Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Alasan Mengapa PBNU Tidak Cocok Mengelola Tambang
18 Juli 2024 5:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ade Putra Suryana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penerbitan Peraturan Ormas Kelola Tambang
ADVERTISEMENT
Di akhir masa jabatannya lagi-lagi Jokowi mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Melalui PP No 25 Tahun 2024 hasil revisi dari PP No 96 Tahun 2021 menjelaskan bahwa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan yang sebelumnya pada PP No 96 Tahun 2021 diprioritaskan kepada BUMN dan BUMND.
ADVERTISEMENT
Jokowi menjelaskan bahwa yang diberikan izin pertambangan adalah badan usaha yang ada di dalam ormas keagamaan yang nantinya akan melalui persyaratan yang ketat. Namun, secara umum enam agama yang ada di Indonesia akan lebih diprioritaskan.
Saat ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadi satu-satunya ormas keagamaan yang menerima tawaran untuk mengelola tambang. Bahkan beberapa ormas keagamaan sudah menyatakan menolak mengelola tambang dengan berbagai alasan.
PBNU memiliki berbagai alasan mengapa mereka menerima tawaran untuk mengelola tambang, salah satunya adalah karena PBNU membutuhkan pendapatan untuk menjalankan organisasi mereka. Seperti yang diketahui, dalam menunjang keberlangsungan organisasinya PBNU bergerak di berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan yang dimulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dengan kebutuhan tersebut maka PBNU memutuskan untuk menerima tawaran dari pemerintah untuk mengelola tambang. Saat ini PBNU sudah menyiapkan PT untuk keperluan mengelola tambang yang rencananya PT tersebut akan diisi oleh kader PBNU yang memiliki keahlian dalam manajemen dan pengelolaan tambang.
Keputusan PBNU untuk mengelola tambang memunculkan berbagai gejolak di dalam masyarakat. Gejolak tersebut muncul karena pada beberapa kesempatan PBNU menggabungkan seruan untuk menjaga alam dan larangan merusak alam. Sedangkan pengelolaan tambang akan sebabkan kerusakan kepada lingkungan yang sangat besar, belum lagi jika nanti terjadi konflik agraria di daerah tersebut.
Di media sosial banyak sekali netizen yang memberikan kritikan kepada PBNU terhadap keputusan yang mereka ambil. Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat netizen yang mengubah logo NU sebagai wujud kekesalan terhadap keputusan yang diambil.
ADVERTISEMENT
Perubahan dilakukan pada warna dan elemen di dalam logo NU yang awalnya Nahdlatul Ulama menjadi Ulama Nambang serta warna yang awalnya hijau menjadi warna merah. Hal tersebut menimbulkan polemik lagi. Beberapa waktu lalu terdapat seseorang yang melaporkan akun tersebut karena telah mengubah dan melecehkan logo NU.
Alasan PBNU Tidak Cocok Mengelola Tambang
Dari sudut pandang kader akar rumput, keputusan PBNU untuk mengelola tambang merupakan keputusan yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan kaidah yang dianut oleh PBNU sendiri yaitu keaswajaan. Pasalnya pada beberapa kesempatan PBNU memberikan instruksi untuk melestarikan alam hingga fatwa haram merusak alam. Oleh karena itu keputusan ini tidaklah relevan dengan dasar yang dianut oleh NU itu sendiri karena beberapa alasan berikut ini:
ADVERTISEMENT
Pertama, polemik akan terjadi pada masyarakat akar rumput akibat dari keputusan PBNU untuk mengelola tambang. Pasalnya kader akar rumput NU sendiri juga merasa kecewa terhadap keputusan tersebut, mereka menyayangkan kenapa PBNU tidak konsisten dengan ucapan yang mereka katakan. Pada muktamar NU ke 34 diputuskan Bahtsul Masail mengharamkan perampasan tanah rakyat oleh pemerintah, hal tersebut berangkat dari pembahasan konflik agraria. Sedangkan pengelolaan tambang akan berpotensi untuk merampas tanah milik rakyat, seperti yang terjadi di wadas dan kawasan pertambangan lainnya. Keputusan NU untuk mengelola tambang tentunya tidak sesuai dengan Bahtsul Masail yang sudah disepakati pada muktamar ke 34 yang mengharamkan merampas tanah milik rakyat.
Kedua, di dalam Islam tepatnya di keaswajaan yang menjadi dasar dari segala tindakan NU, mengenal konsep yang bernama hablum minal alam, hablum minal alam adalah hubungan manusia dengan alam. Dalam hablum minal alam dijelaskan bagaimana seharusnya manusia bertindak kepada alam seperti menjaga kelestarian dan tidak merusak alam. Dengan keputusan yang diambil oleh PBNU untuk mengelola tambang tentunya berbanding terbalik dengan dasar tersebut. Karena memang faktanya usaha pertambangan dapat mengubah bentuk topografi tanah sehingga akan berdampak kepada keseimbangan sistem ekologi sekitarnya. Selain itu pertambangan juga akan menimbulkan gangguan seperti debu dan asap yang mengotori serta membawa zat beracun di udara, air, dan tanah.
Ketiga, pada muktamar ke 29 Cipasung NU mengeluarkan fatwa bahwa NU berpihak kepada kelestarian ekologi serta perusakan lingkungan untuk pemanfaatan sumber daya alam merupakan suatu tindakan kriminal. Perumusan fatwa tersebut didasarkan kepada kajian fiqih permasalahan lingkungan dalam batang tubuh fiqih yaitu ibadat, muamalat, munakahat, dan jinayat yang membahas manusia sebagai wujud penciptaan lingkungan yang bersih. Fatwa tersebut muncul untuk merespon krisis iklim yang terjadi akibat pembangunan dan industrialisasi yang merusak lingkungan hanya untuk kepentingan segelintir orang saja.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya NU didirikan untuk memberikan kemaslahatan pada umat dengan cara yang baik dan benar. Beberapa alasan di atas menjadi bukti bahwa keputusan yang diambil oleh PBNU merupakan keputusan yang tidak baik dan tidak benar dengan dalih kemaslahatan umat. Gus Dur pernah berkata, “Indonesia membutuhkan strategi penyelamatan lingkungan hidup yang dapat dijalankan oleh seluruh rakyat secara bersama-sama dan berkesinambungan.” Sebagai seorang yang memiliki ikatan kader ideologis dengan Gus Dur seharusnya hal tersebut dijadikan pegangan dalam setiap keputusan yang akan diambil oleh PBNU untuk NU itu sendiri.
Ade Putra Suryana
PMII Universitas Diponegoro, Peneliti Junior di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK)