Konten dari Pengguna

Total Rewards dan Kesetaraan Gender dalam Birokrasi

Leonita Adhadini Hapsari
Analis Kebijakan pada Lembaga Administrasi Negara
7 Oktober 2024 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonita Adhadini Hapsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Image by Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah dipastikan akan kembali membuka lowongan CASN pada tahun 2024 dengan alokasi sebanyak 2,3 juta jiwa di instansi pusat dan daerah. Setiap tahunnya, informasi pembukaan lowongan ASN menarik minat jutaan pelamar untuk mendaftar sebagai abdi negara. Faktor fasilitas, kesejahteraan dan jaminan hari tua menarik berbagai kalangan berlomba menjadi amtenar.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan sorotan media tentang betapa “wah” nya penghasilan dan fasilitas ASN. Ketimpangan penghasilan masih banyak terjadi dalam pemerintahan antar instansi dan antar gender. Sebagian besar PNS di instansi “jelata” memiliki kecenderungan penghasilan menengah kebawah dan kurang sejahtera jika dibandingkan dengan beban kerja, risiko dan peran yang sama di instansi “sultan”. Belum adanya kebijakan anggaran terintegrasi terkait struktur penghasilan tunggal yang setara dan berbasis bukti (evidence based). Dalam hal ini, perempuan dengan multi perannya sebagai ASN dan seorang Ibu mengalami “double gender gap”, imbas perbedaan pendapatan antar instansi juga antar gender yang menyebabkan stagnansi karir di jabatan menengah karena kinerjanya terikat dengan jam kerja sehingga gagal memiliki pendapatan yang setara.
ADVERTISEMENT
Melalui UU no 20 tahun 2023 tentang ASN, pemerintah menekankan perhatiannya terhadap peningkatan kesejahteraan ASN. Sejalan dengan concern tersebut, RPJMN 2024 - 2025 mengkonsepkan kesejahteraan ASN sebagai salah satu instrumen dan strategi untuk mendongkrak kualitas penyelenggaraan pemerintah yang menjadi penentu kesuksesan pembangunan nasional. Sayangnya, sampai dengan saat ini, pengarus utamaan gender masih luput dari perhatian sehingga belum diprioritaskan dalam implementasi kebijakan terkait kesejahteraan.
Berdasarkan statistik BKN, jumlah PNS pada tahun 2023 berjumlah 3.795.302 orang. Dari angka tersebut, 54% merupakan wanita atau sekitar 2 juta orang. Sedangkan PPPK memiliki total jumlah sebanyak 487.127 dengan 67% diantaranya adalah wanita. Melihat data tersebut, tentunya ketersediaan kebijakan kesejahteraan ASN yang ramah gender menjadi suatu keunggulan tersendiri di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkualitas. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran wanita dalam pelayanan publik dan pelaksanaan kebijakan publik yakni sebagai tulang punggung penyelenggaraan pemerintahan pada sektor-sektor yang strategis seperti kesehatan,pendidikan dan pelayanan lainnya sekaligus upaya mencapai target Sustainable Development Goals (SDG’s) ke 5 “Achieve gender equality and empower all women and girls”.
ADVERTISEMENT
Konsep Kesejahteraan Pegawai
Kesejahteraan pegawai dibangun dari pemberian aspek material dan non material sebagai bentuk balas jasa dari tempat bekerja untuk memenuhi kebutuhan karyawan dengan tujuan meningkatkan produktivitas sekaligus mempertahankan loyalitasnya (Hasibuan, 2001). Untuk mendapatkan SMART ASN yang kompeten dan profesional, mekanisme program kesejahteraan perlu memperhatikan baik komponen material maupun non material. Saat ini, sebagian besar fokus dari kebijakan perbaikan kesejahteraan ASN yang dirancang dan dilaksanakan lebih menekankan pada aspek material seperti Gaji dan tunjangan lainnya serta belum banyak berfokus pada kesetaraan gender.
