Konten dari Pengguna

Mendobrak Kendala dan Mitos Penilaian Kinerja PNS

Adi Junjunan Mustafa
Bekerja pada Deputi Bidang SDM Aparatur, KemenPANRB. Wakil Ketua Umum IABIE Bidang SDM dan Pemerintahan. Penulis buku Energi Cinta untuk Keluarga.
12 Desember 2020 7:36 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adi Junjunan Mustafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penilaian kinerja pegawai menjadi bagian penting dalam manajemen SDM. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penilaian terkait sistem merit dalam manajemen ASN, dan juga penjajakan dalam implementasi manajemen talenta ASN, nampak bahwa penilaian kinerja pegawai masih belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan isi penilaian baik dan sangat baik masih terjadi di instansi pemerintah pusat dan daerah. Tulisan singkat ini akan mengupas apa saja kendala di lapangan terkait penilaian kinerja PNS dan apa saja mitos yang ada di balik kendala tersebut. Pada akhir tulisan akan disampaikan beberapa rekomendasi awal untuk mengatasi kendala dan mitos tersebut.
Dalam manajemen PNS, paling tidak yang penulis ikuti, pernah diberlakukan beberapa kebijakan dan model penilaian. Pertama, penilaian dengan DP3 atau Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan berdasarkan PP 10 Tahun 1979.
Kemudian untuk mengatasi berbagai kendala dan ketidakkonsistenan DP3, disusunlah PP 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Pada PP 46 ini penilaian dibagi dua bagian, Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dan Perilaku Kerja. Belum matang proses internalisasi PP 46, terbitlah UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu peraturan pelaksanaan dari UU ASN adalah PP 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. PP 30 ini disusun dengan tujuan perbaikan proses penilaian kinerja PNS dan juga terdapat pengintegrasian penilaian kinerja pegawai dengan kinerja institusi. Sistem penilaian kinerja berdasarkan PP 30 diilustrasikan pada gambar berikut:
Bagan manajemen kinerja berbasis PP 30/2019 (catatan pribadi)
Penyusunan perencanaan kinerja pegawai atau Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) didasarkan pada perencanaan strategis instansi, perjanjian kinerja, organisasi dan tata kerja, uraian jabatan, dan SKP atasan.
Proses penilaian dilakukan secara sistematis dan reguler, harian, pekanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan dipandu oleh pengelola kinerja (unit SDM), penilai kinerja (atasan langsung), dan tim penilai kinerja pada tingkatan instansi.
Penilaian berlaku pada kinerja dan perilaku, masih mengadopsi pengaturan pada PP 46, akan tetapi prosesnya lebih alami dan diatur adanya bimbingan kinerja dan konseling perilaku untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja pegawai.
ADVERTISEMENT
Pengaturan ini menyiratkan pentingnya peran atasan sebagai mentor bagi bawahannya. Jika diperlukan mesti disiapkan juga coach atau counsellor untuk mendampingi pegawai yang mengalami kesulitan dalam pencapaian kinerja.
Penilaian perilaku pegawai dilakukan dengan pengamatan 360 derajat, artinya bukan hanya atasan yang memberikan penilaian seperti pada DP3 dan juga PP 46, tapi rekan kerja setara, bawahan, dan bahkan penilaian mereka yang mendapatkan jasa juga diikutkan dalam penilaian perilaku.
Penilaian kinerja juga didorong untuk mendapatkan distribusi normal. Artinya, ketika penilaian dibagi menjadi kinerja “di atas ekspektasi”, “sesuai ekspektasi”, dan “di bawah ekspektasi”, maka sebaran terbesar adalah pada “sesuai ekspektasi”. Kemudian dalam porsi lebih kecil terdapat mereka yang “di atas ekspektasi” dan “di bawah ekspektasi”.
ADVERTISEMENT
Forced distribution dalam penilaian kinerja ini sudah banyak ditinggalkan pada perusahaan swasta atau BUMN yang sudah berhasil membangun budaya kinerja.
Pada lingkungan birokrasi pemerintahan, nampaknya fase ini mesti dilalui untuk sampai pada diferensiasi yang tegas dalam membedakan pegawai yang berkinerja tinggi dan berkinerja rendah.
Hasil penilaian kinerja di atas ditindaklanjuti dengan sistem prestasi dan sistem karier yang selaras, termasuk juga digunakan untuk penghargaan dan sanksi yang sesuai. Secara konkret hasil penilaian kinerja ini mejadi salah satu input penting bagi identifikasi talenta dalam manajemen talenta ASN.
Beberapa Kendala dan Mitos dalam Penilaian Kinerja
Ada beberapa kendala dan mitos dalam penilaian kinerja PNS. Penulis ingin mengangkat tiga di antaranya, yaitu ketidaksiapan para manajer, lemahnya sistem manajemen kinerja, dan kesalahan tumpuan keberhasilan penilaian kinerja.
ADVERTISEMENT
Kita mulai dari permasalahan ketidaksiapan manajer atau pimpinan. Para manajer atau pejabat struktural PNS secara umum tidak cakap dalam melakukan manajemen kinerja bagi para stafnya. Sejak era DP3 sampai SKP versi PP 46 yang saat ini masih berlaku, sedikit di antara para pimpinan struktural yang sungguh-sungguh memahami aturan penilaian kinerja.
