Tradisi Perang Meriam Karbit, Senjata Warga Aceh kala Dijajah Belanda

Konten Media Partner
9 Juni 2019 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi perang meriam karbit di Pidie, Aceh. Foto: Akbar Rafsanjani
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi perang meriam karbit di Pidie, Aceh. Foto: Akbar Rafsanjani
ADVERTISEMENT
Suara dentuman susul-menyusul menggelegar. Ratusan orang yang tumpah ruah di bantaran sungai terpaksa menutup telinga. Tetapi, pandangan mereka tetap mengarah ke bantaran sungai Krueng Baro di Desa Masjid Tuha, Kemukiman Reubee, Kecamatan Delima, Pidie, Aceh, Rabu malam (5/6).
ADVERTISEMENT
Suara keras seperti ledakan bom itu berulang beberapa kali. Suara disertai getaran tersebut mengentak satu kilometer kawasan di sekitarnya. Bahkan membuat bangunan-bangunan bergetar seperti gempa bumi.
Warga yang memadati bantaran sungai tersei malambut tidak merasa takut. Usai suara ledakan reda, mereka bersorak ria dan mendekat ke arah ledakan.
Deretan meriam karbit di Desa Masjid Tuga, Reubee, Kabupaten Pidie, Aceh, Rabu (5/6) malam. Foto: Habil Razali/acehkini
Ledakan itu berasal dari perang meriam karbit. Satu sama lain berperang dan hanya terpaut aliran sungai. Di bantaran sungai, dari dua sisi, puluhan meriam karbit berjejer. Di belakangnya, ada sebuah panggung yang terdapat sejumlah meriam bambu di atas.
Perang meriam ini tidak memuntahkan peluru, namun menimbulkan ledakan dan getaran. Saat meriam meledak, pengunjung bergegas menutup lubang telinga menggunakan tangan. Sang penyulut menyumpal kapas di telinganya.
ADVERTISEMENT
Perang meriam karbit digelar saat tradisi 'Teut Budee' di sepanjang bantaran sungai Krueng Baro di tiga kecamatan di Pidie, yaitu Kecamatan Indrajaya, Kecamatan Pidie, dan Kecamatan Delima. (Tonton video di bawah ini)
Ratusan warga lain dari berbagai daerah datang untuk menikmati perang meriam karbit pada malam kedua Lebaran.
Tahun ini, tradisi Teut Budee digelar pada Rabu malam (5/6). Jauh-jauh hari, warga menyiapkan peralatan untuk melaksanakan tradisi yang berjalan turun-temurun lintas generasi. Pada awalnya, Teut Budee hanya dilakukan dengan membuat meriam dari bambu yang dilubangi di bagian dalamnya.
Persiapan membuat meriam karbit dari bambu di Gampong Blang Garot, Pidie, Aceh. Foto: Akbar Rafsanjani
Persiapan untuk perang meriam karbit malam Lebaran di Gampong Blang Garot, Pidie, Aceh. Foto: Akbar Rafsanjani
Kemudian diberi lubang kecil di bagian belakang sebagai tempat untuk menyulut api. Suara yang dihasilkan pun tidak seberapa besar, dan tidak membuat getar sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sekitar tahun 2004, warga di sana mulai menambah daya ledakan dan menimbulkan getaran. Mereka membuat meriam karbit dari drum minyak. Untuk sebuah tempat meriam karbit, minimal harus ada tiga drum yang disambung menjadi satu.
Teut Budee pada awalnya digelar pada malam lebaran pertama. Kemudian, agar tidak mengganggu, pelaksanaan pawai ini pun diundur di hari kedua Lebaran. Tak hanya itu, ketika pelaksaan pawai ini jatuh pada malam Jumat, maka acara ini akan kembali digeser ke malam selanjutnya.
Suasana malam perang meriam karbit di Desa Masjid Tuha, Reubee, Pidie, Aceh, Rabu (5/6) malam. Foto: Habil Razali/acehkini
Saking kerasnya suara ledakan yang mencapai 10-20 kilometer, warga setempat bahkan terpaksa mengungsikan bayi dan orang lanjut usia ke kampung lain. Meski terganggu, warga tetap mempertahankan tradisi ini.
Dalam semalam, per kampung menghabiskan dana sekitar Rp 15 juta untuk Teut Budee. Dana sebesar itu, mereka kumpulkan dari sumbangan orang kampung yang pulang dari perantauan.
ADVERTISEMENT
Selain pria, perempuan juga ikut menjadi penyulut meriam karbit. Sementara anak-anak hanya dibolehkan menyulut meriam bambu yang memiliki daya ledak lebih kecil.
Mempersiapkan karbit untuk dibakar dalam drum pada malam perang meriam karbit di Gampong Blang Garot, Pidie, Aceh. Foto: Akbar Rafsanjani
Drum minyak dilas untuk dijadikan meriam karbit untuk menambah daya ledakan dan getaran. Foto: Akbar Rafsanjani
Tradisi ini digelar sepanjang malam yang dimulai setelah salat Isya. Bahkan tak jarang tradisi ini berlangsung hingga pagi dan berakhir sekitar pukul 10.00 WIB. Perempuan di sana ikut membuat bubur dan kue untuk warga yang menyulut meriam karbit.
Tradisi ini sangat menarik minat pengunjung dari kabupaten lain, sejumlah warga sengaja ke sana untuk mendengar atau merasakan langsung suara dan getaran meriam karbit. Misalnya dari Kota Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireuen, dan Aceh Besar.
Warung-warung di sekitar bantaran sungai lokasi perang meriam karbit tampak ramai. Jalanan pun padat, sehingga menimbulkan kemacetan.
Suasana keramaian warga menyaksikan tradisi perang meriam karbit malam lebaran di Pidie, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Muhazir (37), warga Masjid Tuha, Kecamatan Delima, termasuk motor penggerak saat tradisi ini digelar. "Kalau meriam bambu, sejak saya lahir sudah ada, memang turun-temurun," kata dia. Dulu, meriam bambu digunakan oleh pejuang Aceh untuk mengelabui penjajah Belanda.
ADVERTISEMENT
Meriam karbit dari drum minyak baru muncul sekitar tahun 2004. Ketika itu warga merasa suara ledakan dari meriam bambu terlalu kecil. Alhasil, mereka memikirkan cara agar menghasilkan suara lebih besar dan bergetar.
Malam perang meriam karbit di Pidie, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Saat pertama kali mencoba, tujuh drum minyak dirakit menjadi satu. Panjang satu drum mencapai 1,5 meter. Suara yang dihasilkan lumayan besar, bahkan jendela rumah turut pecah. Semua gantungan di dinding rumah ikut berjatuhan.
Baru sekali disulut, drum minyak yang disambung itu ternyata mengerut dan mengecil karena ledakan. Dari sana, kemudian munculah ide untuk mengelas besi di bagian dalamnya.
Pada tahun 2008, meriam karbit memakan korban. Tujuh drum minyak yang disambung itu meledak di bagian belakang. Nahasnya, tiga warga, termasuk satu anak kecil ikut menjadi korban ledakan. Tiga jari tangan anak kecil itu putus. Dua warga lainnya mengalami luka di kaki.
Meriam karbit yang dibuat dari drum minyak. Foto: Habil Razali/acehkini
Pasca-kejadian itu, lahir aturan agar drum minyak yang disambung tidak lebih dari enam drum. Biaya untuk memodifikasi drum minyak menjadi meriam karbit mencapai Rp 2 juta per unit.
ADVERTISEMENT
Menurut Muhazir, hingga kini tidak ada yang berani menghentikan tradisi perang meriam karbit tersebut.
"Saat konflik Aceh dulu, ada tentara yang menembakkan senjata api saat menghentikan tradisi ini. Namun setelah meletus senjata, tidak berselang lama langsung dibalas dengan letusan meriam karbit," kata Muhazir. Tapi ia kini sudah berhenti menjadi penyulut api meriam karbit.[]
Reporter: Habil Razali