Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
19 September 2022 10:08 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Acep Jamaludin (Cepjam) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini disusun oleh Muhammad Faiz ditujukan untuk memberikan pandangan atas polemik yang dibincangkan atas penggabungan beberapa undang undang yang cenderung banyak menghapus perihal kebutuhan rakyat atas pendidikan
Negara-negara adidaya di masa lampau seperti Belanda, Britania Raya sampai Amerika Serikat hari ini dalam perjalanan membangun kekuatannya diawali dengan seorang tokoh revolusioner yang melewati empat fase, yang salah satunya adalah membangun sistem - sistem dan dan institusi - institusi untuk meningkatkan kekuatan dan kesejahteraan negaranya. Langkah paling utama dalam fase ini adalah membentuk sistem pendidikan yang kuat, di mana isinya bukan hanya mentransfer pengetahuan dan kemampuan saja, tapi juga meliputi pendidikan karakter yang kuat, kewarganegaraan dan etika. sekolah dan institusi keagamaan. Pendidikan dengan muatan tersebut akan berdampak pada norma dan hukum oleh warga negaranya, ketertiban, rendahnya tingkat korupsi dan persatuan rakyat untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, pendidikan juga akan mendorong pada terciptanya inovasi dan teknologi baru yang akan berdampak pada rakyat yang lebih produktif, lebih kompetitif dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara (Dalio, 2021).
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa. Ayat duanya dinyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Secara konsep juga esensi pendidikan di indonesia sudah ideal, sebagaimana dalam UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, pendidikan harus berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Indonesia dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Tapi dalam implementasi nya, sistem pendidikan di indonesia bisa saja baru sebatas formalitas, belum menyentuh inti dan hakikatnya. Proses pendidikan indonesia berjalan seperti sebatas seremonial saja, baru sebatas memenuhi rangkaian yang terikat pada aturan tertentu seperti kurikulum dan aturan pemerintah. Selain itu, pendidikan di Indonesia hanya sedikit melibatkan pendidikan karakter, kreativitas dan etika. Pendidikan yang secara esensinya harus menyentuh inti dan bertumpu pada hakikatnya belum terealisasi. Secara sederhananya jangan sampai pendidikan hanya sebatas rutinitas belajar-mengajar untuk memindahkan pengetahuan dan kemampuan dari guru ke murid saja. Sebenarnya masa depan Indonesia dan kualitas sumber daya manusianya dipertaruhkan dalam pendidikan negara ini.
Terlepas dari setuju atau tidak. Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Bercokol di peringkat enam terbawah, masih kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Education Index dari Human Development Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina sama-sama memiliki skor 0,661. Ini hanya menegaskan. Bahwa indeks pendidikan yang rendah adalah sebab daya saing pun lemah, Maka, besarnya anggaran pendidikan tahun 2020 yang mencapai Rp. 505,8 triliun memang tidak menjamin mutu pendidikan. Sekalipun 20% dari total APBN, harus diakui, anggaran tidak berkontribusi signifikan terhadap kualitas pendidikan. Asal jangan berdebat lagi masalah pendidikan? Anggaran, kurikulum, guru atau apa?
ADVERTISEMENT
Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan, berada diurutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Mungkin tidak perlu dibantah. Karena faktanya, memang 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan. Saya kira cukup sampai di situ. Ternyata belum. Kekerasan di sekolah pun masih terjadi. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia pendidikan? Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kementerian PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami bullying di sekolah. Menurut KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% ditahun 2018. Sementara 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Tentu, angka-angka itu bukan untuk memojokkan. Tapi untuk memperbaiki diri, untuk menilik pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kata kuncinya ada di pembenahan. Agar menyentuh esensi, bukan lagi seremoni. Bila mau dievaluasi. Bisa jadi, pendidikan hari ini tengah mengalami disorientasi. Maka, ada yang perlu diubah dan harus dibenahi dalam pendidikan Indonesia. Kesempatan untuk membenahi pendidikan indonesia hari ini hadir dalam pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), akan tetapi banyak polemik yang muncul dikalangan masyarakat terhadap pembahasan RUU ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Tunjangan untuk Profesi Guru Dihapus
Kemendikbud Ristek menuai berbagai kritikan salah satunya adalah dari kalangan guru. Hal ini dikarenakan hilangnya kata tunjangan dalam pasal 105 Rancangan Undang Undang SISDIKNAS. Berbeda dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur secara rinci ragam tunjangan yang bisa diterima oleh guru. Perbedaan dari kedua pasal tersebut mendapat perhatian dari para guru terutama dari lembaga Persatuan Guru Republik Indonesia(PGRI), Ikatan Guru Indonesia(IGI, forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan serta Poros Pelajar Nasional. Dalam Undang Undang Guru dan Dosen Pasal 15 disebutkan bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum, terdiri dari gaji pokok, tunjangan yang melekat di dalam gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus, sampai tunjangan kehormatan. Berbeda dengan pasal 105 Rancangan Undang Undang SISDIKNAS, tunjangan guru di atas dihapuskan. Penghapusan ini bisa berdampak pada kesulitan guru yang hanya bergantung pada gaji pokok, dikarenakan tidak semua guru bisa mendapatkan tunjangan khusus.
ADVERTISEMENT
Wacana hilangnya tunjangan profesi guru ini sudah beberapa kali diwacanakan oleh pemerintah. Pada tahun 2015 kemendikbud ingin menghapuskan hal ini saat rapat bersama Komisi X DPR RI. Beberapa tahun setelahnya 2018, menteri keuangan mengatakan, besarnya tunjangan profesi dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik. Menteri Sri Mulyani menganggap tunjangan tersebut hanya membebani APBD. Kemudian tahun lalu, pemerintah juga berencana hanya memberikan tunjangan profesi hanya kepada guru yang berprestasi.
Keterlibatan Publik yang Minim
Munculnya polemik di kalangan masyarakat ini bisa saja dikarenakan tidak dilibatkan partisipasi publik dan profesi yang terkait dengan pendidikan dalam penyusunan Rancangan Undang Undang. Padahal, guru dan dosen adalah profesi terdepan dalam menunjang kualitas pendidikan di Indonesia. Terlebih, Rancangan Undang Undang ini juga akan Rancangan Undang Undang sapu jagat (omnibus law) yang rencananya bakal mencabut dan mengintegrasikan 3 undang-undang sebelumnya yang berhubungan dengan pendidikan. Ketiga undang-undang tersebut adalah Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Komisi X DPR RI Belum Menerima Draft Resmi
Dibalik dari banyaknya polemik yang beredar di kalangan guru dan praktisi pendidikan, nyatanya Komisi X DPR RI sebagai mitra kerja Pemerintah dalam hal ini KEMENDIKBUD RISTEK belum menerima draft secara resmi dari Kementerian. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan bahwa pihaknya belum menerima draft RUU SISDIKNAS dari pemerintah. Beliau juga mengatakan bahwa Komisi X juga belum dapat memastikan RUU SISDIKNAS masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) tahun 2023 atau tahun 2024.
Cakupan Wajib Belajar
Dapat kita lihat dari Instagram resmi KEMENDIKBUD RISTEK (@kemendikbud.ri) bahwa cakupan wajib belajar hari ini adalah wajib belajar 9 tahun dan perluasan wajib belajar ke pendidikan menengah seringkali dilakukan di daerah tanpa melihat kualitas pendidikan dasarnya. Laman itu menyatakan bahwa perluasan ke pendidikan menengah akan dilakukan dengan bertahap di daerah yang kualitas pendidikan dasarnya telah memenuhi standar yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan wajib belajar yang diatur dalam Undang Undang SISDIKNAS ini adalah 13 tahun (prasekolah dan kelas 1-9, serta 3 tahun pendidikan menengah).
ADVERTISEMENT
Perluasan cakupan wajib belajar ini menuai kritikan dalam segi pembiayaannya. Di halaman instagram resmi kementerian terkait dinyatakan bahwa pemerintah akan mendanai penyelenggaraan wajib belajar. Satuan pendidikan negeri tidak dipungut biaya, namun masyarakat boleh berkontribusi secara sukarela, tanpa paksaan dan tanpa mengikat. Jika kita melihat pasal 12 dalam RUU SISDIKNAS disebutkan bahwa orang tua wajib untuk membiayai pendidikan tersebut. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat keduanya setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Materi itu akhirnya akan dikhawatirkan menjadikan orang tua turut wajib ikut membiayai. Sebenarnya, dapat kita lihat dalam materi RUU SISDIKNAS pasal 80 yang menyebutkan bahwa pemerintah hanya membiayai jenis pembiayaan dasar. Akan tetapi, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai komponen pembiayaan dasar yang dimaksud. Hal ini ditakutkan akan berdampak pada ketidak jelasan teknis penerapannya.
ADVERTISEMENT
Polemik tentang cakupan wajib belajar ini juga tidak hanya cukup sampai di sini saja, dalam penataan lembaga sekolah yang berada di bawah kementerian agama seperti madrasah, secara penyebutan hilang dari materi RUU SISDIKNAS ini. Penghapusan nomenklatur ini dinilai akan melemahkan sekolah madrasah, walaupun, hal itu juga sudah dibantah dan dijelaskan oleh pemerintahan terkait, bahwa frasa madrasah atau sekolah hanya disebutkan di dalam penjelasan RUU SISDIKNAS tersebut. Akan tetapi, penyebutan nomenklatur sekolah dan madrasah di dalam penjelasan RUU SISDIKNAS dinilai tidak akan berimplikasi apa-apa bagi eksistensi sekolah dan madrasah. Padahal pencantuman frasa madrasah dalam RUU SISDIKNAS akan berdampak pada adanya penjaminan kepastian hukum dan menghindari diskriminasi perlakuan antara sekolah dan madrasah.
ADVERTISEMENT
Apabila diamati polemik yang sebenarnya secara umum dapat diringkas empat aspek. Pertama aspek filosofis dan visi pendidikan nasional. Sejak era reformasi berlangsung perubahan yang signifikan dalam arah politik pendidikan di indonesia lebih ke arah liberal dan segregasi. Pendidikan indonesia sekarang dinilai jauh dari filosofi dan visi pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam UUD 1945. Seharusnya upaya pembenahan sistem pendidikan nasional ini harus diberikan perhatian bersama baik pemerintah maupun masyarakat secara umum. Perlu adanya penegasan dan cara pandang bersama dalam hal membaca persoalan-persoalan pada pendidikan nasional hari ini, agar penyusunan ulang sistem pendidikan ini adalah langkah awal dalam mengatasi carut marut nya sistem pendidikan nasional termasuk mengatasi isu - isu klasik seperti persoalan mutu pendidikan, pemerataan kualitas dan fasilitas, kualitas pendidikan, penyelenggaraan pendidikan dan penganggaran pendidikan. Selain itu juga isu - isu pendidikan yang hari ini seperti persoalan otonomi pendidikan, liberalisasi pendidikan, komersial pendidikan, dan politik pendidikan kiranya perlu dijawab sebagai bentuk usaha untuk mengatasi tantangan zaman di dunia pendidikan secara lokal, nasional dan global.
ADVERTISEMENT
Aspek kedua mengenai polemik penyusunan RUU ini adalah mengenai legitimasi dan regulasinya. Manifestasi dari visi pendidikan indonesia terletak pada legitimasi dan regulasinya. Dua hal tersebut akan berdampak pada efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan nasional secara konsisten dan berkelanjutan. Potensi disintegrasi bangsa sebagai akibat dari kacaunya regulasi yang diskriminasi peran - peran negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan telah berbahaya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Belum lagi dengan tumpang tindihnya regulasi kebijakan terkait pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan kebingungan dalam hal pengelolaan wewenang pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Polemik revisi UU SISDIKNAS ini patut kita sudahi dengan cara menghimpun kembali segenap elemen masyarakat agar penataan ulang ketentuan pokok dan regulasi dari sistem pendidikan ini bisa sesuai dengan cita-cita bersama bangsa ini, sehingga tidak kebingungan dan polemik yang ketiga dan keempat yaitu permasalahan pelembagaan dan aspek teknis pelaksanaan Undang-Undang SISDIKNAS ini. Keduanya karena tidak adanya transparansi dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dari berbagai elemen dan berdampak pada terjadinya persepsi diskriminatif di masyarakat baik secara umum atau sebagian daripadanya.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi di atas maka perlu adanya pembahasan serius untuk mengantisipasi polemik dalam pembahasan RUU SISDIKNAS ini agar tidak berkepanjangan dan pembenahan sistem pendidikan khususnya Jawa Barat dan Umumnya di Indonesia dapat dilakukan secepat mungkin tanpa mengesampingkan aspek kualitasnya. Hal tersebut harus mendapat perhatian khusus bagi DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai dengan fungsinya sebagai legislatif untuk mendorong dan mengawasi pemerintahan daerah provinsi Jawa Barat untuk serius dalam membenahi polemik dan masalah pendidikan Indonesia yang juga akan berdampak ke daerah termasuk Jawa Barat.