Konten dari Pengguna

Pancasila yang Hilang

Achmad Hariri
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya
30 April 2021 19:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Hariri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pixabay.pro
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay.pro
ADVERTISEMENT
Belum lama ini Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP tersebut menghilangkan mata kuliah Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 40 angka (3), perspektif teori hukum PP tersebut bertentangan dengan Pasal 35 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang berbunyi "Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a) agama; b) Pancasila; c) kewarganegaraan; dan d) bahasa Indonesia.
Ketika menghadapi adanya benturan norma semacam ini, maka asas yang bisa dikedepankan adalah asas lex superior derogat legi inferior, hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Artinya bahwa pasal 40 angka 3 pada PP 57/2021 yang tidak mencantumkan pendidikan pancasila dan bahasa secara terang bertentangan dengan norma di atasnya yaitu pasal 35 undang-undang tentang Pendidikan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Setelah terbitnya PP 57 2021 pendidikan pancasila masih tetap menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi seperti penjelasan di atas, hal yang dirasa perlu dilakukan oleh pemerintah adalah pemberlakuan revisi terhadap PP tersebut yang sudah jelas bertentangan dengan undang-undang tentang perguruan tinggi.
Refleksi Hilangnya Pancasila dan Kesungguhan dalam Perumusan Undang-Undang
Ada beberapa refleksi dari kejadian ini, pertama, terkait dengan terjadinya human eror dalam penyusunan PP tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Nadiem, bahwa hilangnya pendidikan pancasila dan pendidikan bahasa sebagai mata kuliah dasar umum perguruan tinggi itu bukan suatu kesengajaan (human eror).
Jika ditilik ke belakang, sebenarnya terjadinya human eror dan salah ketik dalam penyusunan undang-undang tidak hanya sekali ini saja, sebenarnya hal ini tidak dapat ditolerir, sebab produk undang-undang yang disahkan oleh pemerintah harus melalui proses yang sungguh-sungguh. Ada proses panjang yang harus dilalui dalam proses pembentukan perundangan sehingga norma yang dihasilkan berdampak baik bagi kehidupan masyarakat, bukan sebaliknya, apalagi dengan alasan salah ketik. Cukup PP ini yang terakhir terjadinya human eror dalam pembentukan perundangan.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
Eksistensi Pancasila Sebagai Staatphilosofie
Terjadinya human eror dalam perumusan perundang-undangan ini sebenarnya mengingatkan kembali terkait eksistensi Pancasila sebagai staatphilosofie/weltanschauung. Perjalanan Pancasila dalam sejarah negara Indonesia mengalami dinamika yang panjang. Pada orde lama, Pancasila ditafsirkan sebagai ideologi liberal, sehingga pemerintahan tidak stabil, puncaknya yakni memunculkan adanya demokrasi terpimpin.
Kemudian pada orde baru implementasi Pancasila dengan indoktrinasi dan pemaksaan lewat program pemerintah. Selain itu juga diberlakukan asas tunggal Pancasila, sehingga ideologi Pancasila mejadi kaku dan sering kali digunakan untuk kepentingan penguasa. Pada saat itu pendidikan pancasila yang ajarkan di perguruan tinggi hanya sebatas kognitif, yaitu mengolah daya pikir namun tidak mampu berdampak pada mengembangkan budaya dan mengembangkan kehidupan yang demokratis, semuanya dilakukan tanpa adanya proses berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Pada era Reformasi implementasi Pancasila juga tidak nampak baik dari sebelumnya, bahkan Pancasila tidak lagi sebagai materi ajar di sekolah dasar dan menengah, munculnya egosentris oleh daerah-daerah, maraknya praktik korupsi, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah, banyak kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, suburnya gerakan terorisme, menjadi daftar panjang persoalan Negara pasca-reformasi.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, artinya dalam berpikir dan bertindak bangsa Indonesia harusnya dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, atau sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan begitu pancasila seharusnya menjadi weltanchau bagi kehidupan bernegara, suatu ideologi memiliki ciri atau pembeda dengan ideologi yang lainnya (ideology Prismatik).
Dengan menjadikan Pancasila sebagai MKDU perguruan tinggi diharapkan akan melahirkan generasi penerus yang paham Pancasila secara kritis. Ketika belajar tentang Pancasila sebagai satu kesatuan sistem yang utuh sehingga dapat memahami lebih dalam sila Ketuhanan, sila kemanusiaan, sila musyawarah, dan sila keadilan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan kritis semisal apakah penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sesuai dengan Pancasila? Apakah Penggunaan kata radikalisme untuk kelompok tertentu sesuai dengan Pancasila? Apakah wacana hukuman mati bagi koruptor sesuai dengan Pancasila? Dan seterusnya.
Pertanyaan seperti itu harus mampu dijawab oleh generasi penerus. Belajar Pancasila secara kritis adalah menjadikan Pancasila sebagai barometer dalam mencari kebenaran, namun harus diinterpretasikan secara dinamis sesuai dengan akal budi. Semoga dengan hilangnya Pancasila dalam PP 57/2021 dapat memicu lebih bersinar lagi Pancasila dalam menerangi sendi-sendi kehidupan masyarakat.