Menyoal Kasus Kekerasan Seksual Kampus dan Perubahan Sistematis-Struktural

Muhammad Nadhif Achyansyah
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
15 April 2022 6:05 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nadhif Achyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa yang tergabung dalam solidaritas untuk korban kekerasan seksual melakukan aksi dengan membawa poster di depan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Foto:  Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa yang tergabung dalam solidaritas untuk korban kekerasan seksual melakukan aksi dengan membawa poster di depan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merujuk kepada pernyataan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada Desember 2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 2.500 kasus dalam interval Januari-Juli 2021.
ADVERTISEMENT
Senada dengan ini, survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 77 persen dosen mengakui adanya kekerasan seksual di kampus. Hal ini sejatinya menunjukkan bahwa institusi perguruan tinggi masih banyak menghadapi permasalahan terkait upayanya untuk mewujudkan ruang aman.
Dalam proses penyelesaiannya, kasus kekerasan seksual di kampus tak jarang menghadapi beberapa hambatan, mulai dari adanya upaya kampus untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual melalui cara-cara “kekeluargaan”, hingga keengganan untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual ini.
Kembali merujuk kepada data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, sebanyak 63 persen korban enggan melaporkan kasus ini terhadap pihak kampus. Secara singkat, hal ini tidak bisa dipisahkan dari berbagai permasalahan, baik secara kultural maupun struktural.
Secara kultural, permasalahan terkait gender merupakan permasalahan yang cukup sering kita jumpai dewasa ini. Hal ini umumnya merupakan derivat dari kultur patriarki yang mengakar di masyarakat kita dan berkaitan erat dengan konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam logika biner.
ADVERTISEMENT
Kultur patriarki memposisikan laki-laki sebagai pemegang kontrol utama dalam masyarakat dan menempatkan perempuan pada posisi “kedua”. Perempuan dianggap tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam berbagai wilayah-wilayah umum di masyarakat, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga institusi pernikahan.
Pegiat perempuan merapikan sepatu saat aksi diam 500 Langkah Awal Sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/11). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Contoh dari hal ini adalah adanya dikotomi antara peranan gender laki-laki dan perempuan yang terbentuk akibat adanya suatu konstruksi sosial dan dilanggengkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang eksis. Tak jarang, konstruksi sosial ini juga menempatkan perempuan pada posisi “kedua”. Lebih lanjut, hal ini kemudian berdampak kepada berbagai bentuk-bentuk ketidakadilan gender di masyarakat, mulai dari marginalisasi perempuan; subordinasi; pandangan stereotip; kekerasan (violence) dan beban kerja ganda.
Sementara itu, secara struktural tak jarang pula dijumpai berbagai hambatan dalam menuntaskan kasus-kasus kekerasan seksual, mulai dari adanya impunitas terhadap pelaku, hingga adanya suatu kekosongan hukum di mana dalam konteks dalam lembaga pendidikan dijumpai bahwa standar operasional prosedur pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kasus kekerasan seksual masih minim.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian mengarah kepada pelanggengan diskriminasi dan tekanan terhadap perempuan. Pembatasan ruang ini pula mengakibatkan perempuan tidak mendapat akses dan hak-hak yang seharusnya mereka diterima. Pada tahun 2021, Indonesia menyandang peringkat 101 dari 156 negara dalam indeks kesenjangan gender, yang apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat 7 dari 11 negara. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya Indonesia masih memiliki berbagai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, utamanya dalam permasalahan terkait gender.
Kultur patriarki serta diskriminasi ini pula berkaitan dengan maraknya permasalahan yang didapatkan oleh perempuan-perempuan, salah satunya adalah rentannya perempuan menjadi korban dari pelecehan dan kekerasan seksual di berbagai tempat, mulai dari lingkungan kerja, ruang publik, hingga (ironisnya) di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Merujuk kepada Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2021, dijumpai bahwa dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual, Institusi Perguruan tinggi cenderung berlindung dibalik dalih “nama baik” kampus dalam penyelesaian masalah Kekerasan Seksual. Dalam ranah perguruan tinggi, agaknya sulit untuk melupakan kasus kekerasan seksual yang dihadapi oleh Agni, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang menjadi korban dari kasus kekerasan seksual sewaktu menjalankan Kuliah Kerja Nyata oleh rekan satu kelompoknya.
Ironisnya, alih-alih berfokus kepada pemulihan korban, pihak kampus justru berupaya menyelesaikan permasalahan ini melalui “cara-cara kekeluargaan” dan berlindung dibalik dalih “nama baik kampus”. Kasus Agni sendiri sejatinya merupakan “puncak dari gunung es” dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Contoh dari kasus lainnya yang tak kalah mengherankan adalah kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Wahid Hasyim, Semarang, yang terjadi semasa kegiatan perayaan organisasi pers. Korban merupakan Ketua Pelaksana dari kegiatan organisasi pers ini, dan pelecehan seksual dilakukan oleh inisial MST, Sekretaris Jenderal dalam organisasi ini dan merupakan senior dari korban. Dalam upaya mewujudkan keadilan terhadap korban, Komnas Perempuan mengupayakan adanya advokasi terhadap korban dan mengirimkan surat rekomendasi terhadap rektor Universitas Wahid Hasyim, dalam rangka memberikan keadilan terhadap korban.
