Terlilit Utang Pinjol, Tuti Terpikir Jual Ginjal

ACT Jakarta Barat
Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap
Konten dari Pengguna
29 September 2021 15:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ACT Jakarta Barat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Akibat utang Rp700 ribu ke aplikasi pinjaman online (pinjol) Tuti terlilit bunga utang yang besar. Ia terus diteror karena tidak bisa melunasi. Bahkan Tuti berencana menjual ginjal.
zoom-in-whitePerbesar
Akibat utang Rp700 ribu ke aplikasi pinjaman online (pinjol) Tuti terlilit bunga utang yang besar. Ia terus diteror karena tidak bisa melunasi. Bahkan Tuti berencana menjual ginjal.
ADVERTISEMENT
JAKARTA– Suasana Kota Bogor sangat cerah. Bahkan puncak terik matahari dirasakan hingga ke sudut-sudut gang sempit di Kelurahan Cibuluh, Bogor. Tuti Andriani (46) yang baru pulang bekerja mengambil sebuah buku dari atas meja untuk mengipasi dirinya. “Masuk-masuk, maaf ya panas, enggak ada kipas,” tutur Tuti mempersilakan tim ACT memasuki rumah kontrakannya yang terletak di ujung gang.
ADVERTISEMENT
Di dua petak rumah kontrakan berukuran 3x6 tersebut Tuti, suami, dan ketujuh anaknya tinggal. Plafon yang terbuat dari triplek di beberapa sudut terlihat lapuk dan ambrol imbas guyuran hujan. Tidak ada dapur, hanya ada kamar mandi dan satu ruangan yang disekat menggunakan gipsum. Peralatan dapur ia letakkan persis di samping pintu masuk. Kompor dua tungku diletakkan di meja dan di atasnya terdapat wajan dan spatula bekas menggoreng sesuatu.
“Setiap bulan harus bayar sewa Rp550 ribu. Sebagai pedagang asongan, buat bayar kontrakan, bayar sekolah anak, enggak cukup. Makanya kemarin meminjam dari (aplikasi) pinjaman online (pinjol),” cerita Tuti. Ia mulai berutang pada Juni 2020 saat pandemi Covid-19 mulai merebak. Saya pinjam Rp1 juta, dikasih Rp700 ribu, nanti harus dibalikin Rp1,2 juta,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Uang hasil utang sebagian besar Tuti gunakan untuk membayar pendidikan kelima anaknya. Dua anak saat ini sekolah SMK, satu anak sekolah SMP, dan dua anak masih duduk di bangku SD. Meski kegiatan belajar mengajar masih daring, namun biaya pendidikan harus tetap dibayar. Dua anak lainnya sudah lulus dan belum bekerja.
Bagi Tuti, pendidikan anak adalah prioritas. Sehingga ia akan melakukan apapun untuk pendidikan anak-anaknya. Ia berharap, jika pendidikan anak bagus dan tinggi kehidupannya akan dimudahkan sehingga dapat mengangkat derajat keluarga.
“Iya kalau sekolah tinggi, harapannya agar cari kerja gampang. Enggak nganggur atau kerja di jalan kayak saya. Akhirnya bisa bantu-bantu orang tua,” jelas perempuan yang biasa berjualan di lampu merah Jalan Baru Bogor ini.
ADVERTISEMENT
Tuti menceritakan, pandemi Covid-19 membuatnya harus berutang kepada pinjol. Pendapatannya anjlok akibat kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Sebelum pandemi, ia bisa meraup untung Rp300 ribu sehari.
“Setelah Covid-19 paling dapat Rp30 ribu, kadang enggak laku. Sampai akhirnya kepepet, enggak punya duit lagi. Enggak ngerti kalau pembayarannya harus nambah (bunga) begitu. Sudah tidak tahu mau bagaimana lagi dan dapat uang dari mana lagi selain mengutang,” jelasnya.
Bunga membuat jumlah yang harus dibayar Tuti bertambah setiap bulan. Tuti pun diteror via telepon agar segera melunasinya. Bukanhanya Tuti, tetangga, teman, dan anggota keluarganya yang lain juga dihubungi agar Tuti segera membayar utang.
Selain utang secara online, Tuti juga berutang ke koperasi. Menurut Tuti, langkah berutang ke koperasi dilakukan setelah ponsel miliknya dijual untuk memenuhi kebutuhan. Akibat banyaknya utang dan juga bunga, Tuti tidak bisa membayarnya. Bahkan ia dijuluki “tukang utang” oleh sebagian warga di sekitarnya. Akibat terlilit utang, Tuti berniat menjual ginjalnya.
ADVERTISEMENT
“Orang mencibir, ngomong yang enggak-enggak, saya tidak masalah. Mereka tidak tahu kondisi saya, kenapa saya utang. Ini semua demi anak, agar tetap bisa sekolah, bukan untuk berfoya-foya. Bahkan saat saya ngomong niat jual ginjal, mereka bilang ‘pengin viral’ Padahal murni benar-benar tidak punya uang buat anak sekolah,” kata Tuti seraya meneteskan air mata.
Kini utang Tuti pada pinjol masih berlangsung. Tuti masih harus membayar tagihan utangnya Rp250 ribu per bulan. Namun di samping itu, suami Tuti sudah kembali beraktivitas menjadi kuli bangunan setelah sebelumnya harus menjalani perawatan akibat kecelakaan.
“Alhamdulillah sekarang bapak (suami) sudah mendingan kondisi kesehatannya. Meski belum sepenuhnya sembuh, sudah bisa beraktivitas. Kerja menjadi kuli bangunan namun masih terbatas, tidak boleh angkat beban berat. Saya juga kerja, bantu-bantu masak di warteg saudara,” kata Tuti. Ia pun berharap pandemi cepat selesai agar penghasilannya bisa kembali lagi dan segera keluar dari utang-utangnya.[]
ADVERTISEMENT