Bijak Memaknai Perbedaan Angka Jumlah Penduduk

Gandari Adianti
Statistisi Ahli Madya Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Provinsi Jawa Barat
Konten dari Pengguna
7 Maret 2021 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gandari Adianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber foto : https://sensus.bps.go.id/main/index/sp2020
Terdapat selisih 1,15 juta jiwa penduduk. Tercatat sebanyak 270,20 jiwa penduduk hasil Sensus Penduduk 2020, sedangkan data administrasi kependudukan sebanyak 271,35 juta. Hal ini terungkap dalam rilis bersama antara Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, pada 21 Januari 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Ternyata perbedaan referensi waktu dari angka yang disampaikan menjadi penyebab perbedaan. Rilis bersama tersebut mempresentasikan hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020) kondisi September 2020 dan Data Administrasi Kependudukan Semester II (posisi Desember 2020).
Rilis bersama ini sebagai pengukuhan kembali upaya untuk mewujudkan Satu Data Kependudukan Indonesia. Secara nasional data jumlah penduduk yang dicatat dalam SP2020 dan data administrasi kependudukan tidak berbeda secara signifikan. Namun bagaimana dengan data kependudukan pada level yang lebih rendah?
Perbedaan Data Kependudukan Level Provinsi
Selain berbedanya referensi waktu, perbedaan juga sebagai dampak dari berbedanya konsep pencatatan. Dalam SP2020, konsep pencatatan penduduk adalah yang sudah tinggal atau berniat tinggal lebih dari satu tahun di suatu daerah, maka yang bersangkutan dicatat sebagai penduduk di daerah tersebut. Tanpa memperhatikan identitas kependudukan penduduknya. Konsep ini dikenal dengan nama konsep de facto, di mana fakta nya seseorang itu tinggal. Adapun penduduk yang tercatat pada data Adminduk disesuaikan dengan pencacatan identitas kependudukannya atau didekati dengan konsep de jure.
ADVERTISEMENT
SP2020 mencatat secara de facto, sedangkan Adminduk mencatat secara de jure. Perbedaan konsep inilah yang menyebabkan adanya perbedaan jumlah penduduk hasil SP2020 dan Adminduk pada level provinsi dan kabupaten/kota.
Bagaimana jika ingin membandingkan dalam referensi waktu yang sama? Tentu perlu dilakukan estimasi dari salah satu data, agar dapat dilihat keterbandingannya. BPS telah menyusun angka estimasi jumlah penduduk hasil SP2020 untuk posisi Desember 2020.
Namun, di Provinsi Kalimantan Utara, Jawa Barat, Banten, dan Kepulauan Riau data jumlah penduduk hasil SP2020 (September 2020) lebih banyak dibandingkan data Adminduk (Desember 2020). Pun demikian setelah dilakukan estimasi. Secara absolut perbedaan terbesar terjadi di Jawa Barat. Di mana hasil SP2020 tercatat sebanyak 48,27 juta jiwa (angka estimasi Desember 2020 sebesar 48,43 juta jiwa), sedangkan catatan Adminduk adalah 47,14 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sesuai dengan karakteristik provinsi-provinsi tersebut, sebagai daerah penerima migran. Kalimantan Utara sebagai daerah otonomi baru, cukup menarik penduduk daerah lain untuk menikmati geliat pembangunan di daerah pengembangan ini. Jawa Barat dan Banten adalah salah satu pusat industri di Indonesia, banyak berdiri kawasan industri yang menampung banyak pabrik. Adanya kawasan industri menjadi faktor penarik bagi penduduk provinsi lain untuk mencari peluang kerja.
Selain adanya kawasan industri, faktor penarik lainnya bagi Jawa Barat adalah Pendidikan. Beberapa Perguruan Tinggi negeri maupun swasta ternama dan favorit di Indonesia. Menjadi pemikat lain datangnya penduduk ke Jawa Barat. Demikian hal nya dengan Kepulauan Riau, wilayah ini banyak menarik minat pendatang terutama di Kota Batam. Banyak dari pendatang ini yang tidak mengubah identitas kependudukannya. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya data de facto lebih besar dari de jure.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada beberapa provinsi jumlah penduduk hasil SP2020 lebih kecil dibandingkan dengan data Adminduk semester II. Perbedaan tertinggi dialami oleh DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur. Banyaknya alih fungsi lahan dan bangunan di DKI Jakarta, menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari DKI Jakarta ke wilayah sekitarnya. Sebagian migran keluar ini tidak mengubah identitas kependudukannya. Biasanya, alasan kelompok ini tidak mengubah identitas kependudukan adalah terkait dengan kepemilikan dan kemudahan fasilitas. Seperti kepemilikan kendaraan dan fasilitas sekolah di DKI Jakarta.
Berbeda dengan DKI Jakarta, kondisi di Nusa Tenggara Timur perbedaan jumlah penduduk ditopang oleh aktivitas pekerjaan. Kita tahu bersama bahwa ada Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah pengirim pekerja migran Indonesia.
ilustrasi pixabay.com
Manfaat
ADVERTISEMENT
Lalu, apa manfaat dari dua sumber data kependudukan ini?
Adanya dua sumber data kependudukan menyebabkan Pemerintah Daerah harus menentukan pilihan. Data mana yang akan digunakan untuk perencanaan pembangunan.
UU No 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 58 ayat (4) menyebutkan salah satu pemanfaatan data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri adalah untuk perencanaan pembangunan. Secara eksplisit dalam UU tersebut dinyatakan bahwa untuk perencanaan pembangunan maka digunakan data dari Kementerian Dalam Negeri (Adminduk).
Amanah UU harus dijalankan namun Pemerintah Daerah tidak boleh menafikan keberadaan dari penduduk yang seraca de facto tinggal di wilayahnya. Ketika perencanaan pembangunan hanya terfokus pada penduduk yang tercatat secara de jure, implikasinya akan ada pengabaian hak-hak penduduk yang ada secara de facto tapi tidak tercatat secara de jure. Imbas lainnya adalah penyediaan pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah terbatas, bahkan sangat kurang. Contohnya di Jawa Barat, apabila perencanaan penyediaan air bersih diperuntukan bagi 47,14 juta penduduk, namun yang akan mengakses sebanyak 48,32 juta penduduk (hasil SP2020 estimasi Desember).
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menjadi dilema untuk Pemerintah Daerah dalam merencanakan pembangunan wilayahnya. Semua harus lebih bijak menyikapi perbedaan yang ada. Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Harus ada regulasi yang lebih ketat tentang kependudukan. Ke depannya, perbedaan penduduk secara de facto dan de jure di level provinsi dan kabupaten/kota dapat diperkecil. Tentu saja, regulasi ini juga harus didukung oleh regulasi-regulasi lainnya. Masyarakat tidak perlu lagi merasa khawatir dengan pergantian identitas kependudukan, akan berdampak pada fasilitas yang dimiliki.
Apa yang dilakukan pada SP2020 merupakan tonggak sejarah Indonesia menuju Satu Data Kependudukan Indonesia. Masih perlu upaya dan kerja sama berbagai pihak. Satu Data Kependudukan Indonesia, harus diperjuangkan!***