Konten dari Pengguna

Geliat Literasi di Masa Pandemi

Achmad Sultoni
Universitas Telkom Purwokerto
13 Juni 2021 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Sultoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada pepatah terkenal berbunyi “buku adalah jendela dunia”. Ada lagi pepatah berbunyi “buku adalah jembatan pengetahuan”. Meski pepatah tersebut hampir sering kita jumpai, namun sudahkah kita praktikkan pesan tersebut di kehidupan sehari-hari? Atau jangan-jangan pepatah itu hanya sebagai angin lalu yang mudah kabur dari pandang dan mengkristal dalam ingatan? Masing kita bisa mengira-ira jawabannya.
ADVERTISEMENT
Cara paling mudah untuk melaksanakan kata-kata di atas sebetulnya sangat mudah, yakni dengan cara membaca. Cara yang mudah dan murah, namun kita sudah membuka jendela dunia atau menapaki jembatan penegetahuan. Di perpustakaan-perpustakaan, entah desa, kota, daerah, lembaga, dsb. kita bisa menemukan surga bacaan.
Ada lagi bila mau menggunakan cara yang lebih praktis yakni melalui gawai. Berbagai buku elektronik, artikel, cerita, bisa didapat dengan mudah. Di mana pun, kapan pun. Hanya menggunakan ujung jemari yang diketik pada menu internet kita bisa memperoleh banyak bacaan. Kita pun bisa membaca sambil duduk di atas kursi, lesehan di lantai, atau di dekat jendela sambil memandangi hujan yang turun dari langit. Semua dapat dilakukan untuk lebih menyemarakkan gelora diri dalam membaca .
ADVERTISEMENT
Tradisi Literasi Kita
Selasai membaca, kita pun bisa berdiskusi dengan teman, sambil mendalami buku bacaan yang disantap. Bahkan malah diskusi itu diperlukan untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan yang mungkin kadang kita temukan dari bacaan yang dibaca. Ini sekali lagi sebagai bagian dari cara menyemarakkan gelora diri untuk semangat membaca. Mendedah pengetahuan tentang semesta yang belum tergali. Cara demikian sesungguhnya juga bisa mengurangi rasa suntuk pada kegiatan membaca. Kegiatan yang bagi sebagian orang menjadi kegiatan membosankan.
Saking menyuntukannya kegiatan membaca, maka tak heran apabila di tempat-tempat umum semisal halte, peron stasiun, tempat tunggu bandara, dan lainnya. Namun di Indonesia jarang sekali kita temui orang-orang membaca buku. Pemadangan kebanyakan ialah memainkan gawai.
Tidak seperti di luar negeri yang di waktu luang apa pun mereka manfaatkan untuk membaca. Seperti waktu luang pada saat menunggu kereta, bus, atau jadwal penerbangan pesawat. Seolah-olah bagi mereka sangat disayangkan apabila waktu terbuang begitu saja. Tetapi jangan-jangan ini sesungguhnya hanya soal tradisi. Kegiatan membaca belum menjadi tradisi di masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Melihat ilustrasi semacam di atas, maka tidak heran apabila daya saing Indonesia terus saja jongkok. Dibanding dengan negara-negara lain, kita kalah soal tradisi membaca. Jangan jauh-jauh dengan negera yang sudah maju seperti Jepang, Korea, Amerika, dan lainnya. Mengecewakannya, disandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia saja kita kalah bersaing.
Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil pemeringkatan literasi (melek huruf) dari 61 negara dan Indonesia duduk di peringkat ke-60. Pemeringkatan dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU), Amerika Serikat pada 2015 lalu. Menggemaskan memang. Boleh jadi banyak yang protes atas pemeringkatan tersebut. Dalam kondisi ini, budaya membaca kita memang amat kurang. Standar UNESCO waktu membaca 4-6 jam sehari, sementara kita 2-4 jam sehari. Padahal negara-negara maju 6-8 jam sehari. Dari aspek budaya membacanya saja kita perlu berkaca. Belum ditambah budaya menulis. Kita lebih kedodoran.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi standar UNESCO, kita perlu mengubah persoalan krusial. Waktu 24 jam yang kita miliki dalam sehari harus ada manajemennya. Dalam waktu sehari, 4 jam harus diisi untuk kegiatan membaca. Enam jam untuk kita tidur. Sedangkan lebihnya, 14 jam, dapat kita gunakan untuk keperluan lain.
