Silaturahmi dan Berat Badan

Ade Tuti Turistiati
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto. Alumni SSEAYP 89. Senang menulis tentang kisah perjalanan, budaya, pendidikan, dan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Hobi main pingpong dan membaca.
Konten dari Pengguna
30 April 2021 18:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Tuti Turistiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idul Fitri tinggal menghitung hari. Halal bihalal pun menjadi ajang silaturahmi yang banyak dinanti. Namun, momen saling bermaafan dengan harapan kita kembali suci jangan sampai meninggalkan luka di hati.
ADVERTISEMENT
Ya, setiap orang harus dapat menahan diri. Menahan diri dari komentar yang salah satunya menyoal berat badan yang sebagian besar dialami kaum putri pada saat pandemi.
“Ya ampun ... sudah lama nggak ketemu, kok kamu jadi gemuk gini, sih?”
“Sampai nggak ngenalin, tuh badan tambah melar kanan kiri.”
“Waduh, kok jadi gembrot kaya celengan babi.”
Ups, jangan sampai kata-kata itu keluar dari mulut kita tak terkendali.
Komentar-komentar seperti itu biasanya diperparah dengan adanya tawa dari orang-orang di sekitarnya atau sekadar anggukan tanda mengiyakan. Sederhana saja, jika kita tidak senang dan tidak mau dikomentari seperti itu, maka jangan pernah melakukannya pada orang lain.
Bicara baik atau diam
“Kenapa ya orang Indonesia, terutama wanita cenderung suka mengomentari fisik ketika bertemu teman atau saudara? Jika komentar positif tak mengapa. Namun, alih-alih membuat orang lain gembira, jika komentarnya negatif justru membuat sesak dada. Misalnya, komentar tentang kulit yang menjadi lebih hitam, rambut yang mulai menipis, dan yang paling tidak ingin didengar oleh kebanyakan wanita yaitu berat badan yang bertambah alias gemuk.”
ADVERTISEMENT
Demikian suatu hari kakak saya yang menetap di Australia curhat pada saat ia liburan di Indonesia. Pada waktu itu ia menghadiri acara reuni teman-teman SMP-nya. Setelah sekian lama tak bertemu, komentar teman-temannya pun berhamburan sekitar penampilan kakak saya yang tidak selangsing waktu sekolah berpuluh-puluh tahun lalu dan kulitnya yang lebih hitam dibanding dulu.
“Berdasarkan pengalaman, teman-teman saya di Aussie berkomentar tentang saya dari sisi baik atau hal-hal yang bagus yang ada pada saya. Mereka kagum dengan kulit sawo matang saya yang halus, bulu mata saya yang lentik, gigi saya yang tersusun putih dan bersih. Tidak ada yang bilang saya gemuk apalagi kemudian disambut tawa.” Kakak saya menyampaikan unek-uneknya.
“Gaya komunikasi orang Indonesia cenderung high context, suka basa-basi ketika mulai percakapan. Mereka mungkin berkomentar tanpa bermaksud mempermalukan apalagi mau menyakiti.” ujar saya mencoba menganalisis concern yang ia sampaikan.
ADVERTISEMENT
“Orang Australia pun senang basa-basi ketika bertemu, namun bedanya mereka biasanya mengomentari cuaca yang cerah atau cuaca yang tidak bersahabat, kondisi lalu lintas yang buruk atau sebaliknya, kegiatannya yang menyita waktu, dan lain-lain di luar penampilan tubuh. Kalau pun berkomentar personal terkait penampilan, biasanya kontennya positif. Anyway, kamu tahu nggak kenapa saya bisa santai menanggapi komentar dari saudara-saudara dan teman-teman soal tubuh saya yang katanya gemuk? Atau mungkin kamu heran saya tidak ngambek dengan berkomentar serupa pada mereka?”
Tanpa menunggu jawaban, kakak saya menjawab sendiri pertanyaannya.
“Pertama, saya merasa nyaman-nyaman saja dengan penampilan saya karena yang penting badan saya sehat. Kedua, yang menurut saya penting adalah tak seorang pun yang dapat menyakiti dan membuat saya kesal dan marah kecuali saya mengizinkannya. Saya tidak mau menghakimi niat mereka berkomentar seperti itu. Niat baik atau buruk itu urusan mereka dengan Tuhan. Jadi lebih baik saya menganggap komentar-komentar itu sebagai bentuk perhatian mereka pada saya. Bisa jadi mereka jujur menyampaikan apa yang mereka lihat, untuk itu saya berterima kasih. Hanya saja akan lebih baik kalau mereka menyampaikan hal yang berpotensi orang lain tidak suka dengan cara yang bijak atau mereka tak perlu berkomentar seperti itu dan menjadikannya bahan tertawaan.”
ADVERTISEMENT
“In fact, it depends on how we react, tergantung bagaimana kita bereaksi. Jadi bukan fokus pada komentar orang-orang tentang kita melainkan bagaimana kita bereaksi menanggapi komentar mereka.” pungkas kakak saya.
Ini bukan soal orang Indonesia atau Australia, siapa pun kita, perlu berhati-hati menjaga lisan untuk tidak berkomentar negatif atau berpotensi membuat orang lain tidak nyaman, tidak suka. Saya percaya bahwa cukup banyak hal-hal positif yang sebenarnya bisa kita komentari dari diri seseorang. Kalaupun ada yang ingin kita sampaikan agar orang lain menjadi lebih baik, kita dapat menyampaikannya dengan cara yang bijak.
Misalnya, menyampaikan masukan pada waktu yang tepat, melihat situasi dan kondisi yang kondusif, dan secara pribadi alias tidak di depan orang banyak. Jika kita tidak siap dengan komentar yang baik dan bijak, lebih baik bercerita atau menanyakan hal-hal lain yang sifatnya umum seperti mengenai perjalanan, hobi, pengalaman, dan lain-lain.
Berkata baik atau diam. Sumber: Freepik.com
Kalau hal-hal umum dan netral yang ditanyakan atau diceritakan juga berpotensi tidak membawa kebaikan dan manfaat maka lebih baik kita diam. Hadits dari HR. Bukhari-Muslim mengatakan:
ADVERTISEMENT
"Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam."