Keragaman dalam Harmoni: Mempertahankan Jati Diri Bangsa

Adhi Kawidastra
Penggemar jazz, penikmat kopi dan pecinta alam. Seorang Diplomat yang berusaha menjalankan tugasnya dengan baik sembari menjelajah dunia.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 12:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adhi Kawidastra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Momen kehadiran bulan suci Ramadhan tahun ini ternoda dengan tragedi beberapa serangan teroris di Depok, Surabaya dan Riau. Serangan-serangan tersebut meninggalkan luka yang dalam, tidak hanya kepada keluarga korban yang ditinggalkan, namun juga bagi Bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keprihatian pun muncul saat para pelaku serangan teroris tersebut membawa label agama ketika melakukan serangannya. Bagi beberapa pihak yang tidak kuasa membendung emosinya, reaksi pertamanya adalah menyalahkan para pemeluk agama tersebut. Agama tersebut dianggap mengajarkan kekerasan dan intoleransi pada umat lain.
Namun demikian, penulis yakin bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan kekerasan dan menganjurkan umatnya untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini. Lantas apa yang melatarbelakangi, baik para pelaku serangan teror dalam melakukan aksinya maupun para pihak yang langsung menyalahkan pemeluk agama sebagai “agen kekerasan”.
Penulis dalam hal ini meyakini satu jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu lunturnya sifat dan sikap toleransi Bangsa Indonesia.
Hilangnya Semangat Gotong Royong dan Toleransi
ADVERTISEMENT
Jika menengok dua dekade ke belakang, tentu kita masih ingat ciri khas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan toleran. Gambaran ciri bangsa ini pun sering kita jumpai pada pelajaran di bangku sekolah, khususnya pada satu mata pelajaran yang dulu bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Ilustrasi Gotong Royong (foto: Julian Hairnes, Flickr)
Narasi di dalam mata pelajaran PMP tersebut menggambarkan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang murah senyum dan selalu menonjolkan sifat kegotongroyongannya. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Masih teringat di benak penulis ketika kecil bahwa masyarakat Indonesia itu merupakan masyarakat yang ringan tangan dalam membantu orang lain. Orang akan saling menyapa dan menanyakan kabar ketika bertemu atau berpapasan di jalan. Nilai-nilai Pancasila terasa terimplementasikan sampai ke masyarakat bawah.
ADVERTISEMENT
Dua puluh tahun pasca bergulirnya reformasi pada tahun 1998, nilai-nilai toleransi dan keramahan tersebut terasa semakin luntur. Bangsa Indonesia cenderung tenggelam dalam euforia berdemokrasi yang mengedepankan kebebasan pribadi dalam berpendapat.
Pendudukan Gedung DPR/MPR oleh Mahasiswa pada Tahun 1998 (foto: https://commons.wikimedia.org)
Namun sayangnya, kebebasan pribadi yang diusung seringkali tidak mengindahkan hak-hak orang lain. Demokrasi yang diusung justru dirasa semakin menjunjung tinggi kebebasan absolut bagi individu dan semakin menjauhi nilai-nilai Pancasila.
Kemunculan media sosial semakin memperlebar jurang pemisah antara kebebasan individu dan toleransi. Di era digital saat ini, individu semakin mendapatkan kebebasan dalam mengungkapkan pendapatnya. Sayangnya, kebebasan berpendapat di media sosial tersebut cenderung kebablasan dan tidak lagi mengindahkan fakta serta kebenaran dari suatu informasi.
ADVERTISEMENT
Media sosial ibarat sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial dapat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat bagi umat dengan cara yang lebih mudah. Di sisi lain, kemudahan ini jika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dapat berujung pada pembelokan informasi yang tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran.
Ilustrasi Media Sosial (foto: Lobo Studio Hamburg, Pixabay)
Anonimitas identitas akun di media sosial menambah risiko penyebaran informasi yang tidak sesuai fakta atau yang kita kenal sebagai hoax. Dalam hal ini, media sosial berpotensi menjadi alat propaganda yang efektif melalui penyebaran hoax tersebut.
Jika banyak pihak memanfaatkan media sosial sebagai alat propaganda, maka risiko terjadinya konflik akan semakin tinggi. Situasi politik dalam negeri yang akhir-akhir ini memanas merupakan cerminan dari demokrasi individu yang kebablasan dan penggunaan media sosial sebagai alat propaganda.
ADVERTISEMENT
Menanamkan Sikap Toleransi Sejak Dini
Beberapa hari yang lalu, Penulis menghadiri prosesi wisuda sekolah anaknya di sebuah gedung pertunjukan di Jakarta Selatan. Tema yang diusung dalam pertunjukan drama musikal di acara wisuda sekolah tersebut adalah “Diversity in Harmony” atau “Keragaman dalam Harmoni”.
Secara ringkas, pertunjukan drama musikal tersebut bercerita tentang seorang perempuan kaya raya yang merasa kesepian tidak punya teman. Untuk mengatasi permasalahannya, perempuan tersebut memutuskan untuk berkeliling dunia untuk mencari teman.
Dalam kisahnya, perempuan tersebut mendatangi beberapa negara, mulai dari Meksiko, Kenya, Rusia, Jepang dan Indonesia. Di masing-masing negara itu, si perempuan bertemu dengan seseorang yang berpotensi menjadi temannya.
Dengan latar belakang budaya dan pendidikan keluarga yang berbeda, tokoh-tokoh yang berasal dari Meksiko, Kenya, Rusia dan Jepang memiliki karakter yang unik. Ketika bertemu dengan tokoh yang berasal dari Indonesia, si perempuan merasa bahwa tokoh tersebut memiliki karakter yang baik dan rendah hati serta ringan tangan membantu orang lain. Pertemuan dengan tokoh dari Indonesia ini dilatarbelakangi lagu Manuk Dadali.
Drama Musikal Diversity in Harmony (foto: dok. pribadi)
ADVERTISEMENT
Di akhir cerita, si perempuan memutuskan untuk tidak hanya berteman dengan si tokoh baik hati dari Indonesia, namun juga semua tokoh dari negara-negara tersebut. Dari kisah drama musikal tersebut, paling tidak terdapat dua pesan moral yang dapat kita ambil.
Pertama, kisah tersebut menggambarkan sebuah toleransi melalui proses pertemanan antar bangsa yang berbada karakter. Kedua, kisah ini menggambarkan karakter Bangsa Indonesia yang baik dan rendah hati serta suka menolong. Sementara lagu Manuk Dadali sendiri merupakan sebuah lagu yang bernafaskan nasionalisme melalui gambaran burung garuda yang merupakan lambang kejayaan Indonesia. Gambaran tersebut tercermin dalam satu bait syair lagu tersebut:
Penanaman nilai-nilai kebangsaan inilah yang perlu untuk dilakukan secara dini sejak di bangku sekolah. Dengan begitu, ciri khas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang gotong royong, toleran, ramah dan suka menolong dapat muncul kembali dan terpelihara dengan baik.
ADVERTISEMENT
Semoga momentum bulan Ramadhan yang suci ini menjadi momentum kebangkitan kembali Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar.