Konten dari Pengguna

Senin Siang di Multatuli

Try Adhi Bangsawan
Founder Sanggabuana Institute (Medium Belajar di Banten) dan Staf Pengajar
14 Maret 2022 17:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Try Adhi Bangsawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak memutuskan untuk menetap di Kota Rangkasbitung, bangun pada jam 10 pagi adalah kebiasaan baru. Berbeda dari biasanya, hari Senin kali ini saya bangun jam 9 pagi, melanjutkan mandi, lalu sarapan, setelah itu berangkat ke Museum Multauli, niat hati ingin menuntaskan kerjaan yang sempat tertunda. Pagi tadi, Rangkas begitu cerah dari biasanya yang mendung sedia kala. Sekitar 5 menit, saya sudah sampai di Museum Multatuli karena tempat tinggal saya yang tidak jauh dari dari Museum. Tepatnya belakang kantor pemerintah daerah Kabupaten Lebak. seperti biasa, parkir motor di Dinas Perpustakaan dan Arsip (DISPUSAR) Kabupaten Lebak, yang kebetulan masih berada di lingkungan Museum.
ADVERTISEMENT
Setelah motor terparkir, saya mulai berjalan menyamping, karena untuk melewati halaman Dinas tersebut mesti membuka alas kaki, sedangkan saya malas. Di sana juga nampak anak sekolah SMA di Rangkasbitung yang sedang praktik lapangan, dan beberapa pegawai di dinas tersebut yang mengobrol.
Jam menunjukkan pukul 10.30, saya berjalan mengelilingi Museum, mencari tempat untuk membuka laptop. Tetapi semesta berkata lain, akhirnya saya bertemu dengan Abah Ikeut, mengobrol di samping Museum, lalu dilanjut di kantin Dispusar. Obrolan itu larut begitu mendalam, mulai dari senda-gurau sampai dengan persoalan kebudayaan di Lebak ini.
Abah Ikeut bercerita, dulunya Ia tidak menggukan kain sunda untuk menutup kepala, tetapi suatu hari saat beliau membuka arsip sunda yang terpampang di rumahnya. Hati berbisik, hingga memutuskan untuk menggunakan ikat kepala dari batik motif sunda.
ADVERTISEMENT
“Ia juga berpesan, bahwa menggunakan ikeut bagi masyarakat sunda adalah hal yang sakral. Inilah cara kita melihat bahwa kepala merupakan kehormatan bagi masyarakat sunda”.
Pembicaraan itu berlangsung dengan hangat, tanpa sekat tua dan muda. Karena dengan saya, Abah Ikeut tiada lain dan bukan, merupakan orang tua yang diperjumpakan saat menjelang dewasa dan menua.
Abah Ikeut ini lulusan dari Asti atau Institute Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, sehingga soal kebudayaan ia lebih banyak mengerti, dan sejak menjadi pegawai di Kabupaten Lebak, ia juga menggeluti jabatan yang bersinggungan dengan budaya, atau kebudayaan.
Obrolan yang ngalor-ngidul dengan Abah Ikeut, Ia bercerita tentang siloka orang sunda soal pemimpin.
Dalam siloka Sunda, ada yang istilah bahwa pemimpin itu, “hadȇ gogog, hade tagog” saya memaknainya begini, bahwa “pemimpin itu musti baik tutur katanya, dan bisa menempatkan diri dengan siapa, sehingga jadi tuntutan bagi bawahannya”.
ADVERTISEMENT
Tempat saya mengobrol berdampingan dengan Musola, sehingga banyak lalu lalang orang untuk beribadah. Selain itu, tembok samping kanan saya duduk juga berbaris foto mantan Bupati Lebak pertama sampai hari ini. dan ditembok depan saya berbaris foto mantan Presiden Indonesia. semuanya terpampang dengan rapih, berhias bingkai.
Sebagai orang yang lebih dulu lahir, Abah Ikeut berpesan “Ide pembangunan di Lebak itu mesti adaptif, bukan lagi imitative. Kenapa demikian, karena belum tentu inovasi yang dilakukan oleh daerah lain, itu cocok dengan daerah kita”. Karena itu, mulailah memilih dan memilah ide pembangunan yang cocok dengan Kabupaten Lebak.
Terakhir, ia berpesan. “Lebak ini kaya dengan beragam potensi yang ada, banyak harta yang belum tergali disini, mulai dari alam sampai dengan kebudayaan. Makanya, Lebak itu bisa kehilangan kemewahan itu, jika tidak dimulai untuk di inventarisir dari sekarang. Saking banyaknya, bisa jadi dikemudian hari kita lupa dengan semuanya”.
ADVERTISEMENT
Suasan mulai hening, akhirnya obrolan itu selesai. Dan saya berjalan menuju pendopo Museum Multatuli, yang hari ini sepi sekali. Tidak ada pengunjung yang datang, karena ternyata Museum itu kalau hari senin libur, itu berlaku diseluruh dunia. Ujar pengelola Museum.
Akhirnya saya duduk, di pojokan pendopo, alhamdulilah di sana juga ada colokan. Sebelum memutuskan membuka laptop, saya membeli kopi dan air minum kepada pedagang kaki lima di pelataran alun-alun Rangkasbitung, yang kebetulan berhadapan dengan Museum Multatuli. Setelah membeli kopi dan air minum, akhirnya saya membuka laptop, dan menulis catatan ini hingga selesai, dan Rangkas mulai mendung.