Bambu dan Identitas Kebanyumasan

Achmad Sultoni
Staf Pengajar di Prodi DKV Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Konten dari Pengguna
2 April 2021 7:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Sultoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Masyarakat Banyumas mempunyai cara pandang menarik dalam memanfaatkan dan memaknai bambu. Bahkan, bambu mampu menjadi corak kebudayaan dan kearifan lokal.”
ADVERTISEMENT
Sejak masa silam, pring atau bambu menjadi piranti penting dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Tanaman yang memiliki akar tunjam dan berserat itu mampu membentuk simpul kebudayaan yang unik yakni khas kebanyumasan. Bahkan tanaman yang memiliki nama latin bambusa itu mampu menjadi identitas bagi wilayah Jawa bagian barat dengan bahasa khas ngapak-ngapaknya itu. Di antaranya lewat calung, buncis, kentongan, gondolio,
Gondolio Salah Satu Alat Musik Asli Banyumas Berbahan Dasar Bambu (Foto: https://www.auralarchipelago.com)
Ketika melihat, orang segera mengingat bahwa alat berbahan dasar bambu itu berasal dari Banyumas.
Sastrawan Ahmad Tohari berdarah Banyumas pun mengemas calung dalam narasi cerita novel monumentalnya, "Ronggeng Dukuh Paruk". Calung dengan seluk-beluknya dihadirkan begitu memikat. Alat musik dengan bunyi khas itu oleh Tohari menjadi bagian tak terpisahkan untuk berkisah ihwal "Ronggeng". Namun rupanya bambu dalam perspektif kebanyumasan tak hanya soal alat kesenian. Masih ada hamparan menarik lainnya berkaitan dengan bambu, dari yang mewujud mitos, kerajinan tangan, hingga yang filosofis.
ADVERTISEMENT
Bambu dan Budaya Banyumas
Di masyarakat Cilacap, bambu hadir dalam memoar mitos tentang sebuah kerajaan bernama Nusatembini. Kerajaan yang konon letaknya di pantai Cilacap itu diyakini dipimpin oleh sosok perempuan bernama Brantarara. Dikisahkan, untuk melindungi kerajaan dari serangan balatentara musuh, Raja Brantarara memanfaatkan tanaman bambu sebagai benteng pertahanan. Area kerajaan seluruhnya tanami bambu ori sebagai pagar pengaman.
Sigit Purwanto (2016), mencatat bahwa masyarakat Cilacap percaya, jika pusat kerajaan Nusatembini dahulu berdiri kokoh di daerah pinggir pantai. Pusat kerajaannya sekarang masuk areal kilang minyak Pertamina. Itulah sebabnya mengapa terdapat rumpun bambu ori yang dikeramatkan dalam areal kilang minyak. Sedapur bambu ori itu merupakan sisa benteng kerajaan Nusatembini. Kerajaan Brantarara konon dilindungi benteng sakti dari rumpun-rumpun bambu ori setebal tujuh lapis. Benteng ori baru runtuh tatkala diserang oleh tentara kerajaan Pajajaran habis-habisan.
ADVERTISEMENT
Bambu dalam khazanah batik Banyumasan rupanya turut hadir dalam imajinasi pembatik. Pring sedapur atau serumpun menjadi salah satu motif. Dengan warna dasar hitam dan guratan motif berwarna hijau, keduanya bersanding membentuk corak menarik. Ide pembatik tentu tak hanya asal. Serumpun bambu dalam masyarakat Banyumas difilosofikan sebagai simbol kekeluargaan. Sedapur atau serumpun mempunyai makna satu keturunan yang beranak pinak membentuk keluarga.
Penghadiran seputar bambu selanjutnya dapat dilacak dalam tradisi Begalan. Dalam masyarakat Banyumas, Begalan menjadi rangkaian upacara pernikahan. Bambu dalam Begalan berwujud aneka piranti simbolik. Piranti-piranti tersebut misalnya wangkring/pikulan, kusan/kukusan, ilir, dan ian dalam tradisi Begalan terkandung pelbagai filosofis. Aneka piranti tersebut digunakan sebagai media menyampaikan tuturan atau wejangan pada sang pengantin.
ADVERTISEMENT
Wangkring yang fungsinya sebagai alat untuk memikul, misalnya, sebagai simbol bahwa dalam kehidupan berumah tangga harus bisa memikul segala sesuatu bersama. Dalam menjalani bahtera rumah tangga pasti akan mengalami jatuh bangunnya kehidupan. Karenanya, antara suami dan istri harus pandai bekerja sama dan tak boleh egois.
Ian ialah alat untuk mendinginkan nasi berbentuk bujur sangkar. Dalam tradisi begalan alat ini menjadi simbol jagat raya (makro kosmos). Empat sudut pada Ian menjadi simbol arah mata angin, yaitu timur, barat, selatan, dan utara. Ian mengandung pesan bahwa alam raya merupakan anugerah Sang Pencipta yang harus dilestarikan guna menciptakan keharmonisan hidup. Maka pantang apabila membuat kerusakan di muka bumi.
Ilir merupakan alat dapur semacam kipas, namun dalam bentuk yang lebih besar. Fungsi alat ini biasanya digunakan untuk mendinginkan nasi atau menghidupkan bara api pada tungku. Dalam Begalan alat ini mengisyaratkan bahwa sebagai suami maupun istri harus saling mendinginkan tatkala ada prahara atau kesulitan. Baik suami maupun istri harus bisa ngadhem-adhemi (baca: Memberi kesejukan) dan jangan saling memanasi.
ADVERTISEMENT
Ingatan bambu dalam lintas kebanyumasan lainnya yakni manakala menjelang ulang tahun kemerdekaan atau tujuh belasan. Memasuki bulan Agustus, bambu berwujud gapura yang dipajang di gerbang rumah-rumah warga desa. Gapura biasanya dicat dengan warna merah putih. Bambu juga difungsikan sebagai tiang untuk mengibarkan sang merah putih dan aneka umbul-umbul. Ketiganya; gapura, sang merah putih, dan umbul-umbul menjadi panorama menarik. Simbol nasionalisme khas masyarakat desa. Tradisi demikian telah berlangsung sejak mula kemerdekaan di masa silam.
Penguatan Identitas
Historiografi perihal bambu di atas, hanyalah potret kecil ihwal bambu dalam perspektif kebanyumasan. Masih terhampar khazanah lainnya yang patut digali dan diingat. Tetapi yang bisa dicatat, bahwa sejak dulu kala, masyarakat Banyumas memiliki kedekatan tersendiri dengan bambu. Masyarakat Banyumas pun mempunyai cara pandang menarik dalam memanfaatkan dan memaknai bambu. Bahkan, bambu mampu menjadi corak kebudayaan dan kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Sayang, desa sebagai habitat terakhir bagi kelestarian bambu keberadaannya kian mencemaskan. Kencangnya terpaan modernisasi turut memengaruhi perspektif masyarakat dalam mengartikan bambu. Bagi masyarakat desa masa kini, memelihara tanaman bambu dinilai kurang bernilai ekonomis. Bagi mereka, lebih menguntungkan apabila lahan yang ditanami bambu diganti dengan tanaman sejenis sengon, jati, pisang, dan sebagainya. Ditambah alih fungsi lahan untuk pemukiman yang sulit dibendung. Alhasil, tanaman bambu hanya bisa menjadi tanaman bonsai hias ditanam berjajar di halaman rumah-rumah warga.
Upaya membangunkan kembali ingatan masyarakat ihwal bambu amat perlu. Kegiatan semacam Festival Bambu Serayu, Festival Kentongan, Festival Calung, dan aneka festival seputar bambu lainnya, patut diapresiasi. Hal itu adalah usaha menggugah kesadaran masyarakat bahwa bambu tak melulu jadi obor tungku. Namun, langkah menggerakkan kreativitas juga perlu. Dengan begitu, keinginan merawat tanaman bambu agar tetap rimbun mungkin menggebu, sebab masyarakat tahu rupanya bambu tak melulu jadi abu.
ADVERTISEMENT
Achmad Sultoni
Staf pengajar di Prodi DKV IT Telkom Purwokerto dan mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia UNS.