Mengajarkan Anak Untuk Menyelesaikan Konflik

Konten dari Pengguna
23 Juli 2017 20:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Munawar Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sering kali seorang anak akan mencontoh prilaku orang dewasa dalam penyelesaian konflik tanpa mereka tau apakah prilaku tersebut telah sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak. Seorang guru di amerika mendapati siswanya yang sedang terlihat sangat marah, dikarenakan prilaku gurunya yang menghukum dirinya dengan mencengkram lehernya ketika siswa tersebut melakukan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya hal yang dirasakannya, siswa tersebut mengatakan dirinya sangat marah. Lalu guru tersebut memberikan kertas dengan beberapa ekspresi yang menggambarkan perasaan seseorang. Lalu guru tersebut meminta siswa untuk memberi tanda silang (×) pada gambar yang mewakili perasaannya dan pada gambar yang mewakili perasaan guru yang menghukumnya. Keduanya ia beri tanda silang (×) pada gambar dengan ekspresi sangat marah.
Sering kali anak-anak melihat seorang guru atau orang tua marah dan berlaku kasar ketika ia menyelesaikan konflik atau kesalahan yang dilakukan anak-anaknya. Sehingga mereka menganggap marah dan kekerasan adalah cara paling tepat dalam penyelesaian konflik. Jika semua anak dibiarkan memiliki pemikiran tersebut tentu akan sangat berbahaya.
Thomas Licona dalam buku "Mendidik untuk Membentuk Karakter" Mengemukakan sedikitnya ada 7 Strategi yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik pada anak. Yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Penggunaan kurikulum resolusi konflik untuk mengajar anak tentang penyebab dari konflik dan jalan tanpa kekerasan untuk menyelesaikan masalah mereka
2. Melatih anak dalam memenuhi kebutuhan sosial khusus untuk menghindari dan menyelesaikan konflik
3. Menggunakan pertemuan atau rapat kelas untuk mendiskusikan penyebab konflik dan untuk penegakan nilai bahwa konflik harus diselesaikan dengan adil tanpa kekerasan.
4. Keterlibatan guru/orang tua dalam membimbing anak ketika menggunakan resolusi konflik yang telah dipelajarinya
5. Menyediakan pelatihan khusus untuk anak terkait penyelesaian konflik nyata di lapangan
6. Melakukan mediasi konflik bersama anak yang kedapatan sedang bertengkar
7. Mendorong anak yang telah mampu melakukan resolusi konflik untuk dapat melakukannya secara mandiri tanpa mediasi dari luar.
Dengan beberapa langkah diatas diharapkan anak dapat lebih dewasa dalam memandang sebuah persoalan yang di temui dan melakukan penyelesaiannya tanpa kekerasan.
ADVERTISEMENT