news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Refleksi FOMO (Fear Of Missing Out) VS JOMO (Joy Of Missing Out)

Adelin Aprilia
Mahaasiswa S2 Psikologi Terapan Universitas Airlangga
13 Maret 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adelin Aprilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Berapa lama kalian berselancar di media sosial? butuh berapa menit kalian menghabiskan waktu untuk scroll konten-konten yang tersaji di dunia maya? lalu apa yang kalian rasakan? perasaan senang, puas atau malah cemas akibat keseringan mengkonsumsi postingan kebahagiaan seseorang yang berbanding terbalik dengan kondisi hidup yang sedang kalian jalani.
ADVERTISEMENT
Memang miris, saat ini perkembangan dunia digital semakin pesat dan tak terbendung, semuanya terlihat indah dan mengesankan, yang tanpa disadari mendorong kita untuk berlomba-lomba menampilkan kebahagiaan seperti orang-orang di sosial media, yang padahal kita sendiri kesulitan menemukan kebahagiaan itu. Dampaknya memunculkan keinginan untuk merasakan hal serupa, bahkan membuat seseorang selalu merasa tertinggal.
Fenomena kehawatiran untuk tidak update terhadap apa yang terjadi ini melahirkan istilah yang menggambarkan pengalaman psikologis berkaitan dengan aktivitas sosial dan teknologi terutama di era digital. FOMO (Fear of missing out) merupakan kondisi psikologis seseorang dimana ia merasa takut ketinggalan, atau cemas karena merasa akan kehilangan sesuatu yang penting, seperti pengalaman, informasi, atau kesempatan. Biasanya, perasaan ini muncul akibat eksposur berlebih terhadap kehidupan orang lain, terutama melalui media sosial
ADVERTISEMENT
Fomo juga kerap menjerat anak-anak usia remaja yang mana pada fase itu anak masih dalam tahap pencarian jati diri, anak akan mengalami kebingungan dalam menentukan identitas yang akan ia tampilkan. Sehingga tidak jarang anak muda terutama kaum remaja terjebak pada trend ikut-ikutan (Fomo) demi mendapatkan pengakuan dari pihak luar
Fomo dicirikan dengan adanya keinginan yang berlebih untuk tetap terus terhubung dengan informasi mengenai apa yang sedang dilakukan oleh orang lain di dunia maya. Sedangkan kebalikan dari Fomo adalah Jomo yang mengacu pada bagaimana manusia mengambil momentum secara sadar untuk terlepas dunia digital dan mengalami suatu hidup tanpa tergantung pada internet.
Joy of Missing Out atau yang dikenal dengan Jomo merupakan cara hidup yang lebih santai dan tidak merasa bermasalah bila seseorang terlambat mengetahui berita atau informasi yang tengah berkembang. Menurut Kristen Fuller (2018), seorang dokter dan penulis di Psychology Today, mengatakan pada dasarnya Jomo adalah tentang menjadi puas dengan kehidupan saat ini. Perilaku gaya hidup Jomo mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjalani hidup dalam ritme yang lebih lambat, lebih terfokus pada relasi dengan sesama manusia, kemampuan untuk mengatakan ’tidak’, memberikan ruang khusus terhadap diri sendiri yang terlepas dari ketergantungan teknologi, serta memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk merasakan segala emosi yang ada.
ADVERTISEMENT
Tentu individu akan merasa lebih senang apabila menjalani kehidupan nyata dengan tenang, menikmati setiap proses yang berlangsung tanpa terdistraksi oleh kebahagiaan orang lain, seseorang bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri dengan porsi masing-masing tanpa tuntutan mengejar pencapaian orang lain.