news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tionghoa Aceh Usai Merdeka (2): Tampilnya Injo Beng Goat

Konten Media Partner
19 Februari 2019 8:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kunjungan Presiden Soekarno ke Kabupaten Bireuen, Aceh, 1949. Foto: Ist
zoom-in-whitePerbesar
Kunjungan Presiden Soekarno ke Kabupaten Bireuen, Aceh, 1949. Foto: Ist
ADVERTISEMENT
Acehkini mencoba merangkum berbagai fragmen dari keberadan etnis Tionghoa, khususnya di Aceh dalam masa perjuangan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Pada 13 Oktober 1945, para pemuda etnis Tionghoa dari Seutui, Peunayong, dan daerah sekitar Banda Aceh, berkumpul kemudian berkonvoi ke Ulee Lheu untuk menyambut masuknya Sekutu dan tentara Koumintang dari China.
Sepanjang jalan mereka mengolok-olok pejuang kemerdekaan dengan spanduk, dan poster provokatif, “Tentara kami akan mendarat di sini, mereka prajurit-prajurit pilihan.” Pemuda China sangat mendukung masuknya Sekutu ke Aceh setelah Jepang kalah.
Sebaliknya, rakyat Aceh tidak menginginkan hal tersebut. Ribuan rakyat Aceh membuat pertahanan di sepanjang pantai. Dan sampai beberapa hari kemudian tentara Koumintang dari China yang disebut-sebut akan masuk Aceh bersama tentara Sekutu tidak pernah tampak batang hidungnya. Sejak itu sentimen anti China di Aceh mulai bangkit.
Untuk meredam hal itu, tokoh muda China di Jakarta, Injo Beng Goat pada 23 Oktober 1945 menulis surat khusus kepada masyarakar etnis Tionghoa di seluruh Indonesia. Kopian surat itu juga dibagi-bagikan kepada masyarakat etnis Tionghoa di Aceh.
ADVERTISEMENT
Injo Beng Goat merupakan mantan redaktur surat kabar Keng Po yang terbit di Jakarta. Ia beberapa tahun mendekam dalam penjara ketika Jepang berkuasa. Dalam suratnya, ia menyerukan agar etnis Tionghoa ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan Belanda dan sekutunya.
Dalam suratnya Injo Beng Goat juga mengutip sejarah perjuangan Sut Yat Sen dalam menentang penjajahan di China. “Jangan bersikap setengah-setengah, secara dagang melihat untung rugi,” tulisnya dalam surat itu.
Peunayong, kampung keberagaman di Banda Aceh. Foto: Ahmad Ariska
Surat Injo Beng Goat itu mampu mempengaruhi sikap sebagian orang China di Aceh. Pada 21 Desember 1945, kelompok etnis Tionghoa di Banda Aceh menyumbang uang tunai untuk perjuangan kemerdekaan sebesar f.37.495. Pada hari yang sama kelompok masyarakat etnis Tamil/India juga menyumbang sebesar f.8.035,50.
ADVERTISEMENT
Meredamnya sentiment anti China di Aceh kemudian juga membuat para pedagang China bisa berbisnis dengan baik. Malah pada 3 Februari 1946, para pedagang etnis Tionghoa membuat perkumpulan Hua Chiau Chung Hui (Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantauan) di Banda Aceh.
Perkumpulan ini diketuai oleh Liong Jaw Hiong, saat peresmian di dinding kantor perkumpulan ini dipasang foto pemimpin China Dr Sun Yat Sen, dan Chiang Kai Shek berdampingan dengan foto Presiden Soekarno. Kemudian pada 26 Desember 1946, Liong Yaw Hiong selaku pemimpin etnis Tionghoa seluruh Aceh kembali menegaskan keberpihakan mereka kepada perjuangan bangsa Indonesia, dalam rapat akbar bangsa asing (etnis minoritas) di Banda Aceh.
Pada 3 Maret 1947, Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (GPTP) di Banda Aceh merayakan ulang tahun pertama. Mereka juga melakukan rapat umum yang diikuti oleh berbagai golongan masyarakat Tionghoa. Kemudian pada 8 April 1947, GPTP Aceh melakukan pertemuan dan jamuan teh dengan Panglima Tentara Komandemen Sumatera, Letnan Jenderal Soehardjo Hardjowardjono.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan tersebut Ketua GPTP Aceh, Liong Jaw Hiong meminta kepada TNI untuk memberi perlindungan kepada para pedagang Tionghoa di seluruh Aceh. Liong Jaw Hiong mengakui bahwa berkat pengamanan TNI, orang-orang Tionghoa dapat berusaha mencari nafkah di seluruh Aceh.
Menjawab permintaan itu, Letnan Jenderal Soehardjo Hardjowardjono menegaskan, TNI akan melindungi segala lapisan masyarakat, termasuk etnis asing, asalkan tidak menghalang-halangi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Kami berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air, sebagaimana rakyat dan pemimpin tuan-tuan (China) berjuang kebahagiaan bangsa dan tanah airnya. Kami akan membantu setiap orang dan melindungi siapa saja yang memerlukan perlindungan,” tegasnya.
Sehari kemudian, 9 April 1947, GPTP Aceh juga melakukan pertemuan dengan Gubernur Muda Sumatera Utara, MR SM Amin di Banda Aceh. Dalam pertemuan itu hadir juga Residen Aceh TT Muhammad Daodsyah, Staf Gubernur Sumatera Utara MR Teuku Muhammad Hanafiah, Letnan Kolonel M Nazir dari Komando TRI Divisi X, Kepala Polisi Residen Aceh bersama para pejabat dari beberapa jawatan pemerintah di Aceh.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan itu Gubernur Muda Sumatera Utara, MR SM Amin, meminta supaya orang-orang Tionghoa di Aceh bisa selalu menyesuaikan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. “Bangsa Indonesia akan terus berjuang sampai berapa lama sekalipun untuk kemerdekaan tanah airnya,” kata MR SM Amin. (Bersambung)
Penulis: Iskandar Norman