8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan?

Adhie Ichsan
Chief of kumparanEntertainment, Food, and Travel with more than 15 years of experience
Konten dari Pengguna
16 Januari 2019 17:14 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adhie Ichsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bekerja sebagai jurnalis mungkin hal terakhir yang akan saya sebutkan di kolom cita-cita ketika sekolah. Sejak kelas 5 SD, saya sudah masuk Sekolah Sepak Bola (SSB) di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan. Berlatih dengan tekun setiap hari Sabtu, Minggu, dan Senin; sepulang sekolah.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat sosok pelatih saya. Pak Agus, begitu ia biasa disapa, mungkin lebih cocok sebagai komandan peleton dibanding pelatih sepak bola. Dia galak dan dingin. Beberapa teman saya bahkan dipanggil dengan sebutan ‘Jenglot’, ‘Wedus’, hingga ‘Petruk’, alih-alih memanggil dengan nama yang diberikan orang tua mereka. Saya sendiri dipanggil dengan sebutan ‘Doyok’ karena tubuh saya yang kurus.
Usia Pak Agus kira-kira 50-an. Menjadi pelatih sepak bola bukanlah mata pencahariannya. Ia sehari-hari bekerja sebagai PNS di Kementerian Pertanian yang letaknya sekitar 3 kilometer dari Gelanggang Olah Raga (GOR) Ragunan. Dari segi fisik, ia sudah tak prima lagi. Boro-boro berlari, untuk berjalan atau menendang bola saja dia tampak kepayahan. Biasanya, Pak Agus dibantu oleh asisten pelatih yang akan mempraktikkan teori dan teknik atas instruksinya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kekurangannya tak seberapa dibanding pengorbanan yang dia berikan karena kecintaannya kepada sepak bola. Tak jarang, Pak Agus mengeluarkan uang dari tabungan masa tuanya untuk bayar sewa lapangan, beli bola baru, atau menyewa kendaraan ketika tim kami ikut kompetisi antar SSB se-Jabodetabek.
Yang saya tahu setelah sempat berkunjung ke rumahnya, Pak Agus hidup seorang diri. Rumahnya tak terurus. Tumpukan koran Poskota bertebaran di berbagai sudut rumah. Bahkan, ada koran yang terbit sejak tiga tahun lalu tak beranjak dari tempatnya. Sepak bola adalah satu-satunya hasrat yang membuat dia tetap hidup.
Singkat cerita, kisah saya sebagai pemain bola berakhir tragis. SSB kami kesulitan finansial pasca-Krisis Moneter 1999. Ditambah, beberapa pemain kunci di tim kami telah pindah ke SSB lain yang lebih memiliki prospek. Selain itu, banyak faktor lain yang membuat benang semakin kusut dan sulit terurai.
ADVERTISEMENT
Anda boleh percaya, boleh tidak. Sistem sepak bola nasional kita sudah semrawut sejak usia dini. Saya punya ijazah palsu, akta lahir palsu, dan rapor SD palsu yang dibuat khusus untuk urusan administrasi jika SSB kami ikut kompetisi resmi. Dalam dokumen-dokumen palsu itu, usia saya lebih muda dua tahun. Itu dilakukan untuk menyiasati kondisi dan fakta bahwa semua SSB yang jadi lawan kami, juga ‘nyolong umur’. Memainkan pemain yang lebih tua dan berpengalaman untuk ikut kompetisi antarusia 14 tahun.
Jika di kompetisi bocah bau kencur saja sudah ada kecurangan, Anda bisa bayangkan permainan seperti apa yang bisa terjadi di Liga Utama.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto saya saat berusia 14 tahun)
Saya ingat betul perasaan kecewa dan marah ketika ikut seleksi PSSI U-14 yang dilakukan di kawasan Jakarta Barat. Saya datang sendirian sebagai satu-satunya perwakilan dari SSB saya. Saat itu, saya memakai identitas dan surat dokumen asli. Saya yang lugu dan naif, hanya bermodalkan semangat. Namun, api harapan itu padam, bahkan sebelum menyala.
