RUU DKJ: Keharusan atau Kepentingan?

Achmad Hudan Hidayat
Achmad Hudan Hidayat Mahasiswa Aktif Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Desember 2023 23:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Hudan Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum lama ini selalu menjadi perbincangan masyarakat khususnya masyrakat Jakarta, mengenai Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Sebuah RUU yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengubah status Jakarta yang sebelumnya Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
ilustrasi kota Jakarta dari Shutterstock.com
Pembahasan RUU DKJ sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum menjadi perbincangan masyarakat beberapa minggu lalu, melalui pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI M Nurdin mengatakan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Proglesnas) 2023. Hal itu disampaikan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan Tahun 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Selasa (3/10/2023)
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya RUU DKJ ini dianggap sebagai keharusan untuk dibahas serta kemudian dijadikan Undang-Undang, dikarenakan Jakarta tidak akan lagi berstatus Ibu Kota Negara dengan adanya UU IKN. Perubahasan status Jakarta yang tidak lagi disematkan Ibu Kota tentu akan mengubah beberapa ketentuan yang selama ini berlaku di Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota, hal inilah yang menjadi suatu keharusan mengenai perubahan status menjadi Daerah Khusus Jakarta melalui Undang-Undang.
Hanya saja, beberapa minggu lalu pembahasan RUU DKJ oleh DPR mendapat sorotan dan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Adanya beberapa pasal kontroversi menjadi asumsi ada suatu kepentingan yang dimasukkan ke dalam RUU DKJ. Asumsi adanya kepentingan dari beberapa pasal kontroversi dalam RUU DKJ bukan tanpa alasan, hal yang paling menguatkan adanya kepentingan dari RUU DKJ sebagai beleid inisiatif DPR karena dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu pasal yang menjadi perbincangan masyarakat ialah mengenai perubahan sistem kepemimpinan di Jakarta, jika pada hakikat dan biasanya Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih oleh masyarakat melalui Pilkada tetapi justru dalam RUU DKJ ditunjuk oleh Presiden dnegan pertimbangan DPRD. “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.” Bunyi pasal 10 ayat (2) RUU DKJ.
Pasal itu pun kemudian menjadi sorotan dan mendapatkan penolakan keras oleh masyarakat Jakarta, seperti yang disuarakan oleh beberapa akun media sosial Betawi serta beberapa tokoh Betawi yang menyatakan menolak RUU DKJ. Adanya penolakan dari mayoritas masyarakat Jakarta tentu menjelaskan, bahwa tidak seharusnya ada pasal yang mengatur perubahan mengenai sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sebelumnya dipilih rakyat kemudian menjadi ditunjuk Presiden.
ADVERTISEMENT
Penulis pribadi juga beranggapan bahwa RUU DKJ ini adalah suatu keharusan yang mana seharusnya sebatas untuk mengganti status Jakarta dari Daerah Ibu Kota menjadi Daerah Khusus beserta tata kelola pemerintahannya, bukan justru menjadi suatu kesempatan untuk menyantumkan kepentingan yang bukan kepentingan masyarakat didalamnya. Tidak akan ada penolakan terhadap RUU DKJ apabila tidak ada peraturan baru yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, para anggota dewan sebagai wakil rakyat seharusnya bias menyerap aspirasi penolakan pasal kontroversi tersebut bukan justru memaksakan kehendak demi sebuah kepentingan yang tidak seharusnya ada.