Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Literasi Digital bagi Anak Usia Dini
30 Desember 2021 10:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Achmad Sultoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada dua fenomena yang memprihatinkan dan menjadi tantangan kita bersama. Hal ini mungkin tidak disadari oleh kebanyakan orang. Pertama, laporan dari Microsoft yang merilis laporan Digital Civility Index (DCI), laporan untuk mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia ketika berkomunikasi dunia maya. Malang sekali, dari riset tersebut warganet Indonesia dinilai paling buruk tingkat kesopanannya se-Asia Tenggara. Ada tiga faktor di balik ketidaksopanan tersebut, mulai maraknya berita hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari riset tersebut, kita bisa merefleksikan sendiri bagaimana tingkah laku warganet Indonesia menghuni dunia maya. Di media-media sosial kita tidak sulit membaca komentar buruk warganet itu. Siapa berani menyangkal komentar buruk itu niscaya bakal dipukul keras menggunakan kata-kata kasar. Bisa dikatakan tingkah laku demikian mungkin sudah menjadi rahasia umum. Berkomentar tidak sopan dianggap sesuatu yang biasa di belantara maya.
Kedua, hal yang tidak kalah mencengangkan adalah aktivitas generasi muda sebagai pecandu game online. Rutinitas yang bikin para orang tua mengelus dada. Bagaimana tidak, anak-anak itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan seharian penuh hanya untuk fokus menatap layar gawai sembari menarikan jemari tangannya. Apakah anak-anak itu bisa sefokus itu ketika berhadapan dengan buku bacaan? Mungkin baru beberapa menit sudah kelimpungan.
ADVERTISEMENT
Begitulah generasi internet, gawai ibarat kehidupan keduanya. Bermain game online terus lalu belajarnya kapan. Beda sekali dengan generasi sebelum ada internet dan gawai seperti masa kecil saya dulu. Waktu dihabiskan dalam lima perkara: Beribadah, belajar, mengaji, bermain, dan membantu pekerjaan rumah. Meski sama-sama bermain tapi ingat waktu. Waktu pun tidak dihabiskan semuanya untuk bermain.
Menghadapi anak-anak generasi candu gawai tersebut tak banyak orang tua yang punya cara jitu buat mengalihkan perhatian anak pada gawainya. Para orang tua tak berkutik. Para orang tua pun sebetulnya paham bahwa kebiasaan terlalu lama menatap layar gawai tidak bagus buat perkembangan jiwa.
Bekal Literasi Digital
Dua fenomena yang disampaikan di awal tulisan ini hemat saya adalah perkara serius. Jika tidak diantisipatasi dan dicarikan jalan keluarnya khawatir persoalan tersebut bakal menjadi bencana sosial di tubuh bangsa kita. Kehidupan sosial dari segi umum akan ada kendala serius.
ADVERTISEMENT
Pertama, bencana sosial. Tidak sedikit terjadi di kehidupan nyata, orang menjadi dendam bahkan mungkin berkelahi gara-gara adu kata-kata di media sosial. Seseorang itu awalnya mungkin tidak sadar bahwa apa yang diketiknya di media sosial itu biasa saja, sesuatu yang lumrah. Media sosial dirasa sebagai dunia maya dan fana. Setiap orang dipandang bebas melakukan apa saja, termasuk dalam konteks mengekspresikan keinginan jiwanya untuk berontak.
Pertanyaannya bagaimana bila semakin banyak orang yang berpandangan demikian? Jawabannya adalah riset dari DCI di awal tulisan ini. Dalam bersosial kita akan lebih mudah bertikai. Padahal kita tahu sendiri bahwa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur dan agama yang mudah sekali terjadi gesekan sosial. Kita rasakan panasnya kehidupan berbangsa kita tatkala menjelang pemilu. Kita mudah sekali terpecah belah hanya karena beda pandangan.
ADVERTISEMENT
Riset DCI hemat saya mesti kita tanggapi dengan bijak. Bolehlah kita membela diri dengan anggapan bahwa orang Indonesia ramah-ramah dan berjiwa sosial tinggi. Sikap itu sudah ditanamkan oleh nenek moyang kita. Ya, saya sepakat dengan pameo itu. Namun kiranya zaman sudah berubah. Warisan nilai sosial dari para pendahulu barangkali sedang kendur untuk diamalkan, bahkan mungkin sudah terputus. Sebaiknya kita jadikan hasil riset DCI sebagai alarm awal bagi persatuan kita. Kita hendaknya semakin bijak dalam bermedia sosial. Kitalah yang memanfaatkan teknologi, bukan dimanfaatkan oleh teknologi.
