Mengembangkan Desa Wisata Ekologis

Achmad Sultoni
Staf Pengajar di Prodi DKV Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 20:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Sultoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berwisata ke area persawahan (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/sepeda-wanita-hijau-topi-pedesaan-1822418/)
zoom-in-whitePerbesar
Berwisata ke area persawahan (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/sepeda-wanita-hijau-topi-pedesaan-1822418/)
ADVERTISEMENT
Perspektif kota sebagai harapan benderang masa depan kiranya belum padam dari benak pemuda kita. Kota masih menjadi imajinasi kolektif yang seakan-akan diyakini menjanjikan kehidupan ideal. Masifnya pemuda desa yang lebih memilih mengadu nasib di kota-kota besar, bahkan ke negeri-negeri seberang, merupakan salah satu gejala penandanya. Bahkan hal ini kemudian menjadi semacam pameo di kalangan masyarakat perdesaan bahwa “jika mau sukses, merantaulah.”
ADVERTISEMENT
Alhasil, desa sebagai tanah air pertamanya terbiarkan layaknya miniatur berdebu. Desa sunyi dari hiruk pikuk perbincangan para pemuda desa dalam merancang kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Ramai pembicaraan perihal desa hanya saat para diaspora desa atau para perantau mengungkapkan kerinduannya pada kampung halaman.
Apakah sekiranya desa sungguh-sungguh tidak mampu memberi penghidupan, sehingga para penghuninya lantas mencari penghidupan di kota? Pertanyaan demikian penting untuk diajukan sebagai bahan refleksi bagi pemuda Indonesia, khususnya mereka yang merupakan bagian dari desa atau tinggal di desa. Mengingat gejala urbanisasi dan migrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang hingga kini belum terpecahkan.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa para pemuda desa memilih meninggalkan desa. Namun demikian, alasan yang banyak dilontarkan ialah tidak tersedianya lapangan kerja di desa. Sekalipun ada terkadang upah yang kecil membuat para pemuda desa lebih memilih mencari peruntungan keluar dari desa. Subadi (2010) menegaskan bahwa faktor paling dominan penyebab urbanisasi migrasi yaitu faktor ekonomi. Di desa ketersediaan lapangan kerja terbatas dan upah yang kecil. Hal ini kemudian menciptakan pola pemikiran bahwa seolah desa tidak memberi penghidupan.
ADVERTISEMENT
Dikontekskan dengan pembangunan desa sesungguhnya merupakan kerugian besar apabila fenomena urbanisasi dan migrasi tidak direm laju pertumbuhannya. Hal ini mengingat umumnya para perantau tergolong dalam usia produktif. Bahkan banyak perantau yang hingga menjelang usia tua baru pulang ke desa. Komposisi penduduk di desa menjadi tidak ideal sebab minimnya penduduk usia produktif. Ini bisa berdampak terhadap tidak optimalnya pembangunan desa sebab didominasi penduduk usia tidak produktif. Padahal, tantangan besar sedang mengadang di depan mata. Di antara tantangan itu ialah bonus demografi dan revolusi 4.0.
Indonesia di tahun 2020-2030 diramalkan akan mengalami bonus demografi. Bonus demografi yakni angka usia produktif mencapai 70 persen, sedangkan 30 persennya usia tidak produktif (Tangdos, 2018). Sementara di sisi lain, Revolusi Industri 4.0 menjadi isu yang tidak kalah mengkhawatirkan. Digitalisasi dan robotisasi dipandang sebagai ancaman baru terhadap ketersediaan lapangan kerja. Dampak berantainya ialah semakin besarnya potensi pengangguran. Nugroho (2018) memandang bahwa ke depan permintaan kerja bergeser. Hal ini dipengaruhi keinginan perusahaan untuk memangkas biaya yang ditimbulkan sumber daya manusia. Tenaga manusia diambil alih oleh otomatisasi robot.
