Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Teori-Teori Komunikasi Aplikasi Praktis: Buku Rame Tak Bikin Bete
7 September 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ade Tuti Turistiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah ‘rame’ (ramai) seringkali disematkan oleh orang Sunda atau paling tidak oleh orang Sunda Bogor untuk memaknai sesuatu yang bagus, keren, asyik, heboh, seru, bermanfaat dan makna positif lainnya. Misalnya jika ada orang bertanya “Bagaimana film yang kamu tonton, rame atau tidak?” maka jika dijawab ‘rame’ itu berarti bisa jadi film tersebut asyik ditonton, seru, sesuai harapan, happy ending, tidak berbelit-belit, tidak bikin bete, bermanfaat, dan seterusnya. Kata rame pun sering kali digunakan untuk merepresentasikan buku yang bagus, seru, relatif mudah dicerna dan dipahami, ada bagian yang membuat pembaca merenung atau berpikir “koq seperti yang saya pikirkan tapi tak pernah dituliskan”, ada bagian yang membuat sedih karena menyentuh hati, ada bagian yang membuat tersenyum bahkan tertawa . Yang pasti, buku yang rame itu juga membuat penasaran pembaca untuk menuntaskan bacaannya. Sehingga, saking penasarannya, pembaca kadang-kadang merasa perlu mengintip bagian akhir buku tersebut. Namun, tidak seperti buku kisah ditektif menguak dalang pembunuhan, buku ini tidak beresiko penyesalan jika pembaca ingin menyimaknya dari tengah bahkan dari halaman belakang.
Buku Teori-Teori Komunikasi Aplikasi Praktis karya Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. ini merupakan salah satu buku yang masuk kategori “rame”. Buku ini lebih menekankan kedalaman sejumlah kecil teori yang dikenal luas dengan aplikasi praktis yang disajikan dalam artikel-artikel yang relatif mudah dicerna. Sebagian artikel pernah dimuat di berbagai media, namun penulis telah melengkapi dan memperbaruinya sehingga berbeda dengan tulisan aslinya (Hal. XI).
ADVERTISEMENT
Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam ranah teori-teori Fenomenologi dan Etnometodologi, Teori Interaksi Simbolik dan Teori Penjulukan, Teori Dramaturgi dan Teori Batas Etnis, Teori Konstruksi Sosial, Teori Struktural-Fungsional dan Teori Sistem. Jika Anda awam dan hanya membaca judul-judul tersebut, kemungkinan besar buku ini akan Anda tinggalkan dengan dalih “terlalu ilmiah”, bakalan serius dan njelimet. Namun, cobalah baca artikel Fenomenologi Covid-19 (Hal. 39-43), kita dibawa flash back pada suasana pandemi saat itu, merasakan kekhawatiran dan ketakutan, dan suasana akrab dengan sang Pencipta. Sebuah “tamparan” yang patut kita renungkan dan menjadi pembelajaran. Penulis mengutip M. Nurdin Zuhdi bahwa “Virus corona memang berbahaya, namun virus lain jauh lebih berbahaya seperti sifat iri, dengki, hasut, dendam, serakah, dan kufur nikmat (Hal.43).
ADVERTISEMENT
Kasus Sambo yang mencuri perhatian publik pada tahun 2022 diulas oleh penulis dengan judul “Etnometodologi Kasus Sambo”. Penulis dengan piawai merangkai narasi dikaitkan dengan teori dan argumen yang enak dibaca dan dipahami. Prinispnya, hukum itu buat manusia bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, dialog dengan hati nurani dan penafsiran kreatif sangat vital karena hukum bukan sekadar seperangkat peraturan formal, melainkan juga budaya, cita-cita, dan keadilan bagi masyarakat (Hal. 49-53).
Debat capres dan cawapres beberapa bulan lalu tak luput dari pengamatan mendalam penulis. Dengan judul “Mendebat Debat Pilpres 2024” para pembaca akan merasa terwakili pendapat atau kekesalannya. Pada debat Pilpres 2024 dalam tiga adegan terpisah seorang capres menunjukkan isyarat joget silat, menjulurkan lidah, dan berkata “Sorry ye” dengan intonasi tinggi. Pesan non-verbal tersebut lazim muncul dalam budaya konteks tinggi (budaya dengan ciri komunikasi yang tidak langsung dan cenderung berbelit-belit) (Hal. 253-266). Meminjam istilah Anies Baswedan jika banyak atau fokusnya lebih ke atraksi, itu menandakan substansinya tidak kuat. Dengan kata lain kalau substansinya kuat tidak perlu atraksi. Di sisi lain, penulis berharap bahwa ke depannya, desain debat politik harus dikaji ulang.Terutama, pertanyaan harus diajukan secara langsung bukan lewat “pengambilan undian” yang mengesankan para panelis yang professor atau doktor itu seperti penggembira saja.
Dari sekitar 40-an tulisan yang disajikan, pembaca juga bisa tersenyum simpul membaca salah satu artikel “Rahasia Halalbihalal”. Frasa halalbihalal tidak ada dalam khazanah bahasa Arab. Itu hanya frasa bahasa Arab yang diplesetkan yang mungkin maksudnya menghalalkan. Mirip dengan frasa “You and I pabelong-belong” yang maksudnya saling memiliki yang juga tidak ditemukan dalam bahasa Inggris. Islam memerintahkan kita untuk saling memaafkan sepanjang waktu, tidak terbatas pada saat lebaran (Hal. 256-258).
ADVERTISEMENT
Buku setebal 280 halaman ini sejatinya tidak hanya diperuntukkan bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa, tetapi bagi siapa saja yang haus akan pengetahuan dan hiburan.