Media Sosial, Anugerah bagi Para Aktivis Muda

Adelia Jessica Salim
Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Parahyangan. Sedang belajar untuk menulis:)
Konten dari Pengguna
22 Januari 2022 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adelia Jessica Salim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi telepon genggam dengan berbagai fitur media sosial saat ini. Foto dari Pexels.com, karya Cristian Dina.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi telepon genggam dengan berbagai fitur media sosial saat ini. Foto dari Pexels.com, karya Cristian Dina.
ADVERTISEMENT
Media sosial merupakan sebuah instrumen yang sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Banyaknya pengguna media sosial dapat dilihat lewat laporan tahunan gabungan dari layanan manajemen konten HootSuite serta agensi pemasaran media sosial We Are Social. Laporan yang bertajuk “Digital 2021” tersebut mencatat setidaknya terdapat 4,20 miliar orang di dunia menggunakan layanan media sosial.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, di Indonesia sendiri tercatat 170 juta orang juga melakukan hal yang sama. Kecepatan penyebaran informasi serta kemudahan akses yang ditawarkan membuat media sosial digandrungi khususnya oleh kaum millennial untuk mengakses berita-berita terkini.
Selain efisiensi informasi, media sosial juga membuka peluang bagi orang-orang untuk mencurahkan pendapatnya. Bersamaan dengan banyaknya jumlah pengguna media sosial, jumlah aktivis sosial muda juga semakin berkembang. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang canggih dalam bentuk media sosial sangat mempengaruhi kegiatan-kegiatan aktivis sosial dunia.
Keterbukaan Informasi
Sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi, dominasi internet serta media sosial tidak dapat dihindari. Adanya dominasi tersebut membuat keterbukaan informasi publik menjadi sangat penting. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hubungan pemerintah terhadap masyarakat, dimana saat ini sering kita temui akun-akun resmi milik instansi pemerintah negara yang bermunculan.
ADVERTISEMENT
Akun tersebut dibuat dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, sehingga informasi secara langsung dapat dengan mudah terdistribusikan dan diterima. Selain untuk memberikan informasi, akun tersebut juga membagikan kegiatan apa saja yang telah dilakukan dan bahkan kebijakan-kebijakan apa saja yang telah dibuat.
Keterbukaan inilah yang dimanfaatkan oleh para aktivis muda untuk mendeteksi permasalahan-permasalahan yang gagal terlihat atau terlewatkan oleh pemerintah. Indonesia sendiri dianugerahi skor sebesar 71,37 yang termasuk dalam kualifikasi sedang oleh Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia pada tanggal 17 September 2021 dalam bidang keterbukaan informasi publik.
Salah satu kasus yang dapat menjadi contoh adalah demonstrasi UU Omnibus Law yang terjadi pada 10 November 2020 lalu, dimana buruh serta mahasiswa memperjuangkan penolakan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang isinya tersebar luas di jagad media sosial. Dengan adanya transparansi informasi, masyarakat dapat lebih mengerti serta menyadari keadaan politik sekitar serta apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Selain itu, masyarakat juga dapat mengontrol langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan selanjutnya (Kristiyanto, 2016).
ADVERTISEMENT
Fitur Canggih Media Sosial
Ketika berselancar di media sosial, kita tidak pernah terlepas dari fitur-fitur canggih media sosial yang tersedia. Salah satunya yaitu fitur hashtag yang adalah kombinasi kata, huruf atau angka yang diawali dengan simbol pagar (#). Banyaknya informasi yang bercampur aduk di media sosial membuat fitur hashtag dicintai. Dengan fitur tersebut, pengguna dapat merampungkan informasi dan berfokus pada apa yang ingin dikonsumsi atau ditanggapi.
Fitur canggih seperti hashtag menjadi salah satu “senjata” bagi para aktivis sosial untuk menciptakan wadah yang dapat menampung cerita, pengalaman serta ide dari banyak orang. Keberadaan fitur hashtag mendorong terciptanya perspektif-perspektif dari sebuah isu yang riil; didasari dengan kehidupan orang nyata. Sehingga, sebuah isu tidak semerta-merta didikte oleh media atau pemerintah saja (Moe, 2020).
