Anak Saya Nilainya Selalu 100

Ade Tuti Turistiati
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto. Alumni SSEAYP 89. Senang menulis tentang kisah perjalanan, budaya, pendidikan, dan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Hobi main pingpong dan membaca.
Konten dari Pengguna
15 Januari 2022 13:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Tuti Turistiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak belajar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ketika duduk di Sekolah Dasar, anak saya nilainya selalu 100 untuk semua mata pelajaran. Apakah anak saya jenius? Ini bukan masalah kecerdasan, tapi kesempatan. Ada siswa yang untuk mendapatkan nilai 100 bisa langsung mendapatkannya. Namun, ada anak yang perlu waktu dan proses panjang untuk memperolehnya. Intinya, apakah anak diberi kesempatan atau tidak untuk memperbaiki kesalahannya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman di atas terjadi ketika anak saya belajar di sekolah dasar di Jepang. Setiap selesai pelajaran, biasanya guru memberikan soal latihan untuk mengetahui pemahaman murid-muridnya. Guru akan memberikan tanda maru atau lingkaran pada soal-soal yang sudah diisi dengan benar.
Soal-soal yang jawabannya masih salah, belum diberi tanda lingkaran di nomor soalnya. Ini artinya bahwa jawaban yang belum benar perlu diperbaiki di sekolah atau dibawa ke rumah dan menjadi PR. Jika semua soal sudah diisi dengan benar maka guru akan melingkari nomor soalnya dan nilai 100 akan disematkan. Itulah mengapa anak saya nilainya selalu 100.
“Bun, yang diberi tanda maru baru 5. Aku akan perbaiki yang jawabannya belum benar.” Demikian ujar anak saya ketika suatu hari ia mengerjakan soal matematika di rumah. Saya bilang pada anak saya jika soalnya 10 dan benarnya 5, berarti nilainya 50.
Ilustrasi anak belajar menulis. Foto: Shutter Stock
Di luar dugaan, anak saya justru berujar bahwa nilainya belum 100, dan ia punya kesempatan untuk memperbaiki. Ia pun menambahkan bahwa ia perlu waktu lebih lama untuk mengerjakan soal matematika dibanding teman-temannya. Untuk pelajaran lain, ia merasa tidak menemui masalah yang berarti.
ADVERTISEMENT
Sambil mencerna kata-katanya, saya memeriksa satu persatu hasil pekerjaannya. Setelah selesai mengerjakan PR-nya dengan benar, ia pun nampak senang. Cara tersebut saya terapkan ketika anak saya mengerjakan soal latihan di rumah.
Saya tidak pernah membubuhkan nilai ketika saya memeriksa pekerjaan sekolah anak saya, karena sebuah angka seringkali memadamkan harapan. Orang tua lebih baik memberikan kesempatan pada anak untuk menjalani proses tumbuh dan berkembang lebih baik.
Saya pun teringat di masa pandemi banyak orang tua terutama para ibu yang mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Anak-anak itu ada yang masih duduk di TK maupun SD. Ibu-ibu merasa stress ketika anaknya mendapatkan nilai yang rendah.
Tidak semua anak menguasai semua pelajaran yang diberikan di sekolah. Di luar nilai yang ditandai dengan angka, ada hal yang jauh lebih penting dimiliki anak, yaitu usaha atau perjuangannya, kesungguhannya, kejujurannya, percaya pada kemampuan dirinya, dan rasa hormat pada orang lain juga dirinya.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengingat beberapa kutipan yang disampaikan oleh Dorothy Law Nolte, seorang pendidik dan ahli konseling keluarga.
“Jika anak hidup dengan dorongan, mereka belajar percaya diri.
Jika anak-anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran.
Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi.
Jika anak-anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai.”