Konten dari Pengguna

Tan Malaka: Keautentikan Gagasan dan Keteguhan Perjuangan

Ade Putra Suryana
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Diponegoro, Peneliti Junior di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK).
20 April 2025 11:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Putra Suryana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika bertanya pada bangsa ini siapa itu Tan Malaka, hanya sedikit orang yang akan mengetahuinya, mereka lebih mengenal Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir sebagai pendiri bangsa Indonesia. Hal tersebut bukan tanpa sebab, Tan dihilangkan oleh Orde Baru karena dirinya yang menganut ideologi Marxis—musuh orde baru. Meski namanya mencoba dihilangkan bahkan dihapuskan, pemikirannya tetap abadi untuk bangsa ini. Pemikirannya yang autentik dan sikapnya yang teguh menjadikan dia selalu ada di setiap lini kehidupan bangsa ini.
Tan Malaka muda. Sumber: Leiden University Libraries.
zoom-in-whitePerbesar
Tan Malaka muda. Sumber: Leiden University Libraries.

Keautentikan Gagasan Tan Malaka

ADVERTISEMENT
Bapak Republik yang dilupakan, begitulah majalah Tempo menyebutnya di dalam buku seri Bapak Bangsa. Bukan tanpa alasan mengapa Tan disebut demikian. Pemikirannya tentang konsep Negara Indonesia merdeka dituangkan dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Indonesia Merdeka). Ditulis pada tahun 1925, buku tersebut menjadi buku pertama yang membahas konsep Negara Indonesia. Bahkan sebelum Mohammad Hatta membuat pleidoi di depan pengadilan Belanda yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka) pada tahun 1928 dan Sukarno yang menulis “Mencapai Indonesia Merdeka” pada tahun 1933.
Naar de Republiek Indonesia terdiri dari tiga bab yang saling terhubung. Pada bagian pertama Tan membahas tentang situasi dunia pada saat itu penuh dengan peperangan, bagian kedua buku tersebut membahas situasi Indonesia, dan terakhir dia membahas tentang apa yang menjadi tujuan dari Partai Komunis Indonesia. Pada bagian terakhir buku tersebut, Tan mengajak kepada seluruh kaum intelek untuk berkontribusi dalam kemerdekaan Indonesia. Tidak mengherankan jika buku ini menjadi pegangan wajib bagi Sukarno ketika menjadi pemimpin Klub Debat Bandung. Pemikiran yang autentik dan brilian selalu dijadikan rujukan oleh setiap tokoh bangsa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Naar de Republiek Indonesia saja yang dijadikan pegangan oleh tokoh bangsa. Buku Aksi Massa yang ditulis pada tahun 1926 juga menginspirasi WR Supratman untuk membuat lagu Indonesia Raya. Lirik “Indonesia tanah tumpah darahku” terinspirasi dari bagian akhir buku tersebut. Tan Malaka menyebut dua kali tumpah darah, yang pertama dia menulis “… itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya.” Sedangkan yang kedua Tan menulis, ”Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”
Buku tersebut juga mengilhami Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945. Sebuah aksi yang merespon kabinet yang terkesan tidak bekerja setelah Indonesia merdeka. Sukarni yang saat itu tergabung di Menteng 31—perkumpulan pemuda yang bermarkas di Asrama Angkatan Baru Indonesia—mengatakan “Ini kesempatan kita mempraktikkan Massa Aksi.” Hingga tercapailah Rapat Raksasa yang dihadiri oleh 200 ribu orang.
ADVERTISEMENT
Dengan pemikiran yang luar biasa tersebut Sukarno pernah membuat testamen politik yang berisi jika Sukarno-Hatta terbunuh atau tertangkap sekutu, Tan Malaka akan menggantikan menjadi pemimpin. Meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak terjadi karena Hatta menolak menjadikan Tan pengganti tunggal dengan alasan pengganti harus mampu mewakili arus politik utama, yaitu kaum kiri, kiri moderat, feodal, dan Islam.

Keteguhan Perjuangan Tan Malaka

Karya yang luar biasa dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak menjadikan dirinya menjadi pemimpin aktor politik utama. Hal tersebut terjadi karena keteguhan hatinya yang menolak pandangan untuk berkompromi dengan penjajah. Beberapa kali Tan Malaka diberikan panggung untuk tampil di perpolitikan nasional oleh Sukarno dan Sjahrir, tetapi Tan menolak dengan alasan tawaran tersebut masih berbau kompromi dengan penjajah.
ADVERTISEMENT
Tan Malaka memang terkenal dengan keteguhan hatinya menolak kompromi dengan penjajah. Dia tidak sependapat dengan Sukarno yang mempercayai jika Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Keteguhan hatinya dibuktikan lagi ketika Tan mengkritik pemerintah Indonesia ketika melakukan perundingan dengan sekutu yang hendak mengambil alih Indonesia lagi setelah merdeka. Bahkan saking bencinya dengan politik kompromi Tan mengatakan “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”
Tan Malaka berpidato. Sumber: Buku Massa Actie
Kematian Tan Malaka adalah kenyataan yang menyakitkan, Tan mati di tangan bangsa yang dicita-citakannya. Tan Malaka ditembak mati tanpa adanya peradilan yang jelas—dituduh hendak melakukan kudeta, meskipun tidak terbukti—oleh negara. Bahkan tidak jelas di mana makamnya berada sebelum sejarawan Harry A Poeze menemukan makamnya di Selopanggung, Kediri, melalui catatan sejarah dan kesaksian orang yang pernah melihatnya ketika ditahan oleh militer.
ADVERTISEMENT
Dia berjuang bukan hanya untuk dirinya saja, tetapi dia berjuang untuk bangsa ini. Jalan hidup yang tidak mudah dan berpindah-pindah menjadikan dia pribadi yang kuat di segala medan. Tan bukan tokoh seperti Sukarno dan Hatta yang dielu-elukan memerdekakan Indonesia, Tan juga bukan Sjahrir yang mendapatkan julukan “Bung Kecil”, tetapi Tan adalah tokoh yang dikenal lewat karya-karyanya yang autentik dan keteguhan dalam dirinya.
Ade Putra Suryana
Peneliti Junior di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK)
Referensi dan Bacaan Lanjutan
Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka: Pergulatan menuju Republik, 1897–1925 (J. S. Badudu, Trans.). KITLV–Yayasan Obor Indonesia.
Tan Malaka. Aksi massa.
Tan Malaka. Naar de Republiek Indonesia.
Tempo. (2013). Tan Malaka. Kepustakaan Populer Gramedia.
ADVERTISEMENT