Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
"Pak Polisi Jangan Main Hakim Sendiri"
24 Januari 2018 13:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Adhit Sella Haumalaka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Catatan ini saya tulis dalam keadaan sehat dan waras, saya tidak sedang mengidap penyakit lupa-lupa ingat seperti kebanyakan oknum berpakaian coklat (Polisi).
Lembaga terhormat yang disegani oleh masyarakat, bahkan dalam regulasi telah di atur fungsi dan perannya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat terus di coreng oleh oknum-oknum tak bermoral.
Belum lama ini, publik ramai-ramai mengecam seorang oknum berseragam coklat yang menghajar salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah sampai babak belur. Masalahnya belum juga terselesaikan, salah seorang oknum polisi lalulintas (polantas) kembali main hakim sendiri. Kini korbannya adalah Aldino Katmaz, yang merupakan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Said Perintah Masohi dan salah satu Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Masohi.
Kronologis kejadian yang saya baca dari harian Ambon Ekspres edisi 24 Januari 2018, ditambah interviu langsung dengan korban via whatsapp, terbilang miris dan hampir membuat saya kehilangan kepercayaan pada institusi terhormat tersebut. Pasalnya masyarakat kembali dibuat takut dengan ulah segilintir oknum yang sangat berdampak terhadap integritas institusi Polri.
Mestinya polisi tidak bertindak diluar batas kemanusiaan, apalagi asbab tindakan tersebut sangat tidak rasio dan memungkinkan orang yang setiap harinya belajar disiplin, etika, moralitas, dan prinsip-prinsip kemanusiaan bertindak layaknya preman bayaran. Untuk diketahui, saat Dino panggilan akrab untuk Aldino Katmaz hendak keluar dari SPBU Amahai setelah usai mengisi bahan bakar minyak, ia dihadang oleh 2 orang oknum polisi dan setelah terjadi adu mulut, korban langsung dihajar oleh oknum polisi tersebut sampai salah satu gigi bagian depannya patah.
Bicara soal etika dan moraltas, saya kira bab itu bukan pelajaran baru bagi aparat kepolisian yang diberi tugas untuk menjaga dan melindungi masyarakat dari segala bentuk tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial maupun keagamaan.
Oleh sebab itu menjelaskan etika dan moral kepada para pelaku kejahatan adalah sebuah anomali, sehingga saya tidak perlu meminjam istilah maupun teori para sarjana yang memfokuskan kajiannya pada kriminalitas.
Sebagai orang yang awam terhadap hukum, berdasarkan kronologi yang saya pelajari, saya menemukan bahwa tindakan oknum kepolisian tersebut merupakan sebuah tindak pidana murni yang secara normatif harus diproses dan diusut tuntas.
Tindak pidana penganiayaan itu sendiri diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus.
Jika berpatokan pada ketentuan pasal 351 ayat 1 KUHP tersebut, maka sudah sewajarnya para oknum kepolisian yang secara melawan hukum melakukan penganiayaan terhadap masyarakat, harus di proses sesuai dengan aturan yang berlaku di negara ini.
Dalam hukum sendiri ada sebuah asas paling populer yakni "equality before the law" yang berarti semua orang sama dimata hukum, olehnya itu, tidak ada alasan untuk mendiamkan keadaan ini sehingga tidak meninggalkan trauma yang mendalam di tengah-tengah masyarakat.
Persis 20 tahun sudah gong reformasi dibuka, pemerintahan totaliter telah dikubur bersama matinya orde baru (orba), sehingga jangan sekali-kali ada perlakuan tidak manusiawi kepada masyarakat dari aparat kepolisian yang tufoksinya telah di atur dalam regulasi.
Hemat saya, institusi terhormat tersebut harus memecat oknum-oknum preman yang berpayakan terhormat, sehingga kedepannya institusi polri terus mendapatkan kepercayaan publik dan mampu menjamin keamanan dan keadilan bagi warga bangsa Indonesia.
Selain itu juga, institusi polri harus melakukan pembinaan melalui pelatihan-pelatihan secara berkesinambungan sehingga oknum polisi yang hanya lulusan SMA bisa mendapatkan pemahaman tambahan demi memperkuat citra dan masa depan polri yang lebih terhormat. Sebab saya sendiri memiliki asumsi sederhana bahwa salah satu faktor yang mendorong aparat penegak hukum main hakim sendiri adalah karena minimnya pemahaman dan kesadaran sehingga kematangan emosional tidak dapat dikontrol dengan baik yang pada akhirnya menimbulkan problem ditengah-tengah masyarakat.
Saya juga merekomendasikan kepada pimpinan polri pada setiap level struktural, untuk intens membangun etika dan moralitas anggotanya, karena banyak sekali kasus yang melibatkan oknum kepolisian di negara ini sehingga secara langsung memberikan preseden buruk bagi institusi polri.
Pelayanan kepada masyarakat juga harus terus ditingkatkan, agar jangan sampai rakyat bergerak secara massif untuk meminta institusi polri di bubarkan.
ADVERTISEMENT
Ikhtiar kemanusiaan.
Ikhtiar kebangsaan.
Adhit Sella
Ketua Umum BADKO HMI Maluku-Maluku Utara.