Wabah COVID-19: Sebuah 'Azab' atas Kelalaian Massal

Achmad Masyhadul Amin Djajawilaga
Mahasiswa Akuntansi, Organisasi, dan Institusi di London School of Economics and Political Science (2019-2020).
Konten dari Pengguna
9 April 2020 19:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Masyhadul Amin Djajawilaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Corona. Foto:  Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya mulai tulisan ini dengan mengutip ungkapan dari seorang sosiolog Jerman terkemuka, Ulrich Beck, dalam kuliahnya di St. Gallen Symposium ke-42. Beliau berkata:
ADVERTISEMENT
Saya melihat bahwa kutipan tersebut cukup menggambarkan ketidakberdayaan kita dalam menghadapi pandemi ini. Untuk menggali ketidakberdayaan tersebut, mari kita bandingkan bagaimana kita menghadapi COVID-19 dengan bagaimana para pendahulu kita menghadapi pandemi sebelumnya seperti Flu Spanyol. Secara kuantitatif, kita bisa dibilang sama payahnya dengan para pendahulu kita dalam menghadapi pandemi-pandemi sebelumnya seperti wabah Flu Spanyol di awal abad ke-20 – jumlah korban jiwa meningkat dan cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, di saat para pendahulu kita payah dalam mendeteksi ancaman pandemi karena belum memiliki teknologi yang mumpuni, mengapa kita yang memiliki teknologi deteksi tetap tidak dapat mencegah COVID-19 dari penyebaran yang luas? Lantas kita berefleksi, pasti ada alasan unik, namun mengusik, di balik cara kita menghadapi COVID-19.
COVID-19 datang di saat masyarakat, khususnya di negara maju, terlalu berasumsi bahwa penyakit menular adalah permasalahan masa lalu yang pasti dapat diatasi dengan berbagai solusi kedokteran modern yang kita miliki. Adapun prevalensi penyakit menular di daerah-daerah tertinggal diasumsikan dapat diatasi dengan pemerataan pembangunan ‘berbasis modernitas’ melalui pembangunan infrastruktur kesehatan serta penyediaan vaksin atau obat-obatan. Sebenarnya sah-sah saja beranggapan bahwa pemerataan pembangunan tersebut dapat mengurangi perkembangan penyakit menular. Masalah hanya akan muncul ketika anggapan tersebut diterima begitu saja (taken for granted).
ADVERTISEMENT
Dengan menerima anggapan bahwa risiko penyakit menular dapat diselesaikan dengan solusi kesehatan modern, kita mulai menyerahkan rasa mawas diri dan kewaspadaan kita pada sistem pengendalian risiko kesehatan. Tanpa mengkritisi anggapan tersebut, kita lupa bahwa strategi yang kita miliki tersebut hanya dapat mengobati penyakit yang timbul pada masa lalu.
Kita lupa bahwasannya modernitas tidak bisa menjadi obat bagi permasalahan masa depan, permasalahan yang belum pernah muncul sebelumnya, dan permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian hakiki (unknown unknown). Menelan mentah-mentah teknologi, ujung-ujungnya, menjebak kita pada ilusi pengendalian (illusion of control) yang menjadi efek samping dari perkembangan teknologi modern, tak terkecuali teknologi kesehatan.
Kita menjadi terlalu yakin bahwa kelak COVID-19 ini dapat dihilangkan dan pergi begitu saja dengan kerja keras para tenaga medis dan ahli epidemiologi. Lantas, setiap tanda-tanda bahaya yang muncul di berbagai negara seperti SARS, MERS, dan yang terkini Ebola, kita anggap sebagai peristiwa yang normal-normal saja atau menganggap permasalahan tersebut sebagai permasalahan yang jauh (remote) yang memiliki kemungkinan kecil terjadi di Indonesia. Penerimaan mentah-mentah atas anggapan tersebut menyebabkan kita menganggap enteng bahkan melupakan dimensi lain dari kehidupan yang perlu kita bangun dalam menghadapi dan menyambut krisis: Resiliensi atau ketahanan masyarakat.
ADVERTISEMENT

Wabah Penyangkalan

Kecenderungan akan kepercayaan berlebih pada kemampuan teknologi tampak dari sikap masyarakat yang menganggap enteng COVID-19. Dari sektor pemerintahan, misalnya, masih dan akan melekat dengan sangat kuat ingatan kita terkait ungkapan-ungkapan para pejabat publik yang meremehkan isu COVID-19 di saat gejala bahaya tersebut sudah tampak.
Bukan hanya di Indonesia, sikap meremehkan ini ditunjukkan oleh banyak pimpinan pemerintahan di dunia seolah-olah penyangkalan ini telah menjadi wabah tersendiri yang menjangkiti banyak pemimpin dunia terlebih dahulu. Hal ini diperunyam dengan sikap pemerintah yang tidak tepat atas berbagai masukan dari para akademisi. Contoh yang menarik adalah bagaimana seorang ‘oknum’ pejabat publik menanggapi sebuah hasil studi dari Harvard yang memperkirakan kerentanan suatu negara terhadap ancaman COVID-19.
ADVERTISEMENT
Bukannya menjadikan temuan ilmiah tersebut sebagai masukan untuk perumusan kebijakan preventif, oknum tersebut justru menganggap penelitian tersebut sebagai ‘penghinaan’ dan menyanggah masukan itu dengan justifikasi berbasis asumsi bahwa alat deteksi yang dimiliki telah disertifikasi oleh AS dan WHO. Penyangkalan risiko telah melekat menjadi karakter berbagai pemerintahan di dunia di awal tahun 2020, dan banyak rakyat yang telah menjadi korban dari penyangkalan ini.
Namun, tidak adil rasanya untuk menyalahkan kegagalan penanganan pagebluk COVID-19 ini hanya kepada pemerintah. Sikap penyangkalan yang ditunjukkan oleh pemerintah pada tingkat tertentu merupakan cerminan keabaian masyarakat. Seringkali kita menyaksikan di lapangan bagaimana masyarakat masih kurang disiplin terhadap protokol pencegahan penyebaran wabah COVID-19, meskipun akhir-akhir ini sebagian dari masyarakat Indonesia berkembang menjadi lebih proaktif dalam mencegah penyebaran penyakit. Namun, di balik wabah penyangkalan ini, pasti ada latar belakang yang penting untuk kita kritisi mengapa kita begitu lupa pada ancaman pandemi.
ADVERTISEMENT
Isu ketahanan dari bencana telah hilang atau setidaknya menipis dalam diskusi publik, tak terkecuali dalam media massa, media sosial, dan pendidikan. Sebenarnya isu kebencanaan telah dimunculkan dalam diskursus publik melalui berbagai media seperti film. Ironisnya, isu ini masih kita anggap hanya sebagai tontonan bioskop. Dahulu, kita masih sempat santai dan bisa tertawa bersama kawan atau keluarga seusai menonton film-film kebencanaan yang menciutkan nyali kita.
Namun, pada saat yang sama kita tidak mempertanyakan makna dari pesan yang disampaikan oleh film-film tersebut. Hal tersebut mencerminkan betapa menjauhnya jiwa kita dari membicarakan tentang strategi kolektif untuk bertahan hidup dan senantiasa menanyakan pada diri kita ‘how if disasters occur?’ Kita baru menyadari dekatnya kita pada guncangan eksistensi diri pada saat bencana datang: dan sekarang orang mulai ramai membicarakan betapa miripnya kondisi yang kita hadapi dengan latar di film Contagion. Bercermin dari kecenderungan ini, tak ada salahnya jika kita menyebut wabah COVID-19 ini sebagai ‘azab’ atas ‘kelalaian massal’ masyarakat modern.
ADVERTISEMENT

Beberapa Refleksi

Wabah penyangkalan dan kelalaian massal yang menjangkiti masyarakat ini tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan kita yang berlebih pada sistem pengendalian risiko kesehatan yang sudah ada. Hal ini bukan berarti bahwa kemajuan teknologi adalah suatu hal yang buruk, namun keterlenaan kita akan kemajuan teknologi dan modernitas menjerumuskan kita pada ilusi pengendalian yang menyebabkan rasa aman yang keliru (false sense of security), yang pada akhirnya menggoda kita untuk melepaskan tradisi mawas diri yang justru diajarkan oleh para leluhur kita.
Anggapan bahwa kita memiliki kemampuan deteksi yang cukup karena alat deteksi kita sudah ‘disertifikasi’ WHO dan AS menggambarkan ketertundukan kita pada teknologi, selain kelalaian kita bahwa penggunaan teknologi itu pun tergantung pada strategi dan cara berpikir di balik penggunaan teknologi tersebut.
ADVERTISEMENT
Wabah COVID-19 tentu saja akan menjadi peristiwa yang terlalu signifikan untuk tidak diambil pelajarannya. Di samping usaha pencegahan yang lebih proaktif, kita harus merefleksikan apa yang telah kita alami ini dengan cara menggali kembali tradisi nenek moyang kita dalam menanggulangi berbagai bahaya sambil memperkuat strategi-strategi tersebut dengan penelitian ilmiah.
Sebut saja lumbung padi yang masih dijaga di Kampung Adat Ciptagelar. Tradisi ini dapat dijadikan contoh bagaimana pembatasan sosial dapat menjadi lebih mudah jika seluruh masyarakat disiplin untuk tinggal di rumah sedangkan kebutuhan pangan dijamin dengan lumbung padi tersebut. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah lama menghadapi berbagai bentuk bencana, sehingga terdapat banyak kearifan lokal yang sebenarnya bisa diterapkan sebagai strategi untuk menjaga ketahanan masyarakat. Setidaknya, dengan adanya sistem ketahanan yang kokoh, seberapa beratnya bencana melanda, masyarakat tidak punah.
ADVERTISEMENT
Mengurangi ketergantungan kita pada modernitas dan membangun resiliensi masyarakat tidak hanya berlaku pada penanganan atas bencana kesehatan, namun juga harus diterapkan untuk menghadapi ancaman sosial, ekonomi, politik, dan ancaman eksistensial. Terlebih lagi, perhatian lebih besar perlu kita tujukan pada bahaya yang bersifat laten, yakni ketika bahaya tersebut berkembang secara lambat namun mencengkeram sangat kuat hingga terinternalisasi dalam pribadi masyarakat. Kembali pada argumen Ulrich Beck di awal, bentuk bahaya laten ini tidak dapat dilepaskan dari efek samping dari modernitas. Modernitas yang berlebihan perlu kita waspadai apabila modernitas itu terlalu menjiwa dalam diri masyarakat hingga saat menghadapi sebuah ancaman eksistensial, mayoritas orang akan berkata: “Ya mau gimana lagi, namanya aja kemajuan zaman.”
ADVERTISEMENT
London, 9 April 2020.