ADVERTISEMENT
Ketika datang, saya diminta untuk ukur tinggi badan. Lalu, saya langsung disuruh pulang karena tinggi saya tidak mencapai angka 155 sentimeter, batas minimal yang menurut mereka ideal untuk anak berusia 14 tahun. Secara postur, saya memang tergolong kecil sebagai pemain bola. Tapi soal skill dan attitude, saya berani diadu.
Saya marah bukan karena saya dianggap tidak kompeten dalam mengolah Si Kulit Bundar. Saya kecewa karena saya tidak diberi kesempatan untuk mengikuti rangkaian tes lainnya. Tambah kecewa setelah saya melihat kaki salah satu pemain yang lolos dalam seleksi; kakinya dipenuhi dengan bulu yang lebat, menandakan bahwa dia sudah lama melewati masa puber. Saya yakin betul dia berusia 16 atau 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Di situlah baru saya memahami makna slogan yang pernah saya baca di jendela pintu angkot; ’Hidup Tak Selalu Adil, Jangan Bergantung Pada Manusia’.
Sejak itu, saya berhenti bermain bola.
***
Time will heal, kata orang bijak. Boikot saya pada sepak bola hanya bertahan selama 2 tahun. Saya sempat beralih jadi Abas (Anak Basket), karena probabilitas mendapatkan cewek lebih besar daripada jadi Anak Bola. Tapi saya gagal jadi bintang basket di sekolah. Saya hanya masuk tim cadangan jika bertanding.
Saya kembali rutin bermain sepak bola. Namun, level pertandingannya hanya sebatas antarkampung (Tarkam). Saya sudah cukup bahagia dielu-elukan warga kampung saat mencetak gol.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (2)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto saya main bola di pertandingan Tarkam)
Saat kuliah semester akhir di kampus UI Coret (Politeknik Negeri Jakarta), jurusan Administrasi Bisnis, kakak saya memberi tahu bahwa teman baiknya sedang mencari anak magang. Teman kakak saya bekerja di media online ternama.
ADVERTISEMENT
Saya tergoda untuk mencoba setelah mendapat gambaran bahwa kerjaan teman kakak saya itu sering sekali nonton konser. Selain itu, ia juga selalu menikmati film bioskop lebih dulu daripada penonton umum.
Saya masih ingat ketika dipanggil wawancara. Saya seperti masuk ke dunia baru yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Kira-kira begini situasinya:
Bos teman kakak: Kamu terbiasa menulis?
Saya: Tidak.
Bos teman kakak: Hobi kamu apa?
Saya: Main bola.
Bos teman kakak: Apa cita-cita dan passion kamu?
Saya: Pemain bola.
Bos teman kakak: Hahahahahhahaha…
Saya: …… (memandang aneh dan berpikir mengapa dia tertawa)
Kemudian, saya sadar bahwa cita-cita saya sudah tidak relevan dan tidak realistis untuk kondisi saya saat itu.
****
ADVERTISEMENT
Berawal dari anak magang, saya kemudian diangkat menjadi karyawan. Tahun-tahun pertama saya begitu menyenangkan. Nonton konser Jamiroquai, Placebo, wawancara dengan Damon Albarn-nya Blur, hingga mengikuti keseharian Anggun. Belum lagi, bisa pamer ke teman-teman bahwa saya sudah menonton semua judul film yang tayang di bioskop sebelum film dirilis.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (3)
zoom-in-whitePerbesar
(Pose absurd setelah konser Jamiroquai di Sentul, Bogor)
Oh, sering juga saya diminta mengejar gosip artis. Well, it’s part of the job whether you like it or not. Saya mencoba menikmatinya dan berusaha untuk terus berkembang.
Nasib baik mengikuti mereka yang mau berusaha (juga berdoa). Ketika dinilai sudah lebih berpengalaman, saya dipromosikan ke level menengah. Kesempatan ini membuka saya untuk menjalin relasi dengan pihak-pihak yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (4)
zoom-in-whitePerbesar
(Bersama sutradara J.J Abrams)
ADVERTISEMENT
Saya berkesempatan satu meja dengan Benedict Cumberbatch saat mengunjungi lokasi syuting film Doctor Strange atas undangan Marvel Studios. Saya berada satu ruangan dengan Leonardo DiCaprio ketika dia menerima Piala Oscar pertamanya setelah lebih dari dua dekade menjadi aktor. Saya berbaur dengan penggemar Star Wars dari seluruh dunia untuk merasakan euforia yang sama. Dua tahun berturut-turut! Saya diberi kesempatan bertemu, makan siang bareng dan mewawancarai eksekutif serta CEO Walt Disney.