Yang terjadi adalah beberapa mitos, seperti “nilai jangan terlalu tinggi, sebab nanti susah naik lagi”, “bandingkan dengan nilai tahun lalu, gradient-nya mesti terus naik”, “nilai harus baik, kalau tidak nanti tidak bisa naik pangkat”, dan seterusnya.
Tidak jarang para pimpinan meminta anak buahnya untuk memberikan “konsep” nilai, lalu mereka hanya mengoreksi di sana-sini dan memberikan approval atau tanda tangan penilaian.
ADVERTISEMENT
Para manajer juga tidak memiliki bekal yang cukup untuk memberikan masukan dalam bentuk dialog kinerja. Alih-alih menilai apa adanya dan jika diperlukan peningkatan kinerja diberikan motivasi kepada stafnya, manajer memilih “aman” dengan memberikan nilai baik.
Dengan demikian tidak pernah ada feedback perbaikan bagi pegawai; Yang ada hanyalah kesenangan semu bagi pegawai, karena manajernya cenderung menghindari konflik. Konflik ini tidak harus dalam bentuk kemarahan, tapi lebih pada dialog kritis dan membangun.
Permasalahan kedua adalah lemahnya sistem manajemen kinerja. Sudah banyak instansi pemerintah menjalankan manajemen kinerja berbasis IT. Tapi sistem IT ini bukan jaminan mutlak keberhasilan penilaian kinerja. Ini adalah mitos lain dalam manajemen kinerja.
Tetap yang mesti menjalankan manajemen kinerja adalah pengelola kinerja, penilai kinerja, dan tim penilai kinerja. Pada fase awal, mesti ada sistem yang memaksa penilai kinerja melakukan penilaian rutin bulanan misalnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian mesti ada sistem yang juga memaksa terjadinya dialog kinerja pada tiap-tiap level penilaian. Idealnya pembekalan kepada para manajer, mulai pucuk pimpinan, dilakukan dengan metoda workshop, roleplay, hingga pembiasaan pemanfaatan sistem IT dalam penilaian dan dialog kinerja.
Tidak sedikit para pimpinan di lingkungan pemerintah yang amat buruk penguasaan IT-tools, sehingga password mereka diberikan kepada staf kepercayaannya untuk menjalankan beberapa fungsi yang harusnya mereka lakukan sendiri.
Kendala ketiga adalah kesalahan persepsi tentang penilaian kinerja atau adanya mitos tentang penilaian kinerja. Beberapa mitos sudah penulis sampaikan di atas, yaitu mitos dari kelemahan kompetensi manajerial dalam mengembangkan diri dan mengembangkan anak buah, serta persepsi yang salah tentang cara memberikan penilaian kepada anak buah. Mitos lain yang sudah disebutkan adalah persepsi bahwa kalau sudah ada sistem IT berarti sudah ada manajemen kinerja yang sukses.
ADVERTISEMENT
Di antara mitos lain yang terjadi adalah bahwa penilaian kinerja dilakukan setahun sekali dan lebih parah adalah persepsi bahwa penilaian kinerja ini adalah formalitas. Juga kesalahan persepsi bahwa penilaian kinerja adalah untuk mencari kelemahan dari pegawai. Demikianlah beberapa kendala dan mitos yang ada pada penilaian kinerja.
Beberapa Rekomendasi
Pada awal tulisan secara singkat disampaikan muatan pengaturan penilaian kinerja PNS berbasis PP 30/2019. Apabila pengaturan ini dilakukan secara konsisten, maka penulis optimis sistem penilaian kinerja PNS ke depan akan lebih baik dalam rangka manajemen karier dan talenta PNS.
Selanjutnya penulis mengajukan sebagian dari hasil obrolan dengan teman sejawat pada program Prospera, Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Perekonomian khususnya dengan Australia Public Service Commission (APSC), terkait performance management.
ADVERTISEMENT
Diperlukan satu ekosistem yang mengintegrasikan manajemen kinerja yang terdiri dari akuntabitilas unit SDM, akuntabilitas bersama supervisor/manajer dan staf, manajemen talenta (kepemimpinan), dan membangun budaya berkinerja tinggi sebagai kinerja organisasi (lihat gambar di bawah).
Ekosistem manajemen kinerja (dari diskusi dengan Prospera/APSC)
Budaya berkinerja tinggi adalah satu sistem yang mendorong dan memberi insentif untuk terciptanya kinerja efektif dan memunculkan talenta. Harus dibangun kejelasan tentang kinerja yang hendak dicapai dalam perencanaan kinerja.
Seluruh komponen dalam manajemen kinerja mesti memusatkan perhatian pada peningkatan kinerja dan menghindari terjadinya kinerja rendah. Pengelola kinerja mesti terus aktif dalam mengelola dan mengantisipasi isu-isu kinerja individu dan organisasi.
Selanjutnya unit pengelola SDM mesti menjalankan fungsi sebagai unit yang mengelola talenta serta keterampilan yang diperlukan dalam menciptakan lingkungan kerja yang maju, modern, dan menyenangkan. Terakhir, seluruh pihak dimulai dari pucuk pimpinan memikul tanggung jawab yang utuh dalam pencapaian kinerja yang efektif bagi institusi. Apabila hal ini terwujud, maka beberapa kendala dan mitos dalam penilaian kinerja PNS akan dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
*Analis Kebijakan Ahli Madya, Koordinator Manajemen Talenta ASN, KemenPANRB; Wakil Ketua Umum IABIE Bidang Pemerintahan dan SDM
Bacaan – diakses 12 Desember 2020: