Kekuasaan dalam Rumah Tangga

Grace Amaris
A law student at the University of Indonesia.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2022 20:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grace Amaris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat mendengar kata kekuasaan, yang terlintas di benak kita adalah kekuasaan yang berkaitan dengan kepemimpinan, seperti dalam pemerintahan negara terdapat kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan sejatinya ada di mana saja karena berasal dari diri sendiri yang menghendaki agar dapat mendapatkan suatu hal. Tetapi, apakah pernah terlintas di benak kita bahwa terdapat kekuasaan dalam hubungan rumah tangga?
ADVERTISEMENT
Salah satu relasi yang terjalin oleh adanya kekuasaan adalah kehidupan rumah tangga. Kekuasaan diperlukan agar kehidupan dalam rumah tangga dapat berjalan dengan lancar. Kekuasaan tersebut terwujud dalam peran yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga. Suami yang berkuasa sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah dan mengayomi keluarga, istri yang berkuasa dalam melancarkan kehidupan rumah tangga, dan anak yang berkuasa dalam melanjutkan dan mempertahankan silsilah keluarga.
Peran dan kekuasaan yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga sepatutnya sejalan dan seimbang. Namun, kerap kali ditemukan bahwa kekuasaan dalam keluarga menjadi timpang dan menyebabkan munculnya relasi kuasa dalam keluarga. Kekuasaan yang timpang tersebut disebabkan oleh salah satu pihak yang memiliki kekuasaan berlebih sehingga pihak tersebut berlaku sewenang-wenang terhadap pihak lain.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebabkan oleh kuatnya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pelaku KDRT dalam melaksanakan tindak kekerasan tersebut memerlukan rasa berkuasa (dominasi) terhadap korban agar dapat bertindak sewenang-wenang dengan tujuan utamanya adalah untuk memuaskan keinginan diri sendiri, baik dalam bentuk pelampiasan emosi maupun perasaan berhak atas korban. Siapa yang mendominasi keluarga, maka ia akan merasa berhak untuk mengontrol dan menguasai segala aspek dalam hubungan rumah tangga.
Seorang perempuan sedang ketakutan karena tindak KDRT yang dilakukan padanya. https://img.freepik.com/free-photo/woman-fear-domestic-abuse-violence-concept-female-rights_155003-27787.jpg?w=740&t=st=1671208328~exp=1671208928~hmac=04d84e5b2acc89ab9eb481116291c99173431d3741a72537e0c3364fe6138df3
Relasi kuasa dalam KDRT umumnya bersifat hierarki dan bias gender. Relasi kuasa yang hierarkis terpatri dalam hubungan antara orang tua dan anak. Contohnya adalah orangtua yang dianggap paling berkuasa dalam suatu hubungan keluarga merasa berhak untuk melakukan tindakan semena-mena berupa memaki anak dengan tidak wajar. Adapun anak sebagai pelampiasan emosi orang tua mengakibatkan anak memperoleh perlakuan yang tidak pantas, seperti pemukulan secara terus-menerus yang mengakibatkan luka serius pada anak dan berbagai tindak kekerasan lainnya.
ADVERTISEMENT
Adanya persepsi bias gender yang menganggap bahwa laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminin sehingga laki-laki berhak mendominasi dan melakukan tindak semena-mena terhadap perempuan karena sifat natur laki-laki adalah dominan. Namun, dewasa kini pandangan tersebut tidak lagi relevan karena kasus KDRT bukan hanya perempuan sebagai korbannya, melainkan laki-laki pun bisa menjadi korban KDRT.
Berbagai bentuk kekerasan yang termasuk dalam KDRT terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”), yakni berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Dalam Pasal 51-53 UU PKDRT, kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual termasuk dalam delik aduan. Pencabutan laporan dapat dilakukan oleh korban apabila kasus yang dilaporkan termasuk dalam delik aduan dan memenuhi persyaratan.
ADVERTISEMENT
Adapun dampak positif dan negatif yang diperoleh apabila pencabutan laporan KDRT dilakukan, yakni mengenai dampak positifnya adalah apabila tindak KDRT yang dilaporkan tidak benar-benar terjadi dan bertujuan untuk merugikan pelaku, seperti ingin menjatuhkan pelaku dengan mencemarkan nama baik pelaku, maka pencabutan laporan tersebut bersifat menguntungkan bagi pelaku. Dampak negatifnya adalah apabila tindak KDRT memang benar-benar terjadi dan laporan tetap dicabut, maka hal tersebut bisa saja karena pelaku mengancam akan melakukan tindak kekerasan lainnya atau menjahati korban yang sebenarnya lebih membahayakan keberlangsungan hidup korban.
KDRT masih terus terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat untuk lebih peka terhadap tindak KDRT yang terjadi di lingkungan sekitar, mengetahui dan mempelajari lebih lanjut terkait KDRT, seperti hukum yang mengatur perkara KDRT dan berbagai penjelasan terkait perbuatan apa saja yang merupakan tindak KDRT. Peran dari aparat penegak hukum juga diperlukan dengan selalu mengutamakan perspektif korban dan menetapkan hukuman yang tepat bagi pelaku agar keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dapat tercapai.
ADVERTISEMENT