Dan pengalaman menakjubkan lainnya yang tak cukup jika saya sebutkan satu per satu.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (5)
zoom-in-whitePerbesar
(Saat liputan Star Wars Celebration di Anaheim, California, Amerika Serikat)
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (6)
zoom-in-whitePerbesar
(Menjadi saksi Leonardo DiCaprio menang Piala Oscar)
Hingga akhirnya, setelah 7 tahun bekerja di sana, saya dipromosikan menjadi Vice Managing Editor untuk Divisi Entertainment. Saya berada di media online no.1 di Indonesia. Saya sempat berpikir, “Lalu, apa lagi yang saya inginkan?”
ADVERTISEMENT
Saya berada di zona paling nyaman, dengan rekan-rekan kerja yang sudah seperti keluarga sendiri. Saya belajar, menimba ilmu, dan berkembang dengan sangat baik di tempat tersebut.
….kemudian pintu lain terbuka.
*****
Semenjak memutuskan berhenti mengejar cita-cita sebagai pemain sepak bola, saya tak pernah lagi dihadapkan pada sebuah keputusan besar. Kesempatan itu bernama kumparan. Memutuskan bergabung dengan kumparan adalah keputusan terbesar pertama saya sebagai orang dewasa. Saya memikirkannya dengan berbagai pertimbangan. Menanyakan pendapat orang tua hingga calon istri saya saat itu.
Sebagai perusahaan rintisan, kumparan tak punya jaminan pasti untuk masa depan. Sementara tempat bekerja saya sebelumnya berada di bahtera yang sanggup bertahan diterjang ombak tinggi.
Tetapi, ada sesuatu dari kumparan yang menggelitik sisi petualangan saya. Sesuatu yang tidak saya ketahui pasti, tapi terus mengusik rasa penasaran. Analisis sederhana saya ketika itu begini: Sudah puluhan media online lahir setelah perusahaan tempat saya bekerja, tetapi saya tidak melihat perbedaan yang signifikan secara konsep maupun teknologi.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa bedanya kumparan? Itu yang saya gali lebih dalam sebelum saya benar-benar yakin untuk bergabung.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (7)
zoom-in-whitePerbesar
Sejak hari pertama bekerja, saya merasakan atmosfer yang berbeda. Tiap hari ada pelajaran baru yang saya dapat. Terutama soal bagaimana teknologi bisa membantu pekerjaan kita sebagai penyampai informasi.
Teknologi bukan lagi sekadar pendukung editorial. Di kumparan, teknologi juga menjadi tulang punggung. Saat ini, tim engineering di kumparan sedang mengembangkan sistem personalisasi dan artificial intelligence. Secara produk jurnalistik, kami juga terus berbenah untuk lebih baik lagi.
Saya merasakan percikan-percikan semangat yang sama ketika dulu saya hendak bertanding sepak bola. Kami banyak menghabiskan waktu berdiskusi, dilibatkan untuk mematangkan konsep konten ke depan, dan menyelaraskannya dengan teknologi terkini.
8 Tahun di Portal Berita No.1, Mengapa Saya Mau Pindah ke kumparan? (8)
zoom-in-whitePerbesar
(Tim editorial saat pertama kali kumparan berdiri. Kini kami memiliki 158 wartawan yang terverifikasi Dewan Pers)
ADVERTISEMENT
kumparan saat ini sudah berusia 2 tahun. Ibarat manusia, ia bayi yang masih belajar berjalan. Bayi ini telah tumbuh begitu cepat melebihi bayangan saya, dan mungkin juga orang-orang di luar sana.
Saya tak sabar membayangkan akan seperti apa ketika ia sudah bisa berlari. #percayakumparan
Oh, satu hal lagi. Kami para karyawan juga diberikan jatah saham, lho...