Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menilik Kisah Asib Ali Bhore dan Gadis Wajo: Tekad Kuat yang Terbentur Adat
2 Maret 2023 11:21 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sapriadi Pallawalino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kenekatan Asib Ali dalam memperjuangkan cintanya berakhir pilu. Kedatangannya di Desa Watangrumpia, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, tak cukup meyakinkan orang tua Syarifah Khaerunnisa untuk mengabulkan niat pria yang bekerja di Arab Saudi untuk menikahi wanita yang dikenalnya secara daring selama 1,6 tahun.
Sontak, banyak pihak menuding Syarifah dengan stigma negatif. Mulai dari tudingan Syarifah hanya menginginkan uang Asib Ali Bhore, hingga dia dituding telah memberi harapan palsu pada pria kelahiran Uttar Pradesh itu.
Publik memang tidak pernah tahu persis persoalan sebenarnya. Banyak yang membela dan bersimpati ke Asib Ali yang telah membuktikan keseriusannya dengan jauh-jauh datang ke Wajo dari India untuk melamar Syarifah.
Tentu, bukan perjuangan mudah. Butuh tekad yang kuat dan terbilang nekat serta jarak yang lumayan jauh hingga Asib Ali menginjakkan kaki di kampung halaman Syarifah.
ADVERTISEMENT
Tapi, Asib Ali mungkin lupa budaya dan adat di India sangat berbeda jauh dengan budaya dan adat yang dipegang keluarga Syarifah. Bagaimana mungkin keluarga Syarifah Khaerunnisa bisa yakin dan memberi restu kepada orang asing yang benar-benar asing dan datang seorang diri untuk meminang putri kesayangannya?
Padahal, dalam tradisi lamaran masyarakat Bugis banyak hal yang harus dilalui. Patut diingat, masyarakat Kabupaten Wajo merupakan salah satu kelompok suku Bugis yang masih memegang teguh adat-istiadat.
Sebuah ungkapan masyhur sosok Raja Wajo di masa lampau, Latadampare Puang ri Maggalatung, masih dipegang teguh masyarakat setempat dan menjadi slogan daerah. "Maradeka To Wajoe, Ade'na Napopuang" yang artinya lebih kurang "(Terlahir) Merdeka Orang Wajo, Adat yang Dijunjung Tinggi."
Seperti suku-suku di daerah lainnya di Indonesia, pernikahan bagi masyarakat Bugis sendiri merupakan proses sakral dan harus melalui berbagai prosesi adat.
ADVERTISEMENT
Mammanu-manu
Mulai dari mammanu-manu yang merupakan tahapan paling pertama dari prosesi pernikahan adat Bugis. Manu-manu dalam bahasa Bugis berarti burung. Prosesi mammanu-manu bisa diartikan ibarat terbangnya seekor burung yang mencari pasangannya.
Pada fase ini, pihak keluarga dari calon mempelai pria akan berusaha mencarikan jodoh terbaik bagi anak mereka dengan memperhatikan sejumlah kriteria. Bila menemukan pasangan yang tepat, maka dilanjutkan dengan prosesi mappese-pese.
Mappese-pese
Mappese-pese merupakan proses lanjutan dari mammanu-manu. Pese-pese dalam bahasa Bugis berarti meraba-raba, menerka-nerka. Prosesi mappese-pese bisa diartikan sebagai langkah pihak mempelai pria untuk mencari tahu lebih dalam tentang calon mempelai perempuan.
Bila kemudian terjadi kesepakatan, pihak laki-laki lalu meminta salah seorang keluarga dari pihak perempuan untuk dipertemukan antara kedua pihak keluarga.
ADVERTISEMENT
Pertemuan dua keluarga di kediaman mempelai wanita ini sekaligus untuk mendapatkan lampu hijau dalam melangkah ke prosesi selanjutnya, yakni madduta (melamar).
Madduta
Setelah melalui serangkaian prosesi mammanu-manu hingga mappese-pese, maka prosesi selanjutnya yakni madduta atau melamar. Dalam prosesi ini, pihak keluarga laki-laki mengutus seseorang dari pihak keluarga yang dipercaya untuk mabbaja laleng atau membuka jalan.
Pada prosesi ini, dilakukanlah pembahasan mengenai jumlah uang panai (mahar) yang disiapkan oleh pihak laki-laki. Juru bicara kedua belah pihak biasanya akan melakukan proses tawar-menawar uang panai dengan bahasa Bugis yang sangat halus hingga menemui kata sepakat.
Jika lamaran sudah diterima dan jumlah uang panai sudah disepakati, maka tahap selanjutnya yakni mappettu ada yang berarti kedua belah pihak akan memutuskan segala hal tentang keperluan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Mappetu Ada
Usai prosesi lamaran dilakukan, maka selanjutnya kedua belah pihak menetapkan hari pernikahan (tanra esso/menandai hari), sompa (mahar), dan doi menre (uang belanja).
Tanggal pernikahan biasanya ditentukan oleh keluarga dari calon pengantin wanita dengan mempertimbangkan waktu-waktu terbaik. Sementara doi menre adalah uang belanja yang akan diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanitanya untuk keperluan biaya pesta pernikahan.
-------------
Patut diingat, empat prosesi ini baru merupakan prosesi awal sebelum dilangsungkan pernikahan. Mengaitkan dengan kisah Asib Ali Bhore, tentu banyak hal yang menjadi catatan.
Asib Ali Bhore datang sendirian dari India ke Kabupaten Wajo dan bisa dibilang modal nekat. Okelah, sebut saja Asib Ali telah meyakinkan Syarifah bahwa dia akan datang ke Wajo untuk melamarnya. Lantas apakah itu cukup bisa meyakinkan kedua orang tua Syarifah menerima lamarannya?
ADVERTISEMENT
Entah siapa yang salah, Syarifah yang telah memberi harapan ke Asib Ali, atau sebaliknya. Asib Ali dengan modal nekat dan percaya diri datang begitu saja ke Wajo tanpa berkomunikasi atau meyakinkan pihak keluarga Syarifah terlebih dahulu.
Andai saja Asib Ali datang ke Wajo dengan menyertakan salah seorang kerabat atau keluarganya dan melalui prosesi madduta, mungkin saja itu akan menjadi pertimbangan pihak keluarga Syarifah Khaerunnisa untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
Adat di setiap daerah memang berbeda-beda, namun yang terpenting pernikahan baru bisa terjadi saat dua pihak keluarga saling memberi restu. Ketika kedua orang tua Syarifah menolak lamaran Asib Ali, tentu mereka punya pertimbangan matang.
Tak peduli, sejauh mana dia datang dan berasal. Hak menolak dan menerima lamaran merupakan hak prerogatif orang tua si wanita. Kecuali, si pria memang telah ada pembicaraan sebelumnya dan mampu meluluhkan hati sang calon mertua.
ADVERTISEMENT