Seputar Netralitas ASN

Adi Junjunan Mustafa
Bekerja pada Deputi Bidang SDM Aparatur, KemenPANRB. Wakil Ketua Umum IABIE Bidang SDM dan Pemerintahan. Penulis buku Energi Cinta untuk Keluarga.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 23:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adi Junjunan Mustafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta mengikuti Upacara HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kawasan Pantai Maju atau pulau D Reklamasi, Jakarta Utara, Sabtu (17/8). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta mengikuti Upacara HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kawasan Pantai Maju atau pulau D Reklamasi, Jakarta Utara, Sabtu (17/8). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ASN dalam bekerja didasarkan pada profesionalitas. Di dalamnya terkandung makna menjunjung nilai-nilai dasar, integritas, kompetensi, berkinerja, dan moralitas tinggi. ASN dalam bekerja mesti netral dan imparsial. Ini bermakna bahwa ASN tidak boleh berpihak pada golongan, kelompok, dan politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Pada praktiknya asas kenetralan ini dipandang sulit dan mustahil. Jangan-jangan karier seorang pegawai ASN pun menjadi "netral" alias dibuang oleh pimpinan yang berafiliasi politik tertentu. Ini terjadi karena memang secara peraturan yang menjadi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) adalah pejabat yang dipilih secara politis. Bupati/Wali Kota adalah PPK kabupaten/kota. Gubernur untuk Provinsi dan Menteri untuk kementerian. Mungkin kepala lembaga sebagai PPK relatif lebih netral, sebab tidak dipilih melalui proses politik seperti PPK yang disebutkan sebelumnya.
Mesti ada satu konsep yang jelas bagaimana ASN atau birokrasi berinteraksi secara sehat, sinergis, dan mutualis dengan entitas politik.
Dalam satu assignment terkait performance management pada pelatihan tentang talent management yang diadakan KOICA yang saya ikuti, ada satu esai menarik yang menggambarkan interaksi sehat entitas politik dengan birokrasi. Secara singkat esainya sbb:
ADVERTISEMENT
Presiden terpilih pada satu negara memiliki perhatian besar terhadap rendahnya pemilih dari kawasan rural atau perdesaan. Sang Presiden ingin pada pemilu berikutnya perolehan suara dari perdesaan yang mayoritas penduduknya adalah petani meningkat.
Untuk itu Presiden memilih dan mengangkat seorang professor pertanian yang merupakan sahabatnya menjadi menteri pertanian. Kepada professor tersebut ia berpesan agar perekonomian masyarakat perdesaan khususnya petani ditingkatkan. Menteri pun menetapkan beberapa kriteria utama untuk kinerjanya, di antaranya perbaikan infrastruktur ke perdesaan untuk memudahkan pemasaran produk pertanian; membangun usaha-usaha nilai tambah produk pertanian, membuka lapangan kerja yang atraktif, agar para pemuda tidak pergi ke kota; memberikan subsidi yang terukur untuk peningkatan kualitas para petani dst.
Tugas kami kemudian melakukan cascading misi Menteri ke level Dirjen dan dimoderatori perwakilan Sekjen. Saya tidak akan melanjutkan cerita bagaimana cascading kami lakukan. Saya ingin menyampaikan perspektif interaksi political entity dan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Dari ringkasan esai di atas terlihat bagaimana interest dari Presiden yang mewakili politik diterjemahkan oleh Menteri menjadi misi objektif kementerian. Misi ini kemudian menjadi arah kerja profesional para civil service di bawahnya.
Yang perlu digarisbawahi adalah entitas politik memiliki target dan sasaran. Begitu juga birokrasi memiliki target dan sasaran. Masing-masing bekerja pada ranahnya. Birokrasi tidak punya kepentingan dengan perolehan suara pemilu. Birokrasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik yang prima. Dalam kasus di atas salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kompetensi dan kemampuan ekonomi para petani.
Di sisi lain, entitas politik untuk mendapatkan perolehan suara memerlukan kerja-kerja profesional civil service atau ASN. Entitas politik tidak boleh mendorong apalagi memaksa ASN berpolitik praktis. Yang mesti dilakukan adalah mendorong agar ASN makin profesional, sehingga pelayanan publik pun semakin prima.
ADVERTISEMENT
Adalah sangat tidak bijaksana kalau seorang menteri/kepala daerah mengukur loyalitas ASN dengan dukungan politik praktis. Ini sangat bertentangan dengan asas netralitas ASN dan akan menempatkan ASN pada posisi sulit. Yang mesti dilakukan adalah menemukan sinergi pada tujuan politik luhur, yaitu mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat.
Saya pikir di sinilah seorang menteri/kepala daerah sebagai PPK mesti mesti memunculkan kecerdasannya dalam mengelola ASN dan memberdayakannya. PPK mesti mendapatkan dukungan yang cerdas dan sistematis dari sekjen/sekda sebagai Pejabat yang Berwenang (PyB) dalam istilah UU ASN dalam menyiapkan talenta terbaik untuk menjadi aparat (alat) yang bekerja profesional dan efektif dalam mewujudkan visi dan misi pemerintahan. Data talenta ini disiapkan melalui proses manajemen talenta yang dikelola oleh unit manajemen SDM. Dan para ASN secara profesional merencanakan, merumuskan, dan mengeksekusi berbagai program dan kegiatan untuk mencapai visi misi kementerian/daerahnya.
ADVERTISEMENT
Indah sekali kalau ASN dapat bekerja profesional dan menjunjung asas netralitas politik yang memang seharusnya ia junjung tinggi. Tidak akan ada lagi rasa was-was "lima tahunan" di daerah atau kementerian. Siapa pun kepala daerah atau menteri, dari partai atau kelompok mana pun mereka berasal, ASN tetap profesional dan memberikan kinerja paling tinggi dalam bekerja.
AJM
#manajementalentaasn
Penulis adalah Pegiat SDM dan Reformasi Birokrasi; Wakil Ketua Umum IABIE Bidang SDM dan Pemerintahan