat Yuridis karena dalam IPPKH yang telah diterbitkan kepada PT Kamirzu disebutkan juga sebagai izin pemanfaatan kayu serta izin pemasukan dan penggunaan peralatan.
ADVERTISEMENT
“Dari temuan kami, area IPPKH yang berada dalam tiga kabupaten ini juga belum mendapat rekomendasi dukungan satu lagi dari Bupati Aceh Timur,” ujar Nasir.
Pengacara Walhi Aceh mendaftarakan gugatan ke PTUN Banda Aceh. Foto: Dok. Walhi
Dia juga menyebutkan, tanggal penerbitan IPPKH kepada perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) tidak rasional. Sebab surat rekomendasi permohonan IPPKH dan penerbitan izinnya dilakukan pada hari dan tanggal yang sama, 9 Juni 2017. “Ini aneh, kapan gubernur memeriksa berkas-berkas persyaratan administratif yang disuguhkan kepadanya dan kapan memeriksa persyaratan teknis di lapangan,” ungkap Nasir.
Selain menyebutkan area IPPKH tersebut berada dalam kawasan zona patahan aktif, Nasir menyatakan, luas area untuk pembangunan PLTA Tampur–1 masuk dalam kawasan hutan sehingga sangat berpotensi merusak hutan dan lingkungan hidup. “Area luas untuk mega proyek PLTA ini masuk Hutan Lindung 1.729 hektare, Hutan Produksi 2.401 hektare dan Area Penggunaan Lain (APL) 277 hektare,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Areal yang dipergunakan untuk pembangunan PLTA Tampur–1 juga jelas-jelas masuk di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dimana KEL sendiri berdasarkan peruntukan dan fungsinya menjadi patron inti dalam wilayah kehutanan sebagai penyangga kehidupan dunia dari efek perubahan iklim secara global,” ucap Nasir.
Alasan lainnya, pembangunan PLTA Tampur–1 akan berdampak terhadap hilangnya habitat satwa-satwa yang dilindungi di areal kegiatan izin dan juga menjadi ancaman terhadap sumber air. Pembangunan PLTA tersebut di kawasan hutan juga akan berdampak terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir.
Lebih lanjut, berdasarkan data yang didapatkan oleh Walhi, penerbitan IPPKH pembangunan PLTA Tampur–1 kepada PT Kamirzu dari Korea itu diberikan selama 2 tahun sejak ditetapkan pada 9 Juni 2017. Adapun perpanjangan izin nantinya akan diberikan berdasarkan hasil evaluasi. “Sejauh ini yang kami ketahui mereka baru tahapan aktivitas pematok, belum melakukan produksi,” sebutnya.
Nasir (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers di kantor Walhi Aceh, Selasa (12/3). Foto: Husaini Ende
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Aceh, Amrizal J Prang saat dikonfirmasi Acehkini, menyebutkan pihaknya belum menerima surat gugatan tersebut. Dia menyarankan untuk menghubungi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh sebagai sektor terkait.
ADVERTISEMENT
Acehkini telah berusaha menghubungi Kepala DLHK Aceh, Ir. Sahrial, ke nomor pribadinya, dan mengirimkan pesat WhatsApp pada Selasa siang tadi. Namun hingga berita ini dinaikkan, belum mendapat tanggapan darinya. []
Reporter: Husaini Ende