Silaturahmi dan Makanan

Ade Tuti Turistiati
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto. Alumni SSEAYP 89. Senang menulis tentang kisah perjalanan, budaya, pendidikan, dan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Hobi main pingpong dan membaca.
Konten dari Pengguna
9 Mei 2021 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Tuti Turistiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan “Food Sustainable Index” (2018) terbitan The Economist Intellegent Unit bersama Barilla Center for Food and Nutrition Foundation, Indonesia menempati urutan kedua di dunia perkara sampah pangan. Ironisnya sebagian masyarakat kita masih banyak yang mencari sesuap makanan.
ADVERTISEMENT
Secara kasat mata, kita dapat menyaksikan di mana makanan terbuang percuma, di antaranya dari rumah-rumah yang masak berlebihan, di acara resepsi pernikahan, restoran, dan bahkan tempat-tempat makanan sekelas angkringan, perayaan-perayaan, termasuk perayaan keagamaan. Sebelum pandemi, perayaan pernikahan termasuk penyumbang sisa makanan yang cukup besar, terutama jika perayaan itu diadakan di hotel atau gedung pertemuan. Jika kita saksikan, begitu banyak orang yang lapar mata. Para tamu antre makanan dari satu stan ke stan lain, 'nyicip' dalam jumlah lebih dari satu suapan. Namun, karena perut kekenyangan, makanan pun tak dihabiskan dan akhirnya dibuang.
Ilustrasi makanan terbuang. Sumber: Freepik.com
Pandemi membawa perubahan. Undangan dalam resepsi pernikahan dibatasi bahkan ketika zona merah terjadi resepsi ditiadakan. Ada juga yang membagikan makanan kotak ke tetangga dan handai tolan disertai pengumuman tentang pernikahan diiringi doa dan harapan. Dengan konsep tersebut jumlah makanan terbuang berkurang, mudah-mudahan.
ADVERTISEMENT
Silaturahmi dan Makanan
Silaturahmi tanpa makanan hambar adanya. Bukankah ketika bertemu saudara atau teman, makanan jadi salah satu pokok bahasan? Ketika reuni, siapa bawa makanan apa? Ketika buka bersama, ada yang tanya di rumah siapa atau rumah makan mana dan makanannya apa? Ketika merayakan sesuatu, makanan yang tersaji harus istimewa.
Silaturahmi lebaran dalam rangka halal bihalal bermaafan sebentar lagi akan tiba. Beraneka kue dan masakan tersedia. Bisa jadi dari satu rumah ke rumah lain mirip adanya. Kue kering kastengel, putri salju, nastar, kacang bawang, dan aneka masakan opor ayam, rendang, gule, dan teman-temannya hadir di meja.
Hari pertama, bisa jadi kita masih bisa menikmati makanan yang ada sehingga tak ada yang tersisa. Hari-hari selanjutnya ketika rasa bosan akan masakan atau kudapan yang sama, kita berpotensi membuang makanan yang masih tersisa, bisa karena basi, rasanya sudah beda, atau kita sudah kehilangan selera.
ADVERTISEMENT
Menakar Kapasitas Perut
Mari kita menjadi bagian dari solusi menangani persoalan sampah makanan. Kita tidak dapat mengontrol selera dan perut orang lain, maka mulailah dari diri sendiri. Yang lebih tahu tentang kapasitas perut kita adalah kita sendiri. Kita dapat belajar dari pengalaman mengenai perkiraan perut mendekati kenyang. Tahan godaan lapar mata. Nikmati apa yang kita makan. Tidak terburu-buru seperti orang takut kehabisan. Ingat lambung penerima makanan hanya berukuran sekepelan tangan. Ketika kita kekenyangan badan kita merasa bega dan tidak nyaman. Jangan sampai keluar dari mulut kita seperti nada penyesalan “duh kekenyangan ih”, “duh kenyang banget”. Bandingkan jika kita spontan menyatakan “Alhamdulillah kenyang”. Artinya kita sudah cukup kenyang untuk tidak melajutkan makan. “Berhentilah sebelum kenyang”.
ADVERTISEMENT
Jika kita makan di luar dan masih tersisa makanan yang layak dimakan, jangan dibuang. Kita bisa minta pelayan restoran untuk membungkusnya dan kita bawa pulang. Yang lebih baik, kita memesan makanan sesuai kebutuhan bukan sekadar keinginan.
Makanan di Rumah Berlebihan?
“Iya ini kebanyakan daripada dibuang sayang”, “Orang rumah nggak ada yang suka.” “Mumpung masih bisa dimakan sebentar lagi basi” …. Please jangan mengucapkan alasan seperti itu ketika memberi makanan pada saudara, tetangga, atau teman. Alasan itu bisa dimaknai beragam, di antaranya bahwa si penerima makanan menerima “sisa makanan” yang telah melalui proses “seleksi” di mana makanan tersebut tidak diinginkan oleh si pemberi makanan. Alih-alih membuat senang si penerima malah sebaliknya berpotensi menuai kekesalan. Kalaupun kenyataannya itu yang menjadi alasan, Anda tidak perlu menyampaikan. Biarlah Anda sendiri yang tahu niat Anda. Berikan makanan yang terbaik yang kita punya, yang dapat kita buat atau belikan. Berikan makanan pada orang lain seperti kita ingin diperlakukan.
ADVERTISEMENT
Mari menjadi bagian dari solusi tanpa caci maki.
Gambar dalam rangka peringatan hari pangan sedunia. Sumber: Freepik.com