Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Kompleksitas Orang Tua dan Anak
14 November 2022 15:51 WIB
Tulisan dari Adellia Maharanie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi orang tua (sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/putri-dengan-grimace-tidak-mau-mendengarkan-berbicara-ibu-gm1305514153-396381729)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01ghr465btgpqzayeqzd428ng1.jpg)
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, baik kita sadari maupun tidak, sebagian dari kita sering dituntut untuk menjadi sempurna. Anak selalu dituntut untuk bertingkah baik, tidak berperilaku aneh, dan tidak mudah menangis. Banyak tuntutan yang akhirnya menjadi tekanan bagi anak itu sendiri. Tekanan-tekanan itu pada akhirnya membuat anak takut gagal, takut mengecewakan, dan takut tidak sesuai dengan harapan orang tua mereka. Pada akhirnya, mereka merasa tidak dihargai dan diakui.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang terjadi pada masa kecil itu akhirnya menjadi sesuatu yang berpengaruh saat mereka dewasa. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, besar kemungkinan adalah mereka yang masa kecilnya diasuh dengan pola yang tepat dan penuh kasih sayang (Mohamad, 2021). Suara mereka didengarkan, emosinya diterima, dihargai setiap usahanya, dan diperlakukan dengan baik. Mereka menjadi seseorang yang berani mencoba hal-hal baru karena mereka yakin bahwa dunia juga akan memperlakukannya dengan baik seperti yang orang tuanya lakukan.
Namun, ada juga seseorang yang memiliki kepercayaan diri rendah, pendiam, dan masih memiliki ketakutan-ketakutan di usia yang lumayan dewasa. Orang-orang seperti ini besar kemungkinan diasuh dan dibesarkan di keluarga yang kurang melakukan komunikasi. Mungkin mereka banyak dikekang, emosinya tidak diterima, dan hanya dituntut untuk menuruti semua yang diperintahkan tanpa membantah atau menanyakan alasan. Padahal, komunikasi dua arah di tahap pertumbuhan anak sangat penting untuk membentuk self-esteem yang lebih baik saat mereka dewasa nanti (Mohamad, 2021).
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mereka menjadi seseorang yang tidak teratur mentalnya. Mereka sulit mengungkapkan emosi karena orang tua yang seharusnya menjadi pihak pertama yang memvalidasi emosi mereka pun tidak bertindak seperti yang diharapkan. Anak pun menjadi asing dengan orang terdekatnya sendiri dan tidak jarang mereka akhirnya menjadi pembangkang. Pada akhirnya mereka mengingat kesalahan-kesalahan orang tua mereka karena luka masa kecil yang mereka miliki.
Pada akhirnya juga, sebagian dari anak-anak tersebut menjadi benci dengan perlakuan orang tua mereka sendiri. Namun, pertanyaannya adalah apakah mereka benar-benar ingin menjadi orang tua yang seperti itu? Kita tidak pernah tahu jawabannya sebelum menjadi orang tua. Yang perlu kita tahu adalah fakta bahwa tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Pada dasarnya, mereka adalah orang dewasa yang juga memiliki kehidupan sendiri. Walaupun memiliki anak adalah keputusan yang harus mereka pertanggungjawabkan, tetap saja menjadi orang tua akan selalu menjadi hal baru untuk mereka dan mereka masih terus belajar untuk melakukan yang terbaik. Untuk memahami orang tua, penting bagi kita untuk mengetahui masalah parenting juga. Dengan begitu kita perlahan akan tahu maksud dan alasan dari perlakuan orang tua kita.
ADVERTISEMENT
Diana Baumrind, seorang psikolog klinis dan perkembangan mengklasifikasikan pola asuh menjadi empat, yaitu :
Pola asuh yang satu ini adalah pola asuh yang berlangsung dua arah. Orang tua memiliki aturan yang tegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh sang anak. Di samping itu, mereka juga memberikan respons kepada sang anak juga. Jika anak mengikuti aturan, mereka akan memberi reward. Jika sang anak melakukan kesalahan, mereka juga memberi konsekuensi. Namun, di sini pendapat atau “suara” sang anak pun juga diterima. Anak-anak yang dididik dengan pola asuh seperti ini akan memiliki kepercayaan diri tinggi, mandiri, dan tidak takut gagal.
ADVERTISEMENT
Pola asuh ini juga memiliki tuntutan yang tinggi terhadap anak, tetapi minim respons atau feedback. Posisi orang tua pada pola asuh ini dianggap dominan. Tidak ada ruang untuk diskusi sehingga anak pun hanya menurut dan akhirnya menjadi pasif. Ada juga yang akhirnya menjadi pembangkang.
Pada pola asuh ini, orang tua tidak begitu peduli dengan anaknya. Sang anak pun akhirnya harus menjaga diri mereka sendiri dan susah untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain. Mereka akan memiliki rasa kesepian dan kadang merasa dirinya tidak berharga. Padahal, dalam perkembangan anak, peran orang tua sangat dibutuhkan. Tidak jarang anak dengan pola asuh ini malah terjerumus hal-hal buruk karena mengikuti lingkungan pertemanan yang salah.
ADVERTISEMENT
Pola asuh yang ini bisa dibilang menjadi pola asuh di mana orang tua sangat memanjakan anaknya. Mereka sulit untuk menolak keinginan sang anak. Mereka jarang menerapkan aturan-aturan yang terlalu mengikat dan membebaskan anak melakukan apa pun yang mereka mau. Akibatnya, anak menjadi manja, tidak mandiri, dan akan menjadi lebih agresif jika keinginannya tidak terpenuhi.
Kesimpulannya, tidak ada pola asuh yang paling sempurna di antara keempatnya karena pada kenyataannya, penerapan tidak semudah teori. Semua akan dilakukan tergantung dengan keadaannya. Orang tua kita pun juga produk dari orang tua mereka yang pola asuhnya juga berbeda (Mohamad, 2021). Maka dari itu kita tidak boleh men-judge mereka dengan mudah karena mereka pasti juga mengalami kesulitan-kesulitan yang bahkan tidak mereka ceritakan kepada kita. Daripada terus-terusan mencari kesalahan orang tua dan membenci mereka, lebih baik kita mulai dengan memaafkan dan memahami diri sendiri dahulu. Kita terima luka-luka masa kecil kita, memvalidasi emosi yang ada dalam diri kita, dan memahami orang tua kita juga. Akan lebih baik jika kita melanjutkan hidup dengan sama-sama belajar dan membentuk keluarga yang lebih memahami satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Mohamad, A.(2021). What’s so wrong about your self healing. Jakarta Selatan.
Baumrind, D.(1975). The cotributions of the family to the development of competence in children. Schizophrenia Bulletin, 1(14), 12-37. https://doi.org/10.1093/schbul/1.14.12
Adellia Maharanie, mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya angkatan 2022.