Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pilkada dan Politik Pemustaka
4 September 2020 21:23 WIB
Tulisan dari Adey Sucuk Zakaria Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Selain sandang, pangan dan papan, politik juga sebuah keniscayaan di Indonesia. Jika tahun 2019 lalu kita sempat terpecah menjadi “Cebong” dan “Kampret”. Pada tahun 2020 ini, meskipun ada pandemi Covid-19 yang tak sedikit memakan korban jiwa, serta belum juga ada indikasi kapan akan berakhir. Politik sepertinya tetap jalan terus.
ADVERTISEMENT
Manifestasinya kali ini adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Legitimasi pilkada di era pandemi sendiri tertuang dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan / atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Poin utama dalam peraturan tersebut di antaranya penyesuaian pilkada dengan protokol kesehatan.
Pilkada serentak yang melibatkan 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota ini sejatinya akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Sampai saat ini tahapan yang sedang berjalan, yaitu pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Kemudian secara maraton terdapat tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah (4 – 6 September 2020), penetapan pasangan calon kepala daerah (23 September 2020), serta tahap kampanye yang berakhir 5 Desember 2020 nanti.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bersama pilkada tahun 2020 ini merupakan pilkada serentak yang ke-4 setelah rangkaian pilkada 2015, 2017, dan 2018. Meskipun kepala daerah sudah dipilih langsung oleh masyarakat. Tetapi yang terjadi, proses politik di Indonesia masih hanya sebatas seremoni pelanggengan kekuasaan. Indikasinya semakin kentara dengan semarak “politik dinasti” yang kian merata di pelosok tanah air.
Semakin ironis, sebab sudah sejak lama rakyat sekadar menjadi alat politik para elit. Tendensi money politic pun masih sering kita jumpai, baik berbentuk uang tunai, maupun dalam bentuk sembako. Namun realita yang terjadi, pemimpin yang terpilih biasanya jauh dari ekspektasi dan tak merepresentasikan masyarakat sedikitpun. Masyarakat menjadi objek penderita secara hakiki.
Padahal dalam alam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Bahkan tertera dalam UUD 1945 dan disebut berulang-ulang dalam peraturan perundang-undangan lain. Misalnya saja dalam peraturan yang sudah disebutkan di atas, (PKPU Nomor 6 Tahun 2020) Pasal 1 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemilihan (Pilkada) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Artinya kedaulatan rakyat adalah hal yang paling utama dalam berdemokrasi. Abraham Lincoln dalam pidatonya yang fenomenal (Gettysburg Adrress) mengungkapkan bahwa,“demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Sehingga terpilihnya pemimpin bukanlah tujuan akhir. Cita-cita dasar memilih pemimpin tak lain untuk menjadikannya abdi masyarakat.
Seperti yang diungkapan Rousseau pada abad ke-18 dulu. Menurutnya, negara bukan milik pemimpin (raja/presiden) atau golongan, melainkan milik masyarakat (publik). Negara yang sah adalah negara republik. Seperti negara kita. Maka pemimpin yang baik harus bisa mendengar suara rakyatnya. Karena suara rakyat tidak semestinya berakhir di kotak suara.
Politik dan Kepentingan Pemustaka
Sudah menjadi hal yang lumrah, disaat pesta demokrasi seperti pilkada, seluruh elemen masyarakat menggantungkan harapannya kepada calon kepala daerah yang akan dipilih. Tak terkecuali bagi masyarakat perpustakaan, yang menurut Sutarno dalam “Perpustakaan dan Masyarakat” (2006) secara garis besar terdiri dari organisasi perpustakaan, organisasi profesi kepustakawanan, dan masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT
Masyarakat secara umum disini dapat diartikan sebagai objek utama layanan perpustakaan. Apalagi perpustakaan kini dituntut untuk proaktif melibatkan masyarakat—yang selama ini pasif mengunakan layanan perpustakaan—sehingga perpustakaan tidak hanya melayani masyarakat yang aktif memanfaatkan perpustakaan, namun juga bagaimana caranya agar masyarakat yang pasif tetap terlayani dan tecukupi kebutuhan informasinya dengan baik.
Dalam istilah kepustakawanan, masyarakat / orang yang menggunakan jasa layanan perpustakaan biasa disebut pemustaka. Seperti yang sudah diungkapkan di atas, baik masyarakat aktif, maupun masyarakat pasif, semuanya merupakan pemustaka. Maka kita semua adalah pemustaka.
Keinginan pemustaka tidak muluk-muluk. Pemustaka hanya ingin buku berkualitas, yang bisa menggali potensi dalam dirinya, serta tempat mencari informasi yang nyaman agar tak mudah lagi dibodohi. Perpustakaan wajib mengakomodasi. Khususnya perpustakaan umum dari seluruh tingkat administratif (provinsi sampai kelurahan/desa). Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang menjadi prioritas nasional, yaitu literasi untuk kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Namun yang menjadi pertanyaan, sudahkah perpustakaan merealisasikan itu semua?