ADVERTISEMENT
Tak hanya, antar sesama mahasiswa, dosen-dosen perguruan tinggi tak jarang memanfaatkan pola relasi-kuasa terhadap mahasiswanya dalam melakukan pelecehan seksual. Pada April 2018, seorang mahasiswi UNUD diancam oleh dosennya yang mengancam akan menyebarkan foto telanjang yang diambil olehnya secara diam-diam, apabila ia tidak mau berhubungan seksual dengannya. Kasus-kasus ini sejatinya hanya merupakan puncak dari gunung es dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus.
Pengesahan Permendikbud 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, dapat dilihat sebagai sebuah i’tikad baik untuk memberikan keadilan terhadap korban serta mencegah kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Berkaitan dengan upaya mewujudkan ruang aman dalam kehidupan sehari-hari, pengesahan RUU TPKS oleh DPR pada 12 Maret 2022 dapat dilihat sebagai sebuah harapan untuk mewujudkan ruang-ruang aman ini, setelah melewati jalan yang panjang.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Berkaitan dengan mewujudkan upaya untuk mewujudkan perubahan secara sistematis-struktural. kebijakan affirmative action dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk memunculkan keterwakilan perempuan di parlemen. Hessami dan Fonseca (2020), mengemukakan bahwa: representasi perempuan berkorelasi dengan kebijakan-kebijakan yang ramah perempuan, seperti contoh cuti hamil dan cuti bersalin.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, gerakan feminisme dalam panggung politik formal tidak bisa dipisahkan dari momentum liberalisasi politik dan demokrasi, bersamaan dengan diloloskannya kuota keterwakilan politisi perempuan sebesar tiga puluh persen yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003.
Namun, dalam pengimplementasiannya affirmative action di Indonesia justru jauh dari kata ideal. Mulai dari awal penerapannya dalam konteks lembaga legislatif, Indonesia sendiri nampaknya belum pernah mencapai angka 30 persen semenjak kebijakan mengenai affirmative action dikeluarkan pada 2008.
Hal ini kemudian turut diperparah ketika partai-partai politik hanya “mencari-cari” perempuan untuk dicalonkan guna memenuhi tuntutan kuota 30 persen ini, yang tak jarang pula para perempuan ini menisbikan isu-isu perempuan dan hanya mengekor kepada arahan partai dalam proses perumusan kebijakan di ranah legislatif. Merujuk kepada publikasi yang dikeluarkan oleh Puskapol UI, 41 persen dari 118 perempuan terpilih di DPR RI memiliki afiliasi kekerabatan dengan elit-elit politik, dan hanya 6 yang persen berasal dari latar belakang profesional.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan dan memberikan sebuah pertanyaan baru. Dalam konteks keterwakilan perempuan, apakah representasi sejalan dengan partisipasi perempuan dalam politik. Sudah selayaknya, perempuan menjadi subjek politik yang seutuhnya. Tak hanya mengangguk-angguk terhadap kebijakan yang ada, tapi memainkan peran yang substansial dan esensial dalam kehidupan berpolitik.
Selain proses perumusan kebijakan, proses implementasi suatu kebijakan merupakan hal yang cukup krusial dalam proses policy making. Smith (1973) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai: “sebuah upaya untuk memberikan tekanan di masyarakat”, karenanya kebijakan publik memaksa, mengikat dan berdasarkan hukum.
Karenanya, baik dalam pengawalan maupun upaya-upaya untuk menindak kasus kekerasan seksual tidak boleh berhenti sebagai sebuah sensasi berita semata, namun diperlukan sebuah perubahan yang sistematis-struktural untuk mencegah hal-hal serupa terjadi.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya awareness masyarakat terhadap isu-isu kekerasan seksual, dapat dilihat sebagai dampak dari berkembangnya wacana-wacana untuk memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas terkait ruang publik, meningkatnya kesadaran terhadap suatu isu tidak bisa dipisahkan dari berkembangnya wacana dan upaya-upaya untuk merasionalisasikan kekuasaan melalui ruang publik.
Dewasa ini, media sosial dapat dilihat sebagai sebuah medium rasionalisasi kekuasaan. Karenanya, masyarakat memainkan peranan yang penting dalam memproduksi wacana berkaitan dengan isu kekerasan seksual dan upaya penyelesaiannya.
Meningkatnya keberanian korban untuk berbicara terhadap kekerasan seksual yang dialaminya melalui media sosial dimaknai sebagai sebuah “pantikan”. Mulai dari maraknya kasus kekerasan seksual yang perlu diselesaikan, hingga pantikan keberanian untuk menyuarakan bahwa saat ini kita jauh dari kata “baik-baik saja” dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Permasalahan kekerasan seksual sejatinya bukan hanya merupakan permasalahan perempuan saja, bukan pula permasalahan aku dan kamu, melainkan permasalahan kita semua. Karenanya, berbagai elemen masyarakat memainkan peranan yang penting dalam mengawasi implementasi Permendikbud 30 Tahun 2021 dan RUU TPKS yang disahkan oleh DPR, sebagai upaya untuk mewujudkan perubahan struktural sistematis.