Konten dari Pengguna

Dinamika Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Achmad Hariri
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya
18 Februari 2024 10:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Hariri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengelolaan batu bara, sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengelolaan batu bara, sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Persaingan antara kewenangan pusat dan daerah dalam hal penguasaan kekuasaan telah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum negara ini terbentuk. Perdebatan antara model negara yang bersifat kesatuan dan federalisme menjadi sorotan utama dalam proses penyusunan konstitusi. Pemikiran Soekarno mewakili pandangan yang cenderung unitaris, sementara Moh Hatta mengusung pandangan federalis. Namun, akhirnya tercapailah kesepakatan kompromi dengan penetapan negara sebagai negara kesatuan (sesuai Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945) dengan prinsip Desentralisasi (sesuai Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945).
ADVERTISEMENT
Prinsip desentralisasi ini mengalami perkembangan yang fluktuatif dalam implementasinya. Pada masa orde reformasi, prinsip ini tampak sangat kuat namun kurang terasa karena perhatian pemerintah lebih tertuju pada isu politik. Pada masa orde lama, prinsip desentralisasi cenderung lemah, dan pemerintah memiliki kecenderungan untuk bersifat sentralistik. Baru setelah memasuki era reformasi, wajah baru desentralisasi mulai terlihat jelas.
Pemerintah daerah mulai menemukan cahaya terang dengan diberikannya sejumlah kewenangan, termasuk dalam pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Namun, perkembangan ini tidak berlangsung lama.
Setelah melalui perjalanan panjang, terutama pada tahun 2014, kewenangan pemerintah daerah mulai dikembalikan kepada pusat. Hal ini tercermin dalam pemerintah kabupaten yang kehilangan kewenangan dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, karena kewenangan pengelolaan SDA diberikan kepada provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, bahkan langsung kepada pemerintah pusat. Situasinya semakin buruk dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, yang menambah kegelapan atas prinsip desentralisasi sebagai salah satu amanat dari reformasi dan Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2014 pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola tambang batu bara, dapat dilihat dalam lampiran UU 23 2014. Namun dalam UU Minerba yang terbaru undang-undang nomor 3 Tahun 2020, kewenangan itu ditarik kepada pemerintah pusat, dilihat di pasal 4 UU Minerba. Pembagian urusan pemerintahan konkuren salah satunya adalah urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral yang merupakan salah urusan pilihan.
Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan daerah bidang energi dan sumber daya mineral sub urusan mineral dan batubara berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batu bara merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Pemerintah kabupaten/kota sama sekali tidak diberikan kewenangan di bidang pengelolaan mineral dan batubara.
ADVERTISEMENT
Muatan pembagian urusan pemerintahan di bidang pengelolaan mineral dan batubara tersebut di atas menimbulkan permasalahan hukum karena ketentuan pembagian urusan tersebut bertentangan dengan kewenangan daerah di bidang pengelolaan mineral dan batu bara sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan Pasal 143 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batubara, tugas pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan rakyat dilakukan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah. Di sinilah posisi daerah dalam menggunakan wewenangnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, dalam konteks otonomi daerah, bukan berarti semua wewenang langsung menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya dalam bidang pertambangan.
Manajemen kegiatan pertambangan bukanlah hal yang terbatas pada aspek lokal, sehingga tidak dapat sepenuhnya ditangani oleh pemerintah daerah. Perlu ditegaskan bahwa wewenang yang diserahkan kepada daerah adalah hal-hal yang bersifat lokal dan berdampak langsung pada kondisi daerah, tanpa melibatkan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2007 yang merupakan implementasi dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, kewenangan pengelolaan mineral dan batu bara diberikan kepada daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Namun, berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, kewenangan pengelolaan mineral dan batu bara kemudian dipusatkan pada pemerintah provinsi. Sehingga, pemerintah daerah kabupaten/kota kehilangan kewenangan dalam hal ini, yang secara rinci diatur dalam lampiran UU 23 tahun 2014.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang mineral dan batu bara, praktis pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak lagi diberikan kewenangan dalam pengelolaan mineral dan batu bara seperti yang dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 dari UU mineral dan batu bara yang baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Otoritas lokal dalam manajemen Sumber Daya Alam (SDA) bersifat konstitusional, seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa negara ini menganut sistem negara kesatuan di mana kekuasaan terpusat di pemerintah pusat. Namun, setelah era reformasi, konstitusi mengalami perubahan yang tercermin dalam Pasal 18 ayat 1, yang mengakui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Ini menunjukkan pengakuan negara terhadap otoritas pemerintah daerah sebagai bagian integral dari negara kesatuan. Namun, dalam pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Batu bara (minerba), daerah tidak memiliki kewenangan yang sama. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 3 tahun 2020. Disposisi ini bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang mendukung desentralisasi.
ADVERTISEMENT