Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Piala Dunia 1998: Jagokan Prancis karena Barthez, Misteri Ronaldo Jelang Final
13 Desember 2022 15:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sapriadi Pallawalino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Orang-orang bilang, pengalaman pertama selalu meninggalkan kesan. Hal itu pun berlaku bagi saya pribadi. Di tengah euforia Piala Dunia 2022 yang dihelat di Qatar, memori saya justru kembali ke puluhan tahun silam, tepatnya di tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Kala itu, saya masih bocah berusia belasan tahun yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di salah satu kecamatan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kendati demikian, antusiasme saya terhadap permainan sepak bola sudah begitu besar.
Sebelum Piala Dunia 1998 bergulir dengan Prancis sebagai tuan rumah, saya sudah lazim mengikuti pertandingan PSM Makassar berbekal siaran radio RRI yang dipandu komentator legendaris, Bung Bosco.
Tayangan pertandingan sepak bola saat itu memang belum semeriah sekarang dan warga yang memiliki televisi di rumah masih bisa dihitung jari. Suatu waktu, saya berkesempatan menonton siaran televisi antara PSM Makassar dan Persebaya Surabaya.
Terjadi 'perdebatan' kecil. Almarhum kakek yang lama tinggal di Surabaya menjagokan Persebaya, saya dan keluarga lainnya memilih PSM Makassar.
ADVERTISEMENT
Lalu, menjelang Juni 1998, pariwara soal tayangan Piala Dunia dengan lagu La Copa de La Vida yang dibawakan Ricky Martin sebagai soundtrack mulai wara-wiri di televisi. Di saat beberapa kawan menjagokan Brazil dan Argentina, saya justru menjagokan Prancis karena keunikan kiper Prancis saat itu, Fabien Barthez.
Berkepala plontos, tinggi badan tidak terlalu ideal untuk ukuran kiper-kiper Eropa, serta keberanian dalam berhadapan satu lawan satu dengan penyerang lawan. Dari mulai menyukai sepak bola, entah kenapa saya lebih tertarik dengan posisi penjaga gawang.
Saat pertama kali ikut pertandingan sepak bola antar Taman Kanak-kanak (TK), saya lebih nyaman memilih menjaga gawang ketimbang berlari-larian sebagai penyerang. Sempat juara I antar TK, lalu diikutkan di tingkat kecamatan.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Piala Dunia 1998, ternyata pilihanku tak salah. Fabien Barthez dan tim nasional Prancis tampil meyakinkan sepanjang turnamen.
Bersama Zinedine Zidane, Emmanuel Petit, Bixente Lizarazu, Lilian Thuram, hingga sang kapten Laurent Blanc, Barthez sukses membawa Prancis menjadi juara di negeri sendiri dan gelar pertama bagi Prancis sejak Piala Dunia bergulir tahun 1930 di Uruguay.
Di semifinal, Les Blues yang dilatih Aime Jacquet sukses mengalahkan Kroasia yang menjadi tim debutan penuh kejutan dengan skor 2-1.
Kroasia yang sempat unggul melalui gol Davor Suker yang keluar sebagai pencetak gol terbanyak di turnamen, harus merelakan tiket final milik tuan rumah setelah diberondong dua gol dari Prancis yang dicetak pemain yang justru berposisi sebagai bek, Lilian Thuram.
ADVERTISEMENT
Di partai final, Prancis bertemu dengan juara bertahan Piala Dunia 1994 kala itu, Brazil. Tim Samba sukses melaju ke partai puncak usai mengalahkan Belanda melalui adu penalti setelah sempat bermain imbang 1-1.
Brazil kala itu memang lebih difavoritkan juara. Selain sebagai juara bertahan, skuat yang dilatih Mario Lobo Zagallo itu dihuni nama-nama besar. Sebut saja Ronaldo de Lima, Bebeto, Rivaldo, Dunga, hingga kiper Claudio Taffarel yang menjadi pahlawan di Piala Dunia 1994.
Namun, Prancis sukses tampil perkasa di depan publik sendiri yang memenuhi Stadion Stade de France, Paris. Mereka mencukur Brazil dengan skor 3-0 melalui dua gol yang diborong Zinedine Zidane yang dilengkapi sebiji gol Emmanuel Petit.
Final antara tuan rumah Prancis dengan Brazil ini sendiri masih menyisakan misteri bahkan isu konspirasi. Ronaldo de Lima yang menjadi tumpuan skuat Brazil dikabarkan sempat kejang-kejang, mulut berbusa, tak sadarkan diri di kamarnya hingga dikabarkan sekarat menjelang laga final.
ADVERTISEMENT
Berbagai laporan menyebut, nama Ronaldo sempat tak masuk dalam daftar pemain yang diturunkan Mario Zagallo dalam laga final menghadapi Prancis. Beberapa jam menjelang kick off, Ronaldo bahkan disebut-sebut sempat dilarikan ke sebuah klinik di Paris.
Ronaldo memang pada akhirnya diturunkan pada laga melawan Prancis. Berbagai isu konspirasi mencuat kala itu, mulai dari Ronaldo sengaja diracun oleh tuan rumah Prancis, Nike sebagai sponsor dan federasi sepak bola Brazil CBF memaksa Ronaldo bermain, hingga tudingan Brazil bersedia kalah karena isu suap untuk kemenangan Prancis.
Komentator legendaris BBC John Motson pun pernah membuat kesaksian terkait yang dialami Ronaldo menjelang final Piala Dunia 1998.
"Daftar susunan pemain dibagikan dan saya terkejut karena nama Ronaldo tidak ada di situ. Semua orang memeriksa kembali kertas di tangan mereka dan reaksi mereka sama," ungkap Motson.
ADVERTISEMENT
"Beberapa orang terlihat berdiri dan bertanya apa yang sedang terjadi? Cukup lama kami semua duduk dalam kondisi terkejut," sambungnya.
Kepada FourFourTwo, Ronaldo pun pernah mengisahkan tentang apa yang dialaminya menjelang laga final melawan Prancis.
"Saya memutuskan beristirahat setelah makan siang. Terakhir yang saya ingat adalah saya pergi ke tempat tidur. Setelah itu, saya kejang. Saya dikelilingi rekan-rekan pemain dan kemudian dokter Lidio Toledo (dokter tim Brazil) datang. Mereka tak mengatakan apa yang terjadi," kata Ronaldo.
Dia mengisahkan, dirinya sempat berbincang dengan pemain lainnya Leonardo di taman hotel dan menjelaskan apa yang terjadi. Saat itu, Leonardo sempat meminta Ronaldo untuk tidak bermain di final.
"Setelah pemeriksaan, tak ada yang abnormal, seperti tidak terjadi apapun. Dari klinik kami berangkat ke stadion dan menerima pesan dari Zagallo kalau saya tak bermain. Saya memegang hasil tes, dan dengan lampu hijau dari dokter Toledo saya menghampiri Zagallo dan mengatakan saya baik-baik saja sambil menyerahkan hasil tes. Saya ingin bermain," cerita Ronaldo kepada FourFourTwo.
ADVERTISEMENT
Meski sudah buka suara terkait apa yang dialaminya, misteri sakit yang dialami Ronaldo dan dikabarkan sekarat menjelang laga final melawan Prancis hingga kini masih menyisakan berbagai konspirasi.
Di luar insiden itu, Ronaldo seolah dibuat tak berkutik berkat kegemilangan Fabien Barthez yang mengawal gawang Prancis. Ada sebuah momen kala Barthez dengan kepercayaan diri yang tinggi 'menerkam' Ronaldo yang membuat 'Sang Fenomena' terkapar di lapangan beberapa saat.
Ronaldo mati kutu, dan kecupan Laurent Blanc di kepala plontos Fabien Barthez pada setiap pertandingan seperti punya magis sendiri.
Prancis kala itu memang keluar sebagai juara di negeri sendiri dan gelar pertamanya sejak Piala Dunia mulai bergulir pada tahun 1930 di Uruguay, tapi Ronaldo tetap menjadi pemain terbaik turnamen dengan penyerang Kroasia, Davor Suker, sebagai top scorer dengan 6 gol.
ADVERTISEMENT
Selepas Piala Dunia 1998, berawal dari sebuah artikel tentang Liga Italia di Tabloid Bola, jadi pemantik saya jatuh hati kepada 'Si Nyonya Tua' dari Turin, Juventus. Klub yang menemukan dan memoles skill Zinedine Zidane, Didier Deschamps, hingga Alessandro Del Piero. Dari Juventus, lalu menjadi tifosi Gli Azzuri Italia hingga kini.
Piala Dunia 2022, Prancis kembali berpeluang menjadi juara. Tim asuhan Didier Deschamps itu akan menghadapi Maroko yang menghadirkan kejutan besar usai memulangkan favorit juara Spanyol hingga Portugal. Maroko ibarat Kroasia pada Piala Dunia 1998 yang tak banyak diperhitungkan justru sukses melenggang ke semifinal.
Mampukah kali ini Prancis kembali mengatasi rentetan kejutan dari Maroko lalu bertemu Kroasia sekaligus ulangan final Piala Dunia 2018 di Rusia. Atau Prancis ke final dan bertemu Argentina dengan Lionel Messi yang berkesempatan juara di Piala Dunia terakhirnya.
ADVERTISEMENT
Ataukah Maroko dan Kroasia menciptakan kejutan dengan lolos ke final dan menjadi calon juara baru Piala Dunia? Susah ditebak. Siapa pun juaranya, Piala Dunia yang digelar di Qatar sudah cukup banyak menghadirkan kejutan.
Akhirul kalam, hayya, hayya!
(Forza Italia)