Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Sastra dan Literasi Digital
21 Juni 2021 10:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Achmad Sultoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hoaks (berita palsu) seolah menjadi bencana bagi negeri tercinta kita ini. Hoaks semacam menjadi teror yang teramat menakutkan. Hoaks sarat provokasi. Dampaknya, salah satunya meletupnya pelor kebencian. Dampak yang tak kalah menakutkan ialah terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan banyak pengamat menilai, jika tidak segera diantisipasi dengan baik, hoaks dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan tubuh bersosial bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Berbagai seruan untuk meredam wabah hoaks pun telah dilakukan oleh banyak pihak. Seruan tersebut di antaranya berupa deklarasi untuk gotong royong melawan hoaks. Memang betul bahwa kita sudah sepatutnya mengutuk keras atas penyebaran berita-berita palsu. Deklarasi tersebut merupakan wujud semangat untuk menciptakan masyarakat antihoaks, utamanya di media sosial yang dinilai sangat mengkhawatirkan. Perlu sekali dihadirkan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana menyikapi berita-berita palsu.
Berita hoaks terkadang tanpa sadar kita konsumsi. Satu misal, pernah terjadi di tempat tinggal saya. Ada berita yang menggemparkan masyarakat desa. Berita itu adalah ihwal maraknya penculikan anak. Memang kasus penculikan bisa saja terjadi di mana pun. Tetapi persoalannya, di berita yang saya dengar konon si penculik biasanya menyamar sebagai seorang gila. Berita ini tersebar di dunia maya, di media-media sosial, khususnya Facebook. Akibat desa-desus inilah, kemudian orang-orang curiga kepada setiap orang desa yang berkeliaran. Sampai puncaknya, saya mendengar lagi bahwa ada seorang gila yang diamuk massa akibat disangka penculik. Mirisnya, setelah dilakukan penyelidikan oleh kepolisian rupanya orang gila yang dipukuli tidak terbukti sebagai penculik. Ia betul-betul orang gila. Begitulah kengerian hoaks.
ADVERTISEMENT
Surplus Teks
Dunia digital adalah dunia literasi hasrat tanpa batas. Dunia digital, meminjam kata-kata Yasraf Amir Piliang (2003) merupakan dunianya para iblis yang menemukan tempat paling aman menggoda manusia. Sebab di alam maya yang anonim dan tanpa identitas itu, orang dikontruksi secara sosial untuk cenderung tidak pernah bersalah, merasa berdosa, merasa malu, merasa takut, dan merasa kasihan karena di dalamnya orang merasa tidak pernah merasa ada pengawasan (surveillance) siapa pun, termasuk Tuhan.
Merupakan sebuah keniscayaan apabila dikontekskan dengan kehidupan akhir-akhir ini. Derasnya arus informasi hampir sulit untuk dibendung. Setiap menit, bahkan detik, teks-teks bertebangan dan berhamburan, khususnya di dunia maya. Hanya bermodal gawai dalam genggaman, telunjuk manis manusia dapat menghasilkan teks-teks sesuka dirinya. Dari yang ajakan yang sifatnya kepada kebaikan, sampai yang sifatnya mengadu domba, hujatan, kedengkian, dan sebagainya, dan sebagainya. Alhasil, dua-duanya tumpah ruah di alam raya, bernama maya. Berita-berita palsu hanyalah konsekuensi daripadanya. Gejala ini tak hanya menghantui Indonesia, tapi juga dunia.
Literasi Berpikir
Apresiasi sastra meminjam penjelasan Sapardi Djoko Damono (2016) ialah penghargaan atau kesadaran akan adanya nilai pada karya sastra. Seseorang yang memiliki apresiasi sastra adalah yang memiliki penghargaan dan kesadaran. Dalam penghargaan tersirat pengertian pemahaman dan penghayatan. Kalau seseorang menghargai sesuatu, tentunya seseorang itu sudah mampu memahaminya dan menghayatinya terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Ihwal apresiasi sastra, Damono sepertinya hendak mengatakan bahwa apresiasi sastra berusaha menggali kepingan nilai. Apresiasi sastra mengamanatkan agar siswa untuk dapat mendapati kebenaran hakiki. Sesuatu yang dapat diilhami untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Apresiasi tak hanya memberi penghargaan pada sesuatu. Tetapi sebelumnya harus didahului oleh sikap sadar memahami dan menghayati sesuatu yang hendak dihargai.
Hal ini senada dengan pendapat yang pernah dilontarkan B. Rahmanto (Metode Pengajaran Sastra, 2000) bahwa salah satu manfaat apresiasi sastra membina kecakapan berpikir seseorang. Sering dianggap kalau kecakapan berpikir hanya dalam dunia matematika atau fisika, sedangkan sastra tidak. Menurutnya, anggapan semacam itu hendaknya segera disingkirkan. Proses berpikir logis banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klarifikasi dan pengelompokan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi tindakan yang tepat tentang sebuah teks.
ADVERTISEMENT
Tentu saja guru di sekolah tidak langsung bisa memperoleh kecakapan demikian. Butuh waktu untuk berproses. Yang dipentingkan adalah terdapat pengejawantahan cara berpikir yang tidak “asbun” (baca: asal bunyi) dalam mengutarakan ujaran dan menyikapi suatu pendapat. Sejak awal hendaknya siswa dilatih memahami fakta-fakta, membedakan yang pasti dan yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal metode argumentasi yang betul dan yang sesat, dan sebagainya.
Saya kira generasi—yang oleh budayawan Radhar Panca Dahana disebut generasi digital—butuh stimulus berpikir yang demikian. Sebuah cara berpikir kritis dan logis untuk menghadapi teks-teks yang setiap harinya membanjiri kehidupan. Apalagi Indonesia berdasarkan Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sebagaimana dikutip Kurniawan (2016) mengungkapkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta orang atau setara dengan 51,8 dari seluruh penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kurikulum 2013 yang kita gunakan saat ini berbasis teks. Ini artinya sangat memberi ruang untuk melatih siswa menempa diri untuk terbiasa berpikir kritis. Pembelajaran sastra hendaknya tidak lagi sekadar menghafal nama-nama sastrawan dan karyanya laiknya zaman dulu kala. Pendekatan saintifik (scientific learning) menggugah pembelajaran yang berazaskan penemuan ilmiah. Pendekatan saintifik bisa menjadi jembatan emas dalam menggembleng pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa. Kemampuan demikian menjadi bekal siswa dalam menghadapi setan-setan digital yang belakangan semakin membabi-buta di hutan belantara bernama dunia maya.***
**Achmad Sultoni,
Dosen di Institut Teknologi Telkom Purwokerto.