Tentu, kegiatan membaca tersebut tidak mesti kita sediakan secara khusus. Jika memang terlalu sulit, kegiatan membaca bisa dilakukan di waktu senggang sebagaimana yang saya singgung di atas. Jika terus ditradisikan, setidaknya akan menjadi teladan bagi orang lain di sekitar kita. Atau minimal saudara-saudara kita, anak-anak kita, atau siswa-siwa kita.
Kegiatan bedah buku puisi di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Foto: Dokumentasi Penulis
Geliat Literasi
Membicarakan tradisi berliterasi masyarakat kita, sesungguhnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Ada percik-percik harapan untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Lihat saja bagaimana masifnya gerakan literasi di daerah-daerah, sabang sampai merauke. Sastrawan dan aktivis literasi Nirwan Ahmad Arsuka misalnya, rela mengarungi samudera, menyusuri rimba hutan, menuju pulau-pulau, demi untuk menularkan minat literasi, khususnya membaca. Menggunakan kuda pustakanya, ia bersetia berjibaku dengan tantangan demi membangun indonesia.
ADVERTISEMENT
Rupanya orang-orang seperti Nirwan Ahmad Arsuka tidak sedikit jumlahnya. Kita bisa cari di sekitar Anda orang-orang seperti Nirwan. Orang-orang bertangan dingin yang tidak memikirkan diri sendiri. Berusaha andil dalam membangun Indonesia. Fenomena gerakan literasi seperti angkot pustaka, lapak literasi, rumah baca, taman baca, merupakan beberapa contoh Nirwan yang lain. Akhir-akhir ini jumlah relawan literasi yang demikian terus berkembang.
Di Kota Mendoan, Purwokerto, misalnya, ada Rumah Kreatif Wadas Kelir. Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK)—sebuah kegiatan nirlaba yang digerakkan anak-anak muda—mendidik generasi literasi. Generasi berkreatif membaca dan menulis. Sejak tahun 2013 lalu, sekelompok anak muda tersebut relawan yang berhasil menampakkan wajah lain di sebuah kampung kecil di wilayah Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Dari kerelaan tangan mereka, kini anak-anak di kampung Karangklesem akrab dengan dunia literasi.
ADVERTISEMENT
Hampir tiap sore, wajah sumringah nan ceria, ditampakkan oleh anak-anak Wadas Kelir. Sepulang sekolah, anak-anak tersebut bergegas menuju sebuah rumah sederhana yang dalam rumah tersebut mereka temukan dunianya. Di rumah itu, mereka bisa menjelajahi dunia, bahkan mengimajinasikan semesta raya. Berbagai buku yang disajikan oleh empunya rumah, mereka bisa membuka cakrawala pengetahuan sesuka hati. Syaratnya asal mau membaca alias gratis.
Adalah Heru Kurniawan, sosok penggagas sekaligus pendiri taman bacaan masyarakat Rumah Kreatif Wadas Kelir. Berkat tangan dingin Heru, kini anak-anak di kampung tempat tinggalnya kini menjadi semakin akrab dengan dunia literasi. Visinya adalah “Berkreativitas Tanpa Batas”.
Heru ingin generasi kreatif akan lahir dari perjuangannya tersebut. Karenanya, Heru bersama relawan mengkolaborasikan aneka kegiatan penunjang bagi anak-anak RKWK. Mulai dari kreativitas menulis, teater, melukis, matematika, bahasa, dikemas secara kreatif menjadi kegiatan belajar yang mengasyikan.
ADVERTISEMENT
Munculnya gerakan literasi seperti Rumah Kreatif Wadas Kelir, rumah baca, pojok literasi, dan sebagainya, kiranya menjadi nyala asa bagi kebangkitan budaya literasi kita. Saya kira kesadaran menggerakkan literasi sehalnya yang dilakukan anak-anak muda di Purwokerto patut diteladan dan diilhami oleh para anak muda bangsa ini.
Tanpa berkoar untuk mengundang pujian, tanpa mengumandangkan nada-nada sumbang, mereka terus bergerak dan bergerak. Misi yang ingin ditunaikan tidak lain ialah mendidik generasi lebih kreatif untuk masa depan anak-anak pertiwi. Harapan memerdekakan literasi yang
masih dalam ironi.
Bagaimana gerak literasi mereka di masa pandemi ini? Gerak literasi tersebut masih berjalan meski sempat tersendat. Terlebih lagi anak-anak banyak yang bosan dengan aktivitas belajar daring. Literasi permainan tradisional menjadi penjeda yang menarik. Sehingga semangat literasi pun tak sekadar membaca dan menulis.
ADVERTISEMENT
Achmad Sultoni,
Staf pengajar di Institut Teknologi Telkom Purwokerto.