Kedua, bencana mental generasi mudah yang buruk. Anak-anak mengalami keterjajahan teknologi yang serius. Anak-anak yang bermain game online berjam-jam, berhari-hari. Pikiran mereka hanya ada satu: game online. Lantas bagaimana aktivitas di luar itu? Aktivitas belajarnya misalnya. Ya, tentu saja belajar tidak hanya soal sekolahnya saja. Ada juga belajar sosialnya. Anak-anak yang kecanduan game online kebanyakan jarang berinteraksi dengan lingkungannya, tetangganya misalnya. Ia merasa lebih senang bila bercengkerama dengan layar gawai. Masih ada memang anak-anak yang bergumul dengan teman lainnya. Tetapi mereka pada akhirnya sama-sama asik dengan gawainya.
ADVERTISEMENT
Ada istilah yang menarik dan banyak dipakai oleh anak-anak sekarang. Istilah itu adalah mager atau akronim dari malas gerak. Kalau mereka malas gerak lalu inginnya mereka apa? Mereka lebih menyukai aktivitas rebahan, sehingga lahirlah generasi rebahan. Meski hanya istilah kedua istilah itu, mager dan rebahan saya kira mewakili realitas di kehidupan sosial kita. Toh, ada istilah bahasa tidak lahir tanpa kekosongan budaya. Berarti lahirnya istilah mager dan rebahan yang banyak dipakai anak-anak muda di media sosial sebetulnya ada di dunia nyata. Ya, generasi pecandu gawai itu tadi.
Peran Bahasa Indonesia
Lagi-lagi yang menjadi sasaran tembak adalah guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia memang harus multikemampuan, termasuk tatkala diminta buat mencari obat mujarab bagi para pecandu gawai generasi internet. Termasuk dinanti perannya untuk memberi penyuluhan tentang generasi yang gemar mencaci maki di media sosial. Tugas yang tidak mudah. Tapi itulah hebatnya bahasa Indonesia dan guru bahasa Indonesia. Sampai kapan pun akan dibutuhkan perannya membersamai perjalanan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Literasi dan bahasa Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kalau literasi secara sederhananya dimaknai melek aksara, mengajak anak-anak gemar membaca dan menulis, maka di sinilah tautan erat itu. Sedari kecil kita diajari membaca dan menulis melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Kita bisa berkomunukasi dengan baik, mengejawantahkan ide dan gagasan, melalui bahasa Indonesia juga.
Empat keterampilan berbahasa Indonesia kiranya amat penting dewasa ini. Orang makin didesak untuk mau mendengarkan orang lain berbicara. Orang juga makin didesak hati-hati dalam berbicara dan menulis ketika bermedia sosial. Yang tak ketinggalan lagi orang makin didesak untuk cermat dan banyak membaca agar tidak keliru menangkap suatu informasi. Bila satu itu kita lupakan kehidupan berbangsa kita akan begini-begini saja.
ADVERTISEMENT
Lalu mau tunggu apalagi. Para guru bahasa Indonesia jadilah pustaka berjalan. Ia akan terus menjadi aktivis literasi sejati. Jarang sekali dijumpai penanggung jawab unit perpustakaan sekolah dipegang selain oleh guru bahasa Indonesia. Penunjukkan itu bukan tanpa alasan. Guru bahasa Indonesia dipandang memiliki pengetahuan yang lebih luas. Guru bahasa Indonesia dianggap mampu menularkan virus literasi pada anak didiknya. Ya, memang di era pandemi seperti sekarang ini kita agak sulit untuk menularkan kebiasaan baik itu. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Di rumah, anak-anak akan lebih mempunyai banyak waktu. Jangan biarkan mereka malah lebih giat bermain gawai. Masing-masing guru bahasa Indonesia pasti punya solusi hebatnya. Tabik!***
Achmad Sultoni, dosen IT Telkom Purwokerto dan mahasiswa program doktoral PBI UNS.
ADVERTISEMENT