Dari sisi pemenuhan kesejahteraan materil, terdapat banyak kebijakan yang bersifat gender-netral. Contohnya, tunjangan pasangan dan anak yang tercantum dalam PP No. 7 tahun 1977 tentang penggajian ASN. Pelekatan dari tunjangan tersebut hanya diberikan kepada salahsatu pegawai, apabila kedua-duanya adalah PNS. Imbasnya, perempuan PNS dalam relasi perkawinan memiliki kesempatan yang kecil untuk mendapat tambahan penghasilan, meskipun sama-sama bekerja dan memberi nafkah untuk keluarga. Hal ini disebabkan peran ganda perempuan di Indonesia, sebagai pekerja kantoran sekaligus pekerja domestik, yang membatasi pengembangan kapasitas dan kesempatannya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Dari sisi non materiil, pemerintah belum mampu mengidentifikasi dan meminimalisir fenomena “glass ceiling” yang membatasi kapasitas dan kesejahteraan perempuan pada sektor publik. Utamanya,hambatan tak terlihat pada srikandi birokrasi terkait dengan peran produktif dan reproduktifnya. Dimana, setelah menjadi ibu atau berupaya menjadi ibu, wanita lebih memilih untuk mengalah dalam karirnya, mengurangi kesempatan pengembangan diri dan jam kerja untuk fokus pada keluarga. Hal ini diperparah dengan stereotipe di sektor publik yang mengutamakan kehadiran dibandingkan hasil kerja, sehingga para wanita harus kehilangan waktu,tenaga dan penghasilannya dalam perjalanan. Hal lain menyangkut masalah kesehatan mental yang rentan dialami oleh wanita pada pemerintahan, dengan ritme kerja yang tinggi, lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan berbagai target capaian. Keseluruhan praktik tersebut menggerus kesejahteraan yang menunjang kinerja perempuan.
ADVERTISEMENT
Melalui skema Total Rewards, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan kesejahteraan materiil dan non materiil PNS & PPPK secara umum. Pada pasal 21 Undang-undang ASN terbarut, ASN dapat diberikan penghasilan, penghargaan yang bersifat motivasi, tunjangan dan fasilitas, jaminan sosial, lingkungan kerja, pengembangan diri dan bantuan hukum. Sayangnya, tanpa pengarusutamaan gender, hak-hak penyeteraan kaum perempuan di birokrasi masih sulit dilaksanakan. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian PAN RB, BAPPENAS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan serta lembaga pemerintah lain yang terkait perlu bersinergi dan merancang peraturan teknis yang memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, pemerintah perlu mempersiapkan sistem informasi terintegrasi untuk memantau pelaksanaan mekanisme Total Rewards dan membuat database nasional. Sistem terintegrasi dibutuhkan untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas dari anggaran yang telah disediakan sehingga dapat dilaksanakan analisis lebih lanjut terkait keberadaan kesenjangan penghasilan, kesehatan atau kekayaan gender baik di dalam maupun antar instansi.
ADVERTISEMENT
Kedua, alih-alih menerapkan konsep one size fit for all, pemberian reward dan benefit harus mengacu kepada preferensi dan kebutuhan dari masing-masing kelompok pegawai, khususnya dalam hal gender. Untuk itu, proses asses dan re-asses kebutuhan pemenuhan kesejahteraan pegawai perlu dilaksanakan secara periodik untuk menjamin pelaksanaan yang tepat sasaran dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Ketiga, perlu disusun suatu instrumen pengukuran terstandarisasi berdasarkan hasil kerja (evaluasi kinerja) dan analisis beban kerja dalam pemberian reward dan benefit. Tujuannya adalah untuk memastikan produktivitas pegawai yang berdasarkan kinerja, bukan kehadiran, sehingga mendukung metode fleksibilitas kerja yang memudahkan para ibu dalam sektor publik
Keempat, mengidentifikasi dan mengakomodasi hambatan bagi perempuan dalam birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan di lingkungan kerja yang lebih ramah gender. Fleksibilitas kerja, penyediaan child care, cuti berbayar dan konseling diantaranya perlu dipertimbangkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam mengakses rewards dan benefit.
ADVERTISEMENT