Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik "Ijon" Demokrasi
25 September 2020 13:37 WIB
Tulisan dari Adam Brayans Mujtahid Addaudy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petinggi partai pemenang pemilu lalu menyatakan bahwa ada resiko politik ketika Pilkada ditunda. Dia terang-terangan menolak penundaan, walau wabah Coronavirus Wuhan 2019 masih merebak, menginfeksi dan mematikan ribuan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini di artikan sederhana. Gerbong oligarki kekuasaan tak mau kehilangan logistik suara dan materi untuk persiapan 2024 demi pertahankan kemenangan.
Mengapa logistik ?
Untuk mempertahankan suara yang kemungkinan akan terjun bebas karena keliru kebijakan, maka dukungan harus dimulai dari akar rumput sedari sekarang.
Dan itu berarti harus memenangkan Kepala Desa dan Walikota/Bupati setelah sebelumnya menguasai provinsi.
Jalur top down dan down to the top harus diamankan.
Caranya sederhana.
Pilkada kabupaten, Walikota ini harus dimenangkan para calon dengan dukungan pusat dan partai.
Terutama berupa dana dan promosi yang akan diberikan berapapun kebutuhan yang diperlukan. Ini merupakan “hutang” yang harus dikembalikan oleh para cakada ketika menang nanti.
ADVERTISEMENT
Ketika kemudian cakada Bupati/Walikota ini sudah menang dan bisa duduki jabatannya, maka saatnya untuk kembalikan kepada pengijon di pusat. Demikian pula calon Kepala Desa yang sudah memenangkan menjadi kades dengan "dana" bupati.
Pengembalian ini melalui dana dana pusat yang diturunkan ke daerah dan kemampuan mencari “tambahan” oleh Bupati/Walikota, kepala desa dari potensi daerah masing-masing.
Dana yang didapat kemudian sebagian akan disisihkan untuk setor “hutang”+“bunga” nya kepada partai.
Ini juga berlaku hingga ke desa. Bupati/Walikota yang telah memenangkan dari gerbong yang sama maka akan biayai dana dan promosi calon kepala desa yang diusung.
Kepala desa yang telah memenangkan pemilihan ini dari gerbong yang sama, kemudian harus pula mengembalikan “hutang” itu kepada Bupati/Walikota melalui bantuan yang datang ke desa, seperti dana desa atau bantuan sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan struktur demikian maka diperkirakan suara dukungan ke partai di pusat pemerintahan akan tetap aman.
Pola demikian juga berlaku pada pola pemilihan untuk Pilpres dan DPR.
Calon Wakil Rakyat yang ingin memenangkan di Pusat beri “hutang” ke calon Wakil Rakyat di tingkat Provinsi . Dan calon wakil rakyat di tingkat propinsi beri “hutang” ke calon Wakil Rakyat di tingkat Kabupaten.
Dan pembayaran “hutang” ini bisa macam macam caranya, yang paling bersih melalui gaji+honor yang diterima wakil rakyat di tingkat masing-masing.
Ada pula yang menggunakan cara cara mengusung proyek dan kemudian mengambil selisih proyek setelah di mark up.
Melalui para wakilnya yang telah terpilih di daerah, maka akan diusung Presiden dan Wakil Presiden, baik fusi partai maupun usung calon sendiri bila suara mencukupi.
ADVERTISEMENT
Presiden dan Wapres ini yang kemudian akan bayar “utang” kemenangan melalui pengangkatan menteri menteri yang kemudian berujung pada pembayaran utang. Maka tak heran kementrianpun sudah dikapling-kapling untuk masing masing partai tergantung dana "setor" nya.
Partai di pusat dan daerah melalui wakil-wakilnya baik di pemerintahan maupun yang khusus bergerak di partai juga akan menggali sumber dana kepada para pengusaha swasta (bahkan terhadap negara dan perusahaan asing), yang akan dihargain dengan pemberian ijin , konsesi dan kemenangan tender proyek yang sudah diatur.
Jadi Ijon politik bukan hanya calon dan pengusaha, tetapi juga pusat dengan daerah hingga ke desa dan sebaliknya.
Bagaimana dengan kepentingan rakyat? Pertanyaannya akan dibalik, rakyat yang mana ?
ADVERTISEMENT
Bukankah yang dukung dan nikmati “keuntungan” itu juga rakyat?
Demikian pola politik “ijon” demokrasi baik untuk melanggengkan atau memenangkan kekuasaan, yang tentu saja bisa bervariasi caranya.
Maka tak heran ditemukan kebijakan "ajaib" dari seseorang yang tengah menjabat.
Bila kebijakan buruk, maka telisik saja, kemungkinan besar ada kepentingan “ekonomi” pendukung yang terganggu.
Semua partai yang ada saat ini sama saja polanya, mau yang atas nama agama maupun nasionalis.
Walau ada partai yang tidak melakukan itu di pusat, namun pengurus di daerah melakukan itu untuk mendulang suara.
Apa bahayanya dengan pola politik ijon ini ? Akan terjadi ekonomi biaya tinggi dan irasionalitas kebijakan yang pada gilirannya membahayakan kedaulatan RI.
ADVERTISEMENT
Ini juga sebabnya mengapa setelah reformasi pembangunan tak pernah bisa bangkit lagi. Pola demokrasi boros yang cuma untungkan kelompok.
Akan tetap dibiarkan ? Memang siapa yang bisa untuk rombak pola ijon demokrasi ini ?