Mural dan Hak Asasi Manusia

Adam Pratama
Fresh Graduate at Public Administrative Major on University of Sultan Ageng Tirtayasa
Konten dari Pengguna
6 September 2021 15:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mural Jantung Anak Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Mural Jantung Anak Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Mural sebenarnya adalah sebuah kalimat yang masih asing didengar oleh sebagian orang khususnya orang awam. Namun, secara tidak kita sadari, orang-orang awam tersebut sebenarnya telah melihat secara langsung bagaimana bentuk fisik dari bentuk mural itu sendiri. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita memahami terlebih dahulu makna atau definisi sesungguhnya mengenai mural tersebut.
ADVERTISEMENT
Pengertian mural berasal dari bahasa latin diambil dari kata murus yang memiliki arti dinding. Dalam pengertian kontemporer, mural adalah lukisan berukuran besar yang dibuat pada dinding, langit-langit, atau bidang datar lainnya. Asal muasal mural dimulai jauh sebelum peradaban modern, bahkan diduga sudah ada sejak 30.000 tahun sebelum Masehi. Hampir selaras yang diungkapkan oleh Susanto (2002:76) bahwa mural adalah lukisan besar yang dibuat untuk mendukung ruang arsitektur.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Kuasa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu kebelakang masyarakat Indonesia dihebohkan oleh sebuah seni mural yang berisikan gambar muka Presiden Republik Indonesia dengan tulisan “Jokowi 404: Not Found”, gambar ini menuai kontroversial. Pasalnya pemerintah menganggap ini merupakan sebuah hinaan kepada Presiden Jokowi. Tetapi jika kita menelisik lebih mendalam, ini hanyalah sebuah seni yang menunjukkan kebebasan berekspresi masyarakat dalam mengungkapkan keluhan isi hati terhadap pemerintah Indonesia saat ini.
Dengan adanya kejadian ini, hal ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi. Tidak hanya itu, penghapusan seni mural tersebut juga bisa melanggar hak atas rasa aman masyarakat dalam menyuarakan keresahan hati dari masyarakat itu sendiri. Kalau kita tinjau lebih jauh, aparat kepolisian terlalu reaktif dengan melakukan penghapusan bahkan sampai mencari pembuat mural tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, kita sebagai warga Negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dari undang-undang tersebut bisa kita simpulkan bahwa masyarakat yang bersuara melalui mural tidak bersalah asalkan tidak melanggar beberapa aspek yang menjadi ukuran pembatasan ekspresi seni, misalnya pada aspek keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban umum, Kemudian yang harus diingat dalam mengisi konten kita tidak boleh menyebarkan kebohongan, menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hingga ujaran kebencian
Dari kejadian ini, kita sebagai warga negara Indonesia juga harus mampu menganalisis terlebih dahulu, apakah hal yang kita lakukan dalam menyampaikan pendapat itu salah atau benar. Jangan sampai ketika kita menyampaikan pendapat melanggar beberapa aspek yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Alangkah lebih baiknya pula, ketika kita menyuarakan pendapat kita juga memberikan solusi agar bisa membawa perubahan yang lebih baik untuk ke depannya.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Susanto, Mikke. (2003). Diksi Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Meyampaikan Pendapat di Muka Umum