ADVERTISEMENT
Kasus kematian George Floyd yang disebabkan oleh seorang polisi pun menjadi contoh keajaiban dari fitur hashtag. Reaksi publik akan kematian Floyd pada 27 Mei 2020 muncul dengan cepat di salah satu media sosial bernama Twitter, dimana sistem mencatat sebanyak 218,000 tweet muncul dengan hashtag #BlackLivesMatter. Esoknya, pada tanggal 28 Mei, jumlah tersebut naik mencapai 8,8 juta tweet.
Hashtag ini pun berpengaruh terhadap dunia tak terkecuali Indonesia, dimana adanya hashtag #BlackLivesMatter memunculkan gerakan perlawanan rasisme yang serupa, yaitu #PapuanLivesMatter dengan jumlah 7,500 tweet dalam kurun waktu 3 hari. Keberadaan fitur-fitur seperti hashtag membuat aktivisme sosial menjadi lebih inklusif dan mudah dimengerti oleh orang-orang awam khususnya mereka yang baru mempelajari isu sosial yang ada. Karena, setiap orang mempunyai tempat aman untuk bertanya serta bertukar pikiran.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas Wujud Konten
Tidak jarang masyarakat akan menemukan sajian-sajian visual seperti gambar atau video unik yang menarik perhatian mereka dalam media sosial. Ketertarikan tersebut akan mendorong mereka untuk membaca isi penuh dari konten tersebut. Pada akhirnya, secara tidak langsung mereka akan menyerap informasi yang telah mereka lihat dan baca.
Adanya fleksibilitas wujud konten yang muncul karena kebebasan yang ditawarkan media sosial. Saat ini, aktivis dapat menuang pemikiran mereka terhadap suatu isu ke dalam berbagai hasil karya mereka, atau bahkan video yang dikemas dengan penuh tarian. Humor, gambar-gambar berisi tulisan lucu (meme), serta sarkasme juga menjadi pilihan para aktivis untuk melancarkan aksinya (UNICEF, 2020).
Sebuah studi pada tahun 2018 menemukan bahwa orang muda cenderung memang sangat bergantung pada praktik kreatif “online” dalam memberi edukasi, dukungan sosial serta pandangan politik mereka (Kligler dan Literat, 2018). Fenomena pendirian organisasi aktivis Jepang bernama SEALDs (Students Emergency Action for Liberal Democracy) dapat menjadi salah satu contoh studi kasus yang tepat. Organisasi yang didirikan pada tanggal 3 Mei 2015 tersebut pada awalnya didirikan karena para pelajar merasakan adanya ancaman terhadap sistem demokrasi Jepang.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada Juli 2014 terdapat rencana perubahan salah satu bagian dari konstitusi Jepang yang berfokus pada persenjataan militer. Bagi SEALDs, media menjadi wadah penting untuk menyebarkan isu yang ada kepada masyarakat Jepang. Sebanyak 30,000 sampai 120,000 anak muda Jepang membuat video nyanyian singkat yang berisi protes terhadap rencana tersebut. Video-video pun digabungkan dan ditayangkan ke kanal YouTube. Pada akhirnya, video tersebut berhasil mematahkan stigma masyarakat bahwa generasi muda Jepang adalah generasi yang apatis.
Media sosial yang diikuti dengan kebebasan berekspresi dapat menjadi alat bagi para aktivis untuk “mendekatkan” diri kepada ruang publik, menjadikan sebuah isu sosial tidak lagi asing bagi masyarakat.
Kesimpulan
Teknologi di kalangan masyarakat sudah sangat berkembang, khususnya di bidang media sosial. Saat ini media sosial hadir sebagai pengganti sumber berita dan informasi terbaru bagi masyarakat. Kecepatan serta kemudahan yang ditawarkan membuat media sosial semakin digandrungi khususnya oleh kaum muda saat ini. Tak terkecuali dengan para aktivis muda yang saat ini semakin gencar menggunakan teknologi serta media sosial untuk melancarkan kegiatan mereka.
ADVERTISEMENT
Adanya media sosial telah memberikan aktivis sosial berbagai keuntungan seperti misalnya keterbukaan informasi yang membuat mereka semakin sadar akan lingkungan sekitar, serta fitur canggih seperti hashtag yang memampukan para aktivis mengumpulkan orang-orang untuk saling bertukar pikiran. Bentuk aktivisme sosial pun menjadi berbeda; aktivis tidak lagi melakukan kampanye dengan protes namun mereka dapat membuat video tarian atau bahkan candaan dari sebuah isu.
Hal ini menyadarkan kita bahwa saat ini, aktivisme sosial bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Keberadaan “digital activism” mengajarkan kita bahwa media sosial pun juga dapat kita gunakan untuk melakukan hal-hal baik untuk memperkenalkan isu-isu sosial penting kepada orang-orang sekitar. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk dapat belajar mempergunakan media sosial demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Anderson, M., Barthel, M., Perrin, A., & Vogels, E. A. (10 Juni 2020). #BlackLivesMatter surges on Twitter after George Floyd's death. Pew Research Center. Diakses pada 9 Januari 2022, dari https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/06/10/blacklivesmatter-surges-on-twitter-after-george-floyds-death/
Buruh dan Mahasiswa Bergerak Kepung Istana, Demo Omnibus Law. (10 November 2020). CNN Indonesia. Diakses pada 10 Januari 2022, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201110063732-20-567867/buruh-dan-mahasiswa-bergerak-kepung-istana-demo-omnibus-law
Digital civic engagement by young people. (3 Februari 2020). UNICEF. Diakses pada 13 Januari 2022, dari https://www.unicef.org/globalinsight/media/706/file/UNICEF-Global-Insight-digital-civic-engagement-2020.pdf
Joo, Y. (3 September 2018). Same Despair But Different Hope: Youth Activism in East Asia and Contentious Politics. Development and Society, 47(3), 401-422. Diakses pada 12 Januari 2022, dari https://doi.org/10.2307/26506192
Kemp, S. (27 Januari 2021). Digital 2021: Global Overview Report — DataReportal – Global Digital Insights. DataReportal. Diakses pada 12 Januari 2022, dari https://datareportal.com/reports/digital-2021-global-overview-report
ADVERTISEMENT
Kligler-Vilenchik, N., & Literat, I. (1 Februari 2018). Distributed Creativity as Political Expression: Youth Responses to the 2016 U.S. Presidential Election in Online Affinity Networks. Journal of Communication, 68(1), 75-97. Diakses pada 12 Januari 2022, dari https://doi.org/10.1093/joc/jqx005
Kristiyanto, E. N. (21 Juni 2016). Urgensi Keterbukaan Informasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 16(2), 1-14. Diakses pada 13 Januari 2022, dari https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/59/11
Mengenal Generasi Millennial. (27 Desember 2016). Kementerian Komunikasi dan Informatika. Diakses pada 12 Januari 2022, dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media
Moe, P. S. (5 Maret 2020). The Rise of Social Movements Through Hashtags. Change Magazine. Diakses pada 14 Januari 2022, dari http://www.changemag-diinsider.com/blog/the-rise-of-social-movements-through-hashtags
Ratnasari, E., Sumartias, S., & Romli, R. (21 Februari 2021). Social Media, Digital Activism, and Online Gender-Based Violence in Indonesia. Nyimak: Journal of Communication, 5(1), 1-24. Diakses pada 13 Januari 2022, dari http://jurnal.umt.ac.id/index.php/nyimak/article/view/3218/2410
ADVERTISEMENT
Wijaya, C. (4 Juni 2020). Kasus George Floyd 'dijadikan momentum menyuarakan kasus Papua', pemerintah sebut 'tak tepat disamakan'. BBC. Diakses pada 13 Januari 2022, dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-52887845