Terdampak Corona, Kisah Penjahit Sepatu di Krueng Aceh yang Ingin New Normal (3)

Konten Media Partner
28 Mei 2020 9:11 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pondok penjahit sepatu. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Pondok penjahit sepatu. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Dua puluhan pondok kecil berjejer di bantaran Krueng (sungai) Aceh, kawasan Gampong Beurawe, Banda Aceh. Suasana sepi, hanya terlihat dua pengunjung yang menghampiri saat acehkini datang ke sana, bakda salat Jumat (22/5/2020).
ADVERTISEMENT
Kontras dengan jalanan di depannya, pada lapak penjual daging dadakan yang diserbu warga untuk membeli daging sapi, merayakan tradisi meugang jelang hari Raya Idul Fitri 1441 H. Meugang adalah tradisi makan daging di Aceh yang diperingati jelang Ramadhan dan hari raya.
Pondok-pondok kecil hanya berdinding belakang, dilengkapi bangku dan meja. Di atas meja sepatu/sandal tersusun, sebagian rusak, lainnya telah rapi diperbaiki. Di sana lah para penjahit sepatu merajut nasib, menunggu warga Banda Aceh mengantarkan alas kaki yang rusak.
Keberadaan tempat itu bermula setelah bencana tsunami melanda Aceh, Desember 2004 silam. Pemerintah membangun pondok untuk menampung penjahit sepatu yang kehilangan tempat mangkal, hingga menjadi salah satu pusat reparasi sepatu di Banda Aceh.
Paket bantuan untuk para penjahit sepatu di bantaran Krueng Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Atar salah satunya, telah menjadi penghuni salah satu pondok sejak usai tsunami. Pemuda asal Kaye Lheu, Aceh Besar itu sebelumnya mangkal di kawasan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Belasan tahun menggeluti kerja tersebut, Atar merasa cukup untuk menghidupi istri dan anaknya.
ADVERTISEMENT
Wabah corona melanda Aceh dan Indonesia sejak dua bulan lalu, berdampak pada hidupnya.
Sebabnya, wabah corona telah memaksa sekolah-sekolah tutup, kantor-kantor memberlakukan kerja di rumah dan sistem piket, sebagian lapangan olahraga tutup. Orang-orang juga lebih banyak berdiam diri di rumah. “Tanpa ke sekolah dan kantor, sepatu pelanggan akan baik-baik saja, jarang rusak,” ujar Atar tersenyum.
Atar berharap, kehidupan akan normal kembali seperti dulu sehingga pendapatan mereka pulih. “Kami selalu berdoa agar virus corona cepat berakhir,” katanya.
Ibnu, pejahit sepatu lainnya mengatakan pelanggan sangat sepi sejak wabah corona. “Kalau dulu satu hari bisa belasan sepatu yang dijahit, kini dua saja belum tentu ada,” katanya.
Kendati sepi, dia mengaku tetap menunggu pelanggan karena tak punya aktivitas lain. “Ketimbang duduk-duduk di rumah, bagus duduk di sini,” kata warga Lam Ateuk, Aceh Besar ini.
ADVERTISEMENT
Ingin kehidupan normal kembali diungkapkan Taufik, tukang becak yang kerap mangkal di depan Kompleks Kantor Gubernur Aceh. Dia telah bekerja menunggu sewa pada hari ketiga Idul Fitri atau Selasa (26/5). “Sepi sekali bang sejak corona ini. Terus terang kami ingin normal kembali, semua orang masuk kantor dan sekolah buka,” katanya kepada acehkini.
Kardiansyah, penempel ban. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Tak jauh sana, Kardiansyah, penempel ban motor temangu menunggu warga memakai jasanya. “Tak mungkin saya di rumah, bisa tak makan anak istri,” ujarnya.
Selama wabah corona, rata-rata pendapatanya sehari hanya Rp 60 ribu, setengah pendapatannya saat kondisi normal. Tapi Kardiansyah tetap bekerja untuk memenui kehidupan sehari-hari.
Kondisi mereka yang terdampak wabah corona, menjadi pertimbangan kami untuk menyerahkan paket bantuan kebutuhan Idul Fitri 1441 H. Bantuan bagi mereka yang terdampak COVID-19, merupakan hasil kerja sama antara DCODE dan kumparan, bertema ‘saatnya kita beraksi bukan berpangku diri.’ Paket itu berisi Sembako dan uang untuk berbelanja kebutuhan lainnya. []
ADVERTISEMENT
Note: Artikel ini bentuk kerjasama antara DCODE dan kumparan, saatnya kita beraksi bukan berpangku diri #MauGerakWithDCODE more info click Dcode.id