ADVERTISEMENT
Memperhatikan fenomena tersebut di atas, pemerintah telah berupaya sigap meresponsnya. Pemerintah sudah mulai menaruh perhatian besar terhadap pembangunan desa. Pembangunan nasional diarahkan untuk dimulai dari desa sebagai nawacita pemerintah. Hal ini tentu sesuatu yang menggembirakan sebab jika dahulu desa hanya sebagai objek pembangunan, sedangkan sekarang desa menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Melalui dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat setiap tahunnya desa sedang menapakkan era baru pembangunan. Usaha untuk memajukan pembangunan dari wilayah pinggiran tersebut menjadi peluang besar untuk menuju desa yang berdaulat.
Berpijak pada uraian tersebut di atas, melalui tulisan ini penulis ingin memberikan pandangan perihal pengoptimalan sektor wisata masyarakat atau community based tourism guna menapaki bonus demografi di tengah revolusi industri 4.0. Sektor wisata masyarakat dipandang mumpuni untuk menggerakkan perekonomian masyarakat sekaligus membuka peluang pekerjaan. Basis pengelolaan yang bertumpu pada masyarakat juga bertujuan menemukan peluang baru wisata alternatif. Hal ini nantinya juga diharapkan dapat menggali potensi lokal yang boleh jadi belum tergarap selama ini.
ADVERTISEMENT
Ada kecenderungan tren wisata menarik untuk disimak dewasa ini. Tren wisata tersebut ialah ramainya objek wisata yang dikonsep berangkat dari sudut pandang urban. Gejala urbanisme yang masif di Indonesia secara psikologis sosial akan mengalami puncaknya. Andriyani, dkk. (2017) menuturkan, saat muncul kejenuhan terhadap objek wisata modern dan ingin kembali ke kehidupan di alam dan berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu menjawab pertanyaan mengapa desa wisata semakin marak.
Selain itu, tren wisata kontemporer lebih didominasi oleh wisatawan milenial. Tren ini menurut Lenggogini (2017) dipengaruhi karakter wisatawan yang lahir tahun 1980-1990 ini gemar mencari pengalaman baru, termasuk wisata petualangan, eksplorasi, dan perjalanan darat (road trips). Sementara itu, masih membicarakan tren wisata kontemporer, Lestari, dkk. (2018) memandang destinasi wisata yang kian populer ialah destinasi wisata yang instagramable. Destinasi wisata instagramable diartikan sebagai destinasi wisata yang fotogenik bagi wisatawan untuk diunggah di media sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut menarik untuk dijadikan peluang emas dalam mengembangkan warna baru wisata kekinian. Kedua tren tersebut dapat dikemas melalui desa wisata edukatif berbasis ekologis. Menurut Qomariah (via Dianasari, 2017) wisata ekologis yakni wisatawan menikmati keanekaragaman hayati dengan tanpa melakukan aktivitas yang menyebabkan perubahan pada alam, sebatas mengagumi, meneliti, dan menikmati serta berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Upaya mendukung mengembangkan desa wisata edukatif berbasis ekologis dipandang perlu memperhatikan prinsip pengembangan ekowisata yang disusun oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Dianasari (2017) menyebutkan bahwa prinsip tersebut meliputi prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyarakat, prinsip ekonomi, prinsip edukasi, prinsip wisata. Berdasarkan prinsip pengembangan ekowisata wisata tersebut, banyak desa di Indonesia dipandang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan desa wisata ekologis.
ADVERTISEMENT
Zaman berjalan begitu dinamis. Sudah sewajarnya memang di semua lini kehidupan terjadi perubahan. Bahkan terkadang perubahan tersebut timbul begitu cepat. Sama halnya dalam dunia pariwisata. Sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa akan ada pembaruan sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaruan tersebut di antaranya ialah ditandai dengan munculnya wisata-wisata alternatif, salah satunya usaha mengembangkan desa wisata edukatif berbasis ekologis. Rancangan ini sekaligus hasil refleksi kita pada pandemi agar lebih menghargai lingkungan sebagai bagian penting eksistensi kehidupan.***
Achmad Sultoni, staf pengajar di Institut Teknologi Telkom Purwokerto.