Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Setara Tapi Berbeda: Paradoks Perempuan dalam Politik
27 April 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Adelia Zahira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perempuan, seseorang yang lahir dengan beragam ruang gerak yang dapat mereka ambil, menghadapi berbagai isu kompleks seperti perbedaan, kesetaraan, identitas, politik, kebangsaan, seksualitas, dan negara (difference, equality, identity, politics, nationhood, sexuality and the state). Pada awal tahun 1960, peran perempuan dalam proses pengembangan mengalami peningkatan dalam eksistensi dan kontribusi mereka, namun hal ini tidak serta merta terjadi pada peran mereka dalam politik. Aktivitas politik yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan dirasa sangat jauh dari keluasan yang dimiliki pria di ranah yang sama. Akibatnya, tidak jarang banyak kaum perempuan yang menggunakan berbagai konsep sebagai bentuk perlindungan dan pembelaan diri agar dapat membuka ruang dalam realitas ini, termasuk dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Upaya perempuan untuk masuk ke ruang politik ini kemudian memunculkan sebuah tantangan mendasar, yakni paradoks yang memiliki dua pandangan yang tampaknya bertentangan namun ada secara bersamaan. Dalam kasus ini, paradoksnya adalah: Bagaimana tuntutan kesetaraan gender dapat diselaraskan dengan adanya perbedaan jenis kelamin? Karena istilah 'setara' sering diartikan sebagai 'sama', maka bagaimana mungkin laki-laki dan perempuan dianggap sama jika mereka secara alami berbeda?
Paradoks inilah yang kemudian membuat hubungan perempuan dengan dunia politik menjadi rumit, sebab jalan paling langsung menuju kesetaraan gender ternyata belum tergambar secara jelas. Di satu sisi, kaum perempuan berpendapat bahwa kesetaraan hanya bisa tercapai apabila perbedaan antara laki-laki dan perempuan dihapuskan melalui aturan hukum yang mewajibkan perlakuan yang sama terhadap keduanya. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar: pernahkah tergambar mengenai mengapa membutuhkan waktu yang sangat lama bagi perempuan untuk dapat dilihat dan dikenali sebagai aktor politik yang penting?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan atas perbedaan perempuan ini yang memicu perdebatan dalam ruang publik, yang sering kali masih diwarnai oleh konstruksi sosial yang melihat aktor politik perempuan berada di level bawah sehingga eksistensinya kurang terlihat dibandingkan laki-laki. Padahal sejatinya, sejak awal masa sebelum reformasi hingga era reformasi, kaum perempuan banyak melakukan aksi dan tindakan untuk menerangkan jalan yang benar. Sayangnya, pandangan yang merendahkan ini diperkuat oleh sejarah pemikiran, seperti filosofi Aristoteles yang membentuk pemikiran masyarakat dengan opininya, "In the differences between sexes, men are considered better and more in nature, while women are underestimated." Akibatnya, publik menjadi semakin mempercayai bahwa perempuan tidak jauh lebih baik daripada laki-laki di manapun mereka berada.
Meskipun pada era globalisasi saat ini, kesadaran masyarakat mengenai kehadiran perempuan sebagai aktor politik sedikit demi sedikit mulai berkembang dengan dipercayainya perempuan sebagai bupati, gubernur, maupun wakil rakyat, namun kendati demikian, eksistensi perempuan pada bidang politik maupun STEM masih dihadapkan pada pandangan tabu. Masyarakat masih sering menilai perempuan tidak kompeten untuk melakukan tugasnya dikarenakan pemikiran dan konstruksi sosial yang sudah melekat, yang menganggap hanya laki-laki yang dapat dipercaya untuk menanggung ekspektasi masyarakat. Sehingga pada akhirnya, walaupun era sudah berubah, perempuan tetap harus bekerja lebih keras daripada laki-laki untuk dapat mendapatkan ruang yang juga sebenarnya adalah hak mereka. Perempuan sebagai aktor politik harus berjuang lebih keras dalam mempromosikan dirinya, membangun citra (branding), serta merancang kampanye agar tidak salah langkah, karena kesalahan kecil dapat langsung menjatuhkan mereka ke dalam jurang penilaian berdasarkan konstruksi sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menghadapi perjuangan yang berat ini, salah satu langkah strategis yang sering diusulkan adalah pemberdayaan perempuan di bidang politik, yang diyakini hanya dapat terwujud secara efektif jika ada jaminan kuota atau kursi khusus bagi mereka. Keterlibatan perempuan yang lebih kuat dan aktif dalam politik juga merupakan cara untuk mengatasi berbagai rintangan sosial yang mereka hadapi. Namun, Pemerintah di berbagai negara dinilai belum melakukan tindakan nyata yang cukup untuk mendukung partisipasi organisasi-organisasi perempuan. Kemajuan dalam pengembangan politik ini seharusnya tercermin dalam peningkatan kekuasaan politik perempuan. Kenyataannya, seringkali posisi politik yang disediakan justru lebih menguntungkan partai politik daripada perempuan secara individu. Perlu dicatat bahwa kemajuan politik perempuan tidak ditentukan oleh kondisi ekonomi mereka. Akibatnya, banyak perempuan yang harus menunggu lama untuk bisa terjun ke politik karena sebagian besar partai politik enggan memberi mereka kesempatan.
ADVERTISEMENT