Organisasi Pergerakan dan Kepemimpinan di Masa Depan

adhi nur seto
Executive Director Of Centre For Public Health and Social Welfare Studies (CPS)
Konten dari Pengguna
12 Februari 2020 13:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari adhi nur seto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perebutan kekuasaan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perebutan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Awal ditunjuknya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, menuai pertanyaan dari banyak kalangan. Kehadiran mantan CEO Gojek di Kementerian Pendidikan ini dianggap anomali, di luar tradisi pemilihan menteri yang berlatar belakang profesor, atau setidaknya telah meraih gelar doktor. Nadiem yang hanya lulusan magister harus memimpin para guru besar, yang mungkin dianggap lebih banyak merasakan asam garam dalam dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Selain Nadiem, ada juga Adamas Belva Syah Devara. CEO Start Up Pendidikan dan Teknologi bernama Ruang Guru yang ditunjuk presiden Jokowi sebagai Staf Khusus Presiden. Padahal ada banyak politisi senior yang dianggap lebih kompeten dalam membantu kerja-kerja presiden.
Namun, jabatan menteri maupun staf presiden merupakan jabatan politik, bukan jabatan karier. Keduanya dipilih karena dianggap mampu merepresentasikan perubahan di era disrupsi sehingga dapat membantu kerja-kerja presiden dalam melakukan akselerasi kemajuan.
Era disrupsi saat ini, banyak terjadi perubahan fundamental dalam kehidupan manusia akibat kemajuan teknologi. Tak terkecuali dalam kepemimpinan politik. Mereka yang tak berlatar belakang politik justru mendapat peluang lebih besar menaiki panggung politik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tren pemimpin daerah yang bukan berlatar politisi.
ADVERTISEMENT
Sebut saja Anies Baswedan dan Nurdin Abdullah yang berprofesi akademisi sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Ridwan Kamil pemimpin Jawa Barat, juga bukan berlatar belakang politisi melainkan arsitek.
Perlu diingat, Presiden Joko Widodo juga berlatar belakang pengusaha, sebelum akhirnya terpilih menjadi Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan kini menjadi Presiden Republik Indonesia.
Meningkatnya tren kepemimpinan politik berlatar belakang profesional dinilai mengubah peta kepemimpinan politik. Kehadiran para profesional di kancah perpolitikan diprediksi akan menyisihkan politisi murni yang telah merintis karier politik dari bawah, bahkan dari bangku kuliah.
Ilustrasi politik. Foto: pixabay

Nasib Aktivis Pergerakan

Lantas, bagaimana dengan keberadaan organisasi pergerakan atau sayap partai politik yang selama ini rutin mencetak kader politik? Apakah masih relevan fungsi organisasi tersebut bila nanti kadernya akan tersisih dengan para profesional yang karya dan kiprahnya telah diketahui khalayak?
ADVERTISEMENT
Selain itu adanya sistem pemilihan langsung baik legislatif maupun eksekutif tentu membuka peluang masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang dinilai memiliki karya nyata dan dapat dinikmati oleh publik. Kehadiran profesional di panggung politik diharapkan dapat membawa terobosan kemajuan, selain itu para profesional juga dianggap minim dosa politik, daripada mereka yang telah lama hidup di lingkaran politik, seperti aktivis pergerakan yang lebih memiliki pengalaman mobilitas vertikal pada kekuasaan sejak awal.
Oleh karena itu ruang bagi aktivis pergerakan semakin sempit untuk menjejaki panggung kepemimpinan politik. Sebagaimana sebuah panggung, tentu audiens kurang antusias bila pemeran utama diisi oleh mereka yang minim karya. Jejaring partai politik yang dimiliki aktivis pergerakan juga tak cukup menolong keterpilihan mereka di panggung politik.
ADVERTISEMENT
Maka penting bagi organisasi pergerakan untuk melakukan reorientasi pada perkaderan yang tidak hanya menanamkan need for power bagi anggotanya, namun juga need for achievement agar para aktivis pergerakan mampu bersaing dan mencipta karya yang dapat dinikmati masyarakat luas.
Dinamika internal organisasi pergerakan acapkali menjadi faktor menguatnya mindset politik para anggotanya. Sayangnya dinamika tersebut tidak dibarengi dengan budaya keilmuan yang mapan, sehingga semakin mempertajam orientasi politis anggotanya daripada orientasi profesional.
Sebagai contoh, dinamika politis berupa pergantian kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun daerah telah menjadi rutinitas tunggal yang menyedot energi organisasi sehingga menyisihkan agenda kaderisasi untuk menjawab tantangan zaman. Tak jarang pergantian kepemimpinan hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan yang berujung pada konflik tak berkesudahan dan diwariskan ke periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Belum usai dengan dinamika internal, kader-kader organisasi pergerakan harus siap bersaing dengan anak-anak muda jebolan universitas ternama dunia yang telah memberi warna baru pada perjalanan bangsa melalui karyanya. Mungkin baru Nadiem dan Adamas Belva yang muncul di permukaan, sedang masih ada sederet nama lain yang karya dan kiprahnya telah diketahui oleh masyarakat luas namun belum memasuki panggung politik.
Dengan kondisi organisasi pergerakan yang tak kunjung membaik, serta munculnya figur profesional muda yang lebih menarik, bisa diprediksi masa depan kepemimpinan politik akan mengalami perubahan, dari yang tadinya diisi oleh kader jebolan organisasi pergerakan, ke depan akan diwarnai oleh para profesional yang memiliki prestasi berupa karya nyata yang kiprahnya telah diketahui oleh publik.
ADVERTISEMENT