Di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa, sektor jasa dan informasi tumbuh subur dibanding daerah lain. Itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa perpustakaan lebih banyak dan lebih “terurus” ketimbang di pulau lain yang cenderung dengan sektor industri, pertambangan, pertanian, dll.
Apalagi jika kita melihat ke daerah 3T (terdepan, terpencil dan tertinggal). Jangankan berbicara mengenai kecukupan buku atau indeks literasi, adanya gedung perpustakaan pada daerah tersebut saja sudah untung.
Hal ini menandakan bahwa perpustakaan sebagai lembaga pendidikan dan pembentuk karakter bangsa tenyata memiliki problematika yang kompleks. Pertama, sarana dan prasana yang bernilai merah. Seperti yang sudah disinggung di atas pada daerah 3T adanya gedung perpustakaan saja sudah sangat bagus. Hal ini semakin mempertegas belum meratanya pembangunan di tanah air.
ADVERTISEMENT
Kedua, parameter lain yang menjadikan perpustakaan daerah sulit berkembang ialah sumber daya manusia (SDM). Banyak SDM di perpustakaan daerah yang tidak memiliki basic pendidikan kepustakawanan mumpuni. Padahal prodi ilmu perpustakaan di perguruan tinggi Indonesia semakin menjamur. Artinya penyerapan tenaga ahli perpustakaan di daerah tidak berjalan dengan baik.
Malahan, sudah menjadi rahasia umum bahwa perpustakaan di daerah biasanya menjadi tempat buangan ASN bermasalah dan korban politik. Belum lagi jika kita mengacu UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 30 yang mengatakan bahwa perpustakaan dipimpin oleh pustakawan atau tenaga ahli dalam bidang perpustakaan. Namun faktanya tidak demikian.
Ketiga, masalah terakhir yang dihadapi perpustakaan daerah adalah minimnya anggaran. Faktor yang terakhir ini saling terkait satu dengan yang lain. Keterbatasan anggaran menyebabkan sarana dan prasarana menjadi terbatas. SDM yang tidak kompeten menyebabkan carut-marutnya perencanaan sehingga anggaran terbatas.
ADVERTISEMENT
Jika saja masalah yang dihadapi perpustakaan daerah bisa teratasi, outcome-nya tidak lagi melulu kepuasan pemustaka, melainkan cerdasnya anak bangsa seperti yang diamanatkan undang-undang serta terpenuhinya SDGs (Sustainable Development Goals).
Oleh karena itu, ketiga persoalan dasar ini tidak mungkin bisa teratasi tanpa adanya dorongan dari pembuat kebijakan. Diperlukan sebuah komitmen keliterasian dalam syahwat politik kepala daerah. Pada tahap inilah political will sang pemimpin ditunggu pemustaka.
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa kita semua adalah pemustaka. Maka sudah semestinya pilkada menjadi momentum bagi kita untuk bersama-sama merapatkan barisan dan menciptakan daya tawar politik baru. Kita harus proaktif dan kritis terhadap kemerdekaan literasi. Kita berhak untuk tidak memilih calon pemimpin yang tidak memberi ruang untuk berkembang dan belajar. Kita harus menuntut calon pemimpin untuk memberdayakan perpustakaan di daerah kita masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu diharapkan adanya kesadaran massal akan pentingnya sebuah perpustakaan sebagai dasar pembangunan. Tak hanya kesadaran dari elit politik, namun juga kesadaran dari akar rumput. Sebab perpustakaan yang sehat mencerminkan kepribadian masyarakatnya baik secara sosio-kultural, perekonomian, dan daya saing. Hal ini sesuai dengan program pemerintah pusat “SDM Unggul, Indonesia Maju”.
Di era disrupsi seperti sekarang ini, perpustakaan dituntut untuk me-rebranding orientasinya. Jika dulu perpustakaan terkesan ekslusif, maka kini perpustakaan harus inklusif. Sebab, di setiap perpustakaan yang tersebar di pelosok tanah air terdapat hak asasi masyarakatnya. Baik hak untuk memperoleh ilmu, hak untuk belajar, sampai dengan hak politik yang sama, tanpa pernah melihat latar balakang suku, ras, agama, jenis kelamin, jabatan, dan status sosial. Semua orang tak hanya sama di mata tuhan, namun juga di dalam perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, cita-cita mewujudkan masyarakat literat, yang paham arti lampu merah, dimana seharusnya membuang sampah, dan hal-hal sederhana lain. Sejatinya dimulai dengan kegiatan membaca. Seperti ajaran semua agama. Sehingga kedepannya perpustakaan dituntut untuk bisa menjadi simbol bagi daerahnya sendiri. Simbol harapan, kebangkitan, serta peradaban masyarakat daerah. Semoga!