Konten dari Pengguna

Influencer Emang Harus Bayar Zakat?

Ade Nurhidayah
Bachelor of Economics Education - State University of Jakarta, Certified of Associate Wealth Planner, Contributing Author of Anthology Book
11 November 2024 11:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Nurhidayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era kontemporer ini, berbagai bentuk media sosial lazim digunakan sebagai tempat menghasilkan uang, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pelaku ekonomi kreatif digital. Mereka yang memiliki kemampuan lebih untuk dapat memanfaatkan berbagai kemjuan teknologi, inovasi dan kreativitas dalam menghasilkan uang. Termasuk dalam hal ini adalah selebriti Instagram/ tiktok yang mempu meng-influence orang. Nilai penghasilan yang diraup cukup fantastis dalam 1 bulan, ini berbanding lurus dengan banyaknya followers atau pengikut akun tersebut. Sedikitnya dengan 10 ribu followers, potensi penghasilannya bisa mencapai 45 – 50 juta per bulan.
Source : Badan Amil Zakat Nasional, 2023
zoom-in-whitePerbesar
Source : Badan Amil Zakat Nasional, 2023
Source : Badan Amil Zakat Nasional, 2023
zoom-in-whitePerbesar
Source : Badan Amil Zakat Nasional, 2023
Data di atas merupakan nilai rerata potensi penghasilan influencer pada platform Instagram dan tiktok. Pendapatan yang diraup dalam satu bulan, ini tentu bukan nilai yang sedikit. Terlebih jika kita kalkulasi potensi zakatnya selama satu tahun, ini akan menghasilkan dampak yang sangat besar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana zakat yang menjadi bagian instrumen fiskal. Ditujukan untuk mendistribusikan kekayaaan merata melalui integrasi sistem sosial dan mekanisme pendistribusian harta. Maka keberadaan influencer/ public figure sebetulnya sangat potensial untuk mendukung dampak zakat. Di samping mereka memiliki kekuatan cukup besar untuk meningkatkan kepercayaan pasar, mereka juga punya peran penting sebagai muzakki atau pembayar zakat dari profesinya saat ini.
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia melihat bahwa profesi ini bisa tergolong sebagai aktivitas yang mulia dan menuai pahala jika konten yang disebarkan ke sosial media berupa sesutau yang positif, seperti menyeru kebajikan (ma’ruf), mencegah yang dilarang (munkar), motivasi ibadah, mempererat silaturahim dan konten positif lainnya. Jadi, selama profesi ini tidak menciderai aktivitasnya dengan hal-hal yang dilarang dalam syariat, maka ini menjadi profesi yang halal, yang baik dan boleh jadi mereka ini termasuk ke dalam kategori wajib zakat. Dengan syarat nilai penghasilannya sudah mencapai nishab. Nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas, dan kadar 2,5%. Hal ini juga telah tertuang di SK Ketua BAZNAS Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Nilai Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa Tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Meski memang banyak yang menjadikan profesi ini hanya sebagai side hustle, tapi profesi ini cukup menjanjikan juga jika dikalkulasi nilai penghasilannya selama satu tahun. Nilai yang sangat fantastis untuk sebuah profesi di ranah digital. Cukup menjanjikan dalam beberapa tahun ke depan. Namun, sangat disayangkan belum semua influencer/ public figure memiliki kesadaran dan pengetahuan akan zakat profesi. Untuk orang-orang yang bekerja di ranah pemerintahan mungkin sudah mulai teredukasi dengan adanya kewajiban zakat melalui lembaga tertentu, tapi untuk pekerja non pemerintahan barangkali ini yang masih menjadi PR untuk edukasi mengenai zakat profesi.
Terdapat beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam instrumen zakat profesi, yang pertama ialah kurangnya kebijakan dan regulasi yang jelas dari regulator. Meski dalam hal ini zakat penghasilan/ profesi sudah dinaungi dalam UU No. 23 Tahun 2011, mengenai pengelolaan zakat nasional. Namun pada implementasinya, ini masih sangat memerlukan perbaikan kebijakan. Dalam hal ini zakat profesi belum menjadi sebuah obligatory system. Belum menjadi sebuah kewajiban dalam tatanan negara, sehingga kesadaran masyarakat ini masih sangat sulit dipupuk karena tidak adanya sanksi/ punishment yang berlaku. Kedua, masih kurangnya kesadaran dan pemahaman dari calon muzakki, dalam hal ini adalah pelaku ekonomi kreatif digital. Selaras dengan hasil kajian Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FE UI, bahwa salah satu penyebab ketidakoptimalan penghimpunan zakat profesi adalah karena basis zakat yang tergali ini masih terkonsentrasi pada zakat fitrah saja. Ketiga, berkaitan dengan kemanan data. Tidak menutup kemungkinan adanya persoalan kebocoran data dan penyalahgunaan data. Oleh karenanya, ini menjadi PR lembaga pengelola zakat untuk menjaga kemanan dari potensi serangan cyber dan kebocoran data. Keempat, menciptakan system yang transparan dan akuntabel. Dengan adanya laporan transaksi, penerimaan sampai dengan pendistribusian dana, ini perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel kepada muzakki (pembayar zakat). Sebab ini menjadi bagian dari hak mereka untuk mengetahui bagaimana dana zakat mereka dapat terkelola dan didistribusi tepat guna kepada mustahik.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tantangan tersebut, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 04/Ijtima'Ulama/VIII/2024 yang diterbitkan dalam Buku Konsensus Ulama Fatwa Indonesia awal Juli 2024. Mengenai zakat profesi yang diwajibkan pada profesi youtuber, influencer, juga pelaku usaha kreatif digital lainnya.
Peran influencer yang cukup strategis dalam menjadi agen perubahan yang sangat efektif untuk mengedukasi dan meningkatkan pemahaman tentang zakat profesi, serta mendorong banyak orang untuk menjalankan kewajiban zakat mereka dengan cara yang lebih praktis dan relevan dengan zaman. Filantropi bisa saja menjadi sektor baru untuk mulai dikampanyekan para influencer, dengan value dan visi yang sama. Hal ini nantiya akan memberikan dampak juga manfaat yang lebih luas bagi masyarakat. Dengan berbagai kemudahan yang ada untuk membayar zakat, termasuk juga dengan hadirnya sebuah sistem perhitungan zakat, ini sangat memudahkan mereka untuk menyalurkan zakatnya serta mengurangi terjadinya hambatan teknis yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Influencer juga pada akhirnya bisa menjadi sosok role model dalam menjalankan kewajiban zakat profesinya sebagai wujud nyata mendorong dampak zakat. Dengan demikian, mereka dapat memotivasi pengikut mereka untuk ikut berzakat, sekaligus menunjukkan bahwa zakat adalah bagian dari gaya hidup yang positif dan bermanfaat.
Influencer dan zakat menjadi dua hal yang bersatu. Menciptakan dunia lebih adil juga lebih bermakna tanpa menggerutu. Sebab melalui zakat, mereka buktikan bahwa kesuksesan sejati adalah memberi tanpa mengharap balasan.