Menjernihkan Rupabumi Bahasa Asing

Achmad San
Editor bahasa Jawa Pos, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
2 Februari 2021 6:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad San tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Anda tidak perlu pergi ke Prancis untuk melihat ikon negara tersebut. Cukup datang saja ke Sumatra Barat. Tepatnya di Kampung Sarosah, Kabupaten Lima Puluh Kota. Di sana dengan mentereng berdiri tegak ”Menara Eiffel” yang tentu saja dijadikan tempat vakansi. Replika yang berada di pelosok desa itu baru saja diresmikan Juni tahun lalu. Bangunan tersebut terletak di wisata yang dinamakan Kampung Eropa.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, ada keuntungan tersendiri karena replika itu ”mendekatkan” kita dengan Eropa. Namun, di sisi lain, kehadiran ikon Menara Eiffel itu, juga ikon-ikon dunia lain yang ada di tanah air, menggambarkan bahwa kita minder (insecure) dengan budaya sendiri. Padahal, Indonesia kerap dijuluki serpihan surga dunia. Kenapa, misalnya, bukan Candi Borobudur saja (sebagai salah satu keajaiban dunia juga) yang direplika di pelosok-pelosok desa?

Bangunan Sarat Sejarah

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Salah satu isinya menyebutkan bahwa rupabumi alias seluruh objek yang ada di bumi, baik alami berupa pulau atau gunung maupun buatan seperti objek wisata yang dibangun, boleh menggunakan bahasa asing dan bahasa daerah.
ADVERTISEMENT
Tapi, ada syaratnya. Pulau, kepulauan, gunung, pegunungan, bukit, dataran tinggi, gua, lembah, tanjung, semenanjung, danau, sungai, muara, samudra, laut, selat, teluk, dan unsur bawah laut (alami) maupun masjid, gereja, stasiun, bandara, pelabuhan, dan jembatan (buatan) itu mesti memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan. Berikutnya, nama rupabumi berbahasa asing atau daerah ditulis dengan aksara Latin, sedangkan yang berbahasa daerah dapat disertai aksara daerah.
Terang saja kabar tersebut langsung viral. Grup WhatsApp Klinik Bahasa, sebuah wadah yang berisi para pemerhati bahasa dari berbagai kalangan, turut mendiskusikannya. Seorang teman, editor bahasa di sebuah media massa, juga meneruskan warta itu ke saya. Menurut klarifikasi yang saya baca-baca, PP itu mengisi kekosongan yang ada dalam Permendagri 39/2008 tentang Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi. Di dalamnya tidak ada ketentuan boleh menggunakan berbahasa asing.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia memang ada beberapa tempat yang menggunakan nama asing karena mengandung nilai sejarah. Di Kepulauan Seribu ada Pulau Onrust dan Benteng Onrust. Soal benteng, rasanya bangunan itu memang sarat cagar budaya sehingga banyak terdapat di sejumlah kota. Benteng van den Bosch di Ngawi, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, hingga Benteng Duurstede di Maluku. Ada pula Jalan Daendels di sepanjang pantura hingga Taman Nasional Lorenz dan Gunung Cartenz di Papua.
Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Lantas, bagaimana mengukur tempat atau bangunan itu bernilai sejarah? Contoh-contoh yang saya sebutkan di atas merupakan nama yang sudah lama memakai bahasa asing. Sebab, bisa saja pemerintah daerah setempat menamainya sekarang. Peraturan ini harus benar-benar dipahami sama oleh semua pihak. Dengan begitu, penamaan asing untuk sebuah tempat/bangunan tidak serta-merta dilakukan tanpa adanya nilai budaya dan sejarah. Yang perlu dijernihkan lagi adalah kriteria bernilai sejarah itu seperti apa sehingga ada tolok ukur yang jelas dan tidak menimbulkan bias tafsir.
ADVERTISEMENT
Syarat bernilai sejarah tersebut memang mesti dijaga ketat. Sebab, sindrom lebih tertarik dengan budaya asing itu memang masih menjangkiti kita hari-hari ini. Betapa pasar masih amat tertarik dengan hal-hal berbau mancanegara. Contohnya, ya, kasus replika Menara Eiffel seperti yang terjadi di Sumatera Barat seperti tadi. Yang di mata urbanis dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Bambang Eryudhawan merupakan bentuk krisis identitas dan kebudayaan.

Gerlap Bahasa Asing

Kita boleh permisif atas PP Nomor 2 Tahun 2021 yang salah satunya mengatur nama rupabumi memakai bahasa asing. Dengan syarat bangunan atau tempat itu mengandung nilai sejarah. Itu pun tentu masih menyisakan ganjalan, terutama di kalangan pemerhati bahasa. Namun, untuk kasus-kasus bangunan atau tempat wisata yang didirikan pemerintah daerah, misalnya, bahasa sendiri (Indonesia maupun daerah) semestinya tetap dikedepankan. Termasuk bangunan yang dikelola pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Kenpark (sebagaimana tertulis di bangunan) atau Kenjeran Park di Surabaya menjadi salah satu yang patut dipersoalkan. Di kala yang lain menggunakan Taman Bungkul, Taman Suroboyo, Taman Prestasi, patut dipertanyakan alasan mempertahankan nama Kenjeran Park (Kenpark). Jenama ”park” ini, tampaknya, memang paling digandrungi dan mungkin diminati pasar. Contoh lainnya adalah Jawa Timur (Jatim) Park dan Saloka Park (Jateng).
Wisata buatan memang cenderung menggunakan bahasa asing ketimbang wisata alami. Sebut saja Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Baluran. Tapi, ada juga bangunan buatan yang pro-Indonesia. ada Taman Mini Indonesia Indah dan Monumen Nasional. Saya juga mengapresiasi Kampung Warna-warni Jodipan yang, meskipun diinisiasi dari pihak swasta, menggunakan bahasa ibu pertiwi.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kalau bicara soal pusat hunian dan perbelanjaan yang lebih menjamur dan ekstrem lagi. Lihatlah Anderson Apartment, Sky Diamont Apartment, Madison Avenue Apartment, Belmont Residence, dan masih berjibun lainnya. Atau, Pacific Place, Central Park, Grand City, City of Tomorrow, dan Mal Olympic Garden. Ke depan, sebetulnya pemerintah punya kewenangan penuh bagi yang ingin mendirikan bangunan baru agar lebih mengutamakan bahasa Indonesia.
Nah, PP Nomor 2 Tahun 2021 ini harus disosialisasikan dengan baik agar tak menimbulkan bias tafsir di masyarakat. Juga agar tak disalahganakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Jangan sampai luruh kekaguman kita terhadap identitas, budaya, dan bahasa sendiri. (*)