Jalan Panjang Desentralisasi dalam Lanskap Politik Sumatera Selatan

Muhammad Nadhif Achyansyah
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
8 Januari 2022 13:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nadhif Achyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: FOTO/ANTARA/Laily Rahmawaty.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: FOTO/ANTARA/Laily Rahmawaty.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jalan Panjang Desentralisasi dalam Lanskap Politik Sumatera Selatan
“Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup secara mutlak”. Perkataan Lord Acton pada tahun 1887 ini nampaknya akan tetap relevan pada lanskap politik yang eksis dewasa ini. Tak jarang kita justru menemui individu-individu dengan kekuasaan mutlak cenderung melakukan tindakan-tindakan yang korup, alih-alih menggunakan kekuasaannya untuk meraih suatu tujuan bersama. Namun, saya secara pribadi sedikit mempertanyakan kutipan dari Lord Acton ini. Karena dewasa ini kekuasaan dapat memiliki sifat untuk reveal, yakni untuk mengungkap.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hal tersebut, kita semua tidak dapat memungkiri baik sifat kebijakan absolut yang cenderung korup, ataupun mengungkap, kekuasaan absolut dewasa ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang cukup dihindari. Indonesia sendiri sempat menghadapi era-era kekuasaan absolut ini, yakni pada masa pemerintahan Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Bersamaan dengan adanya tuntutan demokratisasi, Soeharto kemudian harus menurunkan takhta kekuasaannya. Tuntutan dem0kratisasi ini pula beriringan dengan beberapa hal untuk mewujudkan sistem pemerintahan Indonesia ke arah yang dianggap lebih baik. Salah satunya adalah melalui kerja-kerja desentralisasi. Desentralisasi kemudian dilihat sebagai sebuah "peluru perak" untuk meningkatkan keterlibatan pemerintahan lokal dalam rangka mengurusi wilayahnya sendiri, sebagai upaya untuk mereformasi sistem pemerintahan-politik Orde Baru yang sentralistis dan hegemonis.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, kerja-kerja desentralistis ini pula menghadapi beberapa persoalan. Salah satunya adalah kemunculan raja-raja kecil di lanskap pemerintahan lokal, maraknya budaya patron-klien, hingga munculnya fenomena local bossism. Pada umumnya, kultur-kultur parasitis ini dapat dilihat dari budaya Indonesia yang hingga hari ini masih getol mempertahankan kultur-kultur feodalnya. Tak jarang, alih-alih beradu ide dan substansi, orang-orang kemudian mengekor kepada orang-orang lainnya dengan kapital yang banyak.
Berkaitan dengan adagium yang sebelumnya dikemukakan oleh Lord Acton, tak jarang pula para penguasa-penguasa ini kemudian mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan kedudukan dan status quo yang dimilikinya. Salah satunya adalah melalui berbagai upaya untuk mempertahankan kekuasaannya melalui cara-cara menempatkan keturunan dan kerabatnya dalam skena politik pemerintahan. Penempatan keturunan ini kemudian dikenal dengan istilah politik dinasti, sementara penempatan kerabat-kerabat ini kemudian dikenal dengan istilah politik kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Meskipun mirip, politik kekerabatan dan politik dinasti ini memiliki beberapa perbedaan. Politik kekerabatan pada umumnya didasarkan kepada upaya menempatkan suatu kelompok dengan basis kekerabatan antropologis, sementara politik dinasti sebagaimana namanya, umumnya merujuk kepada upaya untuk menempatkan suatu keluarga untuk memegang jabatan strategis pada aras politik formal.
Kedua hal ini memiliki sebuah dampak yang buruk terhadap suatu kerangka demokrasi yang eksis. Berkaitan dengan kekuasaan oleh klan maupun kekerabatan tertentu, iklim politik yang demokratis akan mengalami penurunan berkaitan dengan adanya pemerintahan yang eksklusif yang jelas dalam konteks Indonesia bertentangan dengan cita-cita reformasi untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, dan inklusif.
Toh, memang demokrasi sebagai kerangka arus utama dewasa ini memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam politik dan pemerintahan. Semua manusia diciptakan setara, namun, kita semua tidak bisa menutup mata pula bahwa orang-orang yang jauh lebih setara dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini berkaitan dengan akumulasi kapital dan privilese yang eksis di masyarakat pula, hal ini hanya semakin menunjukkan realitas bahwa ketimpangan akibat kesenjangan ekonomi merupakan permasalahan yang tidak bisa dikesampingkan.
Tak terkecuali di Sumatera Selatan, permasalahan dinasti politik dan politik kekerabatan pula permasalahan yang dewasa ini dijumpai. Karenanya, pada tulisan singkat ini penulis akan sedikit membahas kasus politik dinasti dan politik kekerabatan yang eksis di aras politik Sumatera Selatan.
Berbicara terkait politik dinasti di Sumatera Selatan, nampaknya kita tidak bisa melepaskan hal ini dari trah Alex Noerdin yang tempo hari tersandung kasus korupsi dan ditahan oleh Kejaksaan Agung.
Tak tanggung-tanggung Alex Noerdin kemudian menjadi tersangka atas dua kasus korupsi, yakni kasus pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan tahun 2010-2019 dan tersangka dalam kasus korupsi pembangunan Masjid Agung Sriwijaya Palembang.
ADVERTISEMENT
Di kemudian hari, Dodi Reza Alex Noerdin, anak dari Alex Noerdin kemudian turut diperiksa dan ditetapkan tersangka karena diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa infrastruktur.
Apabila kita menarik dari garis keturunan Alex Noerdin, tidak dapat dipungkiri memang Alex Noerdin memiliki starting point dan privilese yang tidak semua orang dapatkan. Alex Noerdin merupakan putra dari Muhammad Noerdin Pandji, seorang tokoh militer dan dalam konteks politik sempat menduduki kursi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) selaku utusan daerah.
Noerdin Pandji pula pernah mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur Sumatera Selatan, sebanyak tiga kali berturut-turut. Impiannya ini justru berhasil diwujudkan oleh putranya.
Kasus trah Alex Noerdin pada dasarnya hanya merupakan puncak dari gunung es terkait upaya-upaya penguasa politik untuk mempertahankan kekuasaannya melalui upaya menempatkan keluarganya dalam posisi-posisi strategis politik. Dalam lanskap politik Sumatera Selatan, dijumpai bahwa terdapat berbagai orang dengan jabatan politiknya menempatkan, ataupun mendorong keluarganya untuk berpartisipasi dalam politik formal.
ADVERTISEMENT
Selain politik dinasti, faktor menguatnya oligarki-0ligarki pada lanskap politik Sumatera Selatan pula diperkuat dengan adanya politik kekerabatan. Dihimpun dari Litbang TIMES Indonesia (LTI) di Sumatera Selatan, di era pilkada langsung sejak tahun 2008 lalu, ada tiga besar suku yang mendominasi perpolitikan yakni Komering, Musi dan Besemah.
Senada dengan hal ini, penulis sempat melakukan wawancara dengan Drs. Aris Munandar M.Si, pengamat politik Sumatera Selatan, dan dosen Pasca Sarjana Universitas Taman Siswa. Dalam wawancara ini, beliau mengemukakan:
Apabila dilepaskan faktor politik uang, politik di Sumatera Selatan umumnya berkisar antara kontestasi kekuasaan antara Suku Lahat dan Suku Komering.
Lebih lanjut, menurut pembacaan saya atas beberapa artikel dalam lanskap Sumatera Selatan pula hal ini memang fenomena yang cukup sering terjadi. Derivasi dari hal ini bisa dilihat pada pilkada Sumatera Selatan pada tahun 2008 kemenangan Alex Noerdin dari petahana Syahrial Oesman sangat terlihat sebaran suara berasal dari latar belakang kesukuan para kandidat dan pada Pilkada 2013 juga terlihat jelas pembelahan politik identitas kesukuan, yakni persaingan antara Musi - Besemah dengan Komering.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah penulis kemukakan sebelumnya, demokrasi memang memungkinkan semua orang untuk dipilih dan memilih, namun alih-alih beradu gagasan dan substansi, fenomena macam ini justru mempersempit makna dari inklusivitas demokrasi. Fenomena ini pula menunjukkan bahwa identitas etnik itu berperan dalam pemilihan kepala daerah meskipun ada mobilisasi oleh masing-masing elite dalam kelompok etnik tersebut.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Secara umum menurut pembacaan saya hal ini pada dasarnya berkaitan dengan partai politik yang belum memiliki mekanisme internal yang kuat. Partai politik sebagai kendaraan politik masyarakat justru melanggengkan penokohan dan personalisasi politik.
Ironis, alih-alih memperkuat demokrasi internalnya, partai politik sebagai kendaraan pada lanskap demokrasi, justru terjebak pada kultur-kultur feodal.
Kita tidak dapat menghindari elite politik, tetapi kita dapat mengatasinya. Masih terdapat kerja-kerja yang perlu dilakukan guna mewujudkan kewargaan pluralistik bersamaan dengan terbukanya kanal-kanal ilmiah demokratis, akomodasi terhadap kelompok minoritas dan kelompok marjinal, utamanya dalam sistem politik dan proses pembuatan kebijakan yang eksis, yang kemudian menjadi prasyarat dari terwujudnya kewargaan pluralis di Indonesia, di mana semua orang mampu menghargai perbedaan yang dimilikinya dan menyalurkannya dengan cara-cara yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Adapun saranku juga untuk teman-teman mahasiswa dan teman-teman sebaya, yang cenderung terjebak pada adagium macam iron stock dan agent of change untuk sama-sama peduli dan lebih bagus bisa mengedukasi masyarakat banyak terhadap isu-isu ini, dan berfokus kepada perubahan yang bersifat berkelanjutan, alih-alih sporadis dan tidak beraturan.
Sudah saatnya pula, media-media, baik media massa maupun media sosial mulai menyoroti permasalahan sejenis. Permasalahan yang tidak hanya terjadi di Sumatera Selatan, Jawa Barat, ataupun Banten, tetapi permasalahan yang pada dasarnya masih mengakar pada budaya-budaya feodal yang sudah seharusnya kita tinggalkan.
Akhir kata, panjang umur hal-hal baik. Salam Pembebasan!