Walhi Aceh: Ruang Koridor Satwa Penting Diatur dalam RTRW Aceh

Konten Media Partner
19 Oktober 2023 18:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokumen WALHI Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen WALHI Aceh
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
WALHI Aceh menilai pentingnya pengakuan ruang koridor satwa dalam Rancangan Qanun (Raqan) Rencana Tata Ruang Wilayah (Raqan RTRW) Aceh yang sedang disusun ulang oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan banyaknya konflik manusia-satwa terjadi akibat terputusnya koridor bersebab adanya pengalihan fungsi lahan yang masif. Isu tersebut mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengintegrasian Koridor Satwa dalam Raqan RTRW Aceh yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Kamis (19/10/2023) di Banda Aceh.
Pertemuan ini dihadiri oleh lintas sektor, dari lembaga swadaya masyarakat, warga yang sering mengalami interaksi negative manusia-satwa, pihak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Pemantik diskusi dalah Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin dan Tim Asistensi Komisi IV DPR Aceh, Dr. Irfan. Awalnya panitia juga mengundang perwakilian Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, namun berhalangan hadiri.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin alias Om Sol mengatakan dalam upaya meminimalisir terjadi interaksi negatif manusia-satwa, serta menjaga keberlangsungan hidup satwa liar, penting diatur pola ruangnya dalam RTRW Aceh. Karena jalur migrasi satwa merupakan salah satu isu yang krusial dalam pembahasan Raqan RTRW Aceh tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Om Sol, hal tersebut diperparah dengan kondisi eksisting tentang interaksi negatif manusia-satwa yang meningkat setiap tahunnya. Bahkan dampaknya bukan hanya sebatas pada persoalan kerugian material, akan tetapi kondisi tersebut sudah mengancam keselamatan manusia.
WALHI Aceh gelar diskusi terkait koridor satwa. Foto: acehkini
Berdasarkan catatan WALHI Aceh, sejak 2019-2023 total kejadian interaksi negatif manusia dengan satwa sebanyak 113 kali, 68 kali melibatkan harimau, 33 kali gajah, orang utan 11 kali dan badak satu kali.
“Sebanyak 60 persen kejadian interaksi negatif manusia-satwa dekat dengan permukiman warga dan ini memiliki kerentanan tingkat tinggi kalau tidak segera diatasi. Karena manusia dan satwa hidup dalam satu ekosistem, tidak bisa dipisahkan,” jelasnya.
Untuk menyelesaikannya, penting diatur pola ruang agar tidak tumpang tindih antara ruang pergerakan satwa dengan areal budidaya. Karena 70 persen lebih pergerakan satwa sekarang berada di luar kawasan lindung dan konservasi.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan interaksi negatif manusia-satwa selama ini terjadi di Area Penggunaan Lain (APL), sehingga penting dalam RTRW Aceh memasukkan koridor di seluruh Aceh yang terintegrasi, sehingga jalur migrasi satwa tidak terputus saat ada pengalihan fungsi lahan. Saat ini yang sudah terakomodir dalam pola ruang Raqan RTRW Aceh hanya 3 koridor, yaitu Pidie-Pidie Jaya, Bireuen-Aceh Tengah dan Bener Meriah yang disebut dengan koridor Peusangan dan Bener Meriah-Aceh Utara disebut Koridor Cot Girek.
Sedangkan ada 6 koridor lainnya belum terakomodir dalam Raqan RTRW Aceh sekarang, yaitu koridor Aceh Besar-Pidie, koridor Aceh Jaya, koridor Aceh Barat-Nagan Raya, koridor Nagan Raya-Aceh Barat Daya-Gayo Lues, koridor Aceh Selatan-Subulussalam dan koridor Aceh Timur-Aceh Tamiang-Gayo Lues.
Menurut Om Sol, dengan dimasukkannya 9 koridor dalam pola ruang Raqan RTRW Aceh dapat memastikan konektivitas ekologis melalui koridor sebagai salah satu cara terpenting untuk memastikan spesies dapat berpindah antar kawasan dan mempertahankan kekuatan genetik. “Semua masukan dari FGD ini, nantinya kami akan siapkan satu dokumen dalam bentuk rekomendasi dan kami akan serahkan ke Komisi IV DPRA yang sedang membahas Raqan RTRW Aceh,” tutupnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Perwakilan Warga dari Desa Karang Ampar, Aceh Tengah, Muslim mengatakan hampir setiap tahun ditemukan gajah mati di wilayahnya, dan manusia yang menjadi korban karena interaksi negatif manusia-satwa. “Selama ini tidak pernah ada solusi, kami berharap masalah ini dapat diselesaikan dengan baik,” katanya. []