Kepercayaan Kental tentang Kembar Buncing

Achmad Humaidy
Lulusan Ilmu Komunikasi yang pernah menjadi buruh bank BUMN dan hijrah menjadi freelance content writer dan KOL Specialist untuk survive di industri digital. #BloggerEksis
Konten dari Pengguna
21 Maret 2018 20:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Humaidy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
A young girl seeks out imaginative ways to cope with the death of her twin brother.
Kental dengan kebudayaan Bali membuat film Sekala Niskala bertahan pada sisi tradisi. Ide film berangkat dari tradisi dan kepercayaan yang ada di masyarakat Bali. “Sekala” dan “Niskala” punya makna kehidupan yang mempercayai dua hal dengan seimbang. Secara filososfis, keduanya berarti yang terlihat (Sekala) dan yang tidak terlihat (Niskala).
ADVERTISEMENT
Unsur Bali semakin diperkuat melalui dialog bahasa dan latar tempat di Bali. Sampai para seniman asal Pulau Dewata juga memberi atmosfer Bali secara luar biasa.
Film Sekala Niskala bercerita tentang Tantri dan Tantra yang menjalin ikatan spiritual yang sarat dengan kearifan lokal. Dihiasi mitos, tradisi, dan budaya Bali, Sekala Niskala berisi kehilangan dan harapan yang berada di garis batas yang tidak pasti.
Cerita diawali dengan Tantra yang mengambil telur di tempat persembahan yang seharusnya diperuntukkan bagi dewa. Telur yang diambil oleh Tantra diberikan kepada Tantri untuk digoreng sebagai lauk makan. Keadaan ekonomi keluarga mereka tergolong susah dan sangat sederhana. Telur yang mereka goreng selalu dibagi dua untuk makan bersama. Sebelum menggoreng telur tersebut, Tantri sudah menanyakan dari mana asal telur itu, tetapi Tantra malah berbohong dan menyuruh Tantri untuk menggoreng telur itu saja.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah makan telur, Tantra menghilang. Tantri yang pertama menyadari hal tersebut segera mencari Tantra. Singkat cerita, Tantra ditemukan dalam keadaan koma dan terpaksa harus rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama.
Establish bulan purnama menyinari dari atas rumah sakit tempat Tantra terbaring lemah. Tantri sebagai saudara kembarnya menyadari bahwa tidak akan punya waktu lebih banyak lagi untuk menjalani hidup bersama saudaranya.
Otak Tantra sudah semakin melemah. Ia mulai kehilangan inderanya satu per satu. Untuk berinteraksi dengan saudara kembar buncingnya terasa sulit. Bulan dan malam pun membungkus cerita magis. Imajinasi mulai berkecamuk sehingga menyiratkan harapan dan kehilangan yang harus dihadapi bersama.
Sekala Niskala merupakan film panjang kedua dari sutradara wanita berbakat, Kamila Andini. Setelah film The Mirror Never Lies pada tahun 2011, film ini dibuat lebih dari lima tahun untuk merealisasikannya. Film pun diproduksi sebagai bentuk persembahan kepada Bali, yang tradisi budayanya sangat dihargai di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kisah fantasi tetap ada. Hanya saja benang merah dianyam melalui tata kostum yang digunakan dalam tarian untuk mengukuhkan eksistensi kebudayaan Bali yang masih bertahan pada tradisi. Beberapa adegan pun akan menguatkan penonton seperti sedang menyaksikan seni pertunjukan tari dari atas panggung.
Olah tubuh yang begitu lentur dan olah vokal yang bernada jujur mengiringi penampilan akting para aktor dan aktris pemeran anak-anak yang sederhana. Kehilangan dalam masa anak-anak mampu terinterpretasi dengan layak meski film lebih banyak diam secara visual. Gerakan pun mengalir tanpa harus berpikir adegan apa yang sedang mereka lakukan. Kekuatan ekspresi menjadi bukti atas keseharian masyarakat yang terjaga dalam kearifan lokal.
Kedua pemeran utama tampak lihai mendalami peran karena sudah terbiasa dalam seni tari. Mereka berhasil membangun simpati penonton untuk tetap duduk di kursi bioskopnya masing-masing. Thaly begitu menawan dan hadir sebagai aktris pendatang baru yang memukau. Kelenturan koreografi yang diajarkan oleh seniman, Ida Ayu Wayan Arya Satyani membuat Thaly terhanyut sebagai Tantri yang menyentuh relung rasa dan menggetarkan jiwa.
ADVERTISEMENT
Ayu Laksmi juga berhasil membawa penonton terenyuh dalam alunan musik tradisional khas Bali yang ia mainkan sendiri sambil melantunkan tembang dari bahasa Bali. Karakternya mampu mencerminkan hipotesis tentang kasih Ibu yang selalu ada di hati anak-anaknya. Cameo seperti Happy Salma (Suster Ida) juga turut membuat film Sekala Niskala punya nilai tersendiri.
Apresiasi budaya dan kearifan lokal Bali memang luar biasa ditampilkan dalam film Sekala Niskala. Tapi, kondisi demikian bisa saja menjadi alasan karena tidak semua penonton suka dengan konsep teaterikal yang diusung. Semoga saja kekurangan ini bisa diterima karena Sekala Niskala sudah memberi pilihan tontonan film Indonesia dengan nuansa dan tema yang lain